#Mertua Julid
Amelia, putri seorang konglomerat, memilih mengikuti kata hatinya dengan menekuni pertanian, hal yang sangat ditentang sang ayah.
Penolakan Amelia terhadap perjodohan yang diatur ayahnya memicu kemarahan sang ayah hingga menantangnya untuk hidup mandiri tanpa embel-embel kekayaan keluarga.
Amelia menerima tantangan itu dan memilih meninggalkan gemerlap dunia mewahnya. Terlunta-lunta tanpa arah, Amelia akhirnya mencari perlindungan pada mantan pengasuhnya di sebuah desa.
Di tengah kesederhanaan desa, Amelia menemukan cinta pada seorang pemuda yang menjadi kepala desa. Namun, kebahagiaannya terancam karena keluarga sang kepala desa yang menganggapnya rendah karena mengira dirinya hanya anak seorang pembantu.
Bagaimanakah Amelia menyikapi semua itu?
Ataukah dia akhirnya melepas impian untuk bersama sang kekasih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Tikus yang meresahkan
.
“Sial! Benar-benar sial!” Di ruang tamu, Bu Sundari mengumpat kesal. Suaminya sudah berangkat ke sawah untuk mengantar kiriman sarapan sekaligus memantau para pekerja yang sedang memulai penggarapan lahan. Raka juga sudah berangkat ke kantor desa untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang kepala desa.
Pembicaraan semalam tentang Raka yang berniat untuk menikahi Amelia benar-benar membuatnya kesal dan marah. Apalagi, secara terang-terangan Raka telah menunjukkan kebenciannya. Anak tirinya itu sama sekali tidak menunjukkan sikap hormat sedikitpun. Tidak seperti sebelumnya, yang masih bisa bersikap halus. Sekarang sikapnya telah benar-benar berubah.
Bicara pada suaminya juga percuma, karena suaminya sama sekali tidak mau memberikan nasihat pada anaknya. Padahal dulu dia mengejar Wiranto bahkan sampai menjebak pria itu dengan tujuan agar dia bisa hidup enak dan menjadi Nyonya kaya raya. Tapi, apa yang dia dapat? Posisinya sebagai istri dari Wiranto sama sekali tidak ada artinya di rumah itu. Dia seperti seekor kucing yang tidak memiliki kuku untuk mencakar.
Tak hanya itu, di mata Raka dia hanya orang yang numpang hidup. Raka sama sekali tak menghargai keberadaannya. Jangankan menguasai harta Wiranto, uang belanja saja diatur secara ketat oleh Raka.
“Ibu lagi ngapain, sih? Kok dari tadi aku lihat bete gitu mukanya?"
Widuri yang tiba-tiba duduk di sofa di sampingnya dan bahkan menepuk pahanya dengan keras membuatnya terkejut.
"Kamu ini,” sentak Bu Sundari sambil melotot tajam. "Bisa gak sih gak usah ngingetin Ibu?” marahnya. Widuri sendiri adalah anak bu Sundari dari suami pertama. Pria desa yang oleh Sundari dianggap miskin lalu diceraikan demi mengejar pak Wiranto.
"Maaf, Bu. Widuri kan cuma mau tanya. Habisnya Ibu sih dari tadi mukanya kaya koran lecek gitu,” ucap Widuri merasa bersalah.
"Ibu itu lagi kesal sama bapakmu," ucap Bu Sundari yang wajahnya ditekuk.
"Kenapa lagi, Bu?" tanya Widuri. "Perasaan Bapak nurut-nurut aja sama Ibu?” Widuri menatap ibunya dengan kening berkerut.
"Apanya yang nurut?" tanya Bu Sundari balik, dengan nada sinis. "Bapakmu itu sekarang sudah gak pernah mau lagi omongan ibu. Dia seperti sama sekali tidak memiliki kekuatan di depan Raka. Dia itu kan kepala keluarga. Seharusnya dia bisa menekan Raka, bukan malah membiarkan Raka seenaknya sendiri."
"Lalu kita sekarang harus bagaimana, Bu?" tanya Widuri, cemas. "Kalo kita gak bisa menerima Amelia malah kita yang akan diusir dari rumah ini. Aku gak mau, Bu. Aku gak mau hidup susah kayak dulu.”
Bu Sundari berpikir sejenak. Ia mungkin tidak bisa menghalangi niat Raka untuk menikahi Amelia, tapi dia juga tidak mungkin menyerah begitu saja.
"Untuk sementara, kita harus bersikap baik pada Amelia, terutama jika ada Raka di rumah," ucap Bu Sundari. "Tapi jika Raka tidak ada di rumah, kita bisa melakukan apapun agar mantan pembantu itu merasa tidak nyaman di rumah ini. Dengan begitu, dia akan menyerah dan meninggalkan rumah ini.”
Widuri mengangguk setuju. Ia juga tidak suka dengan Amelia. Karena dia merasa Safitri yang paling cocok dengan Raka, kakak tirinya. Jika Raka menikah dengan Safitri, maka statusnya di lingkungan pertemanan akan meningkat. Bukan hanya hanya memiliki kakak seorang kepala desa, tapi juga ipar yang merupakan anak juragan beras.
*
Sementara itu, di kantor desa, di sela-sela mengerjakan tugasnya, Raka berbincang dengan para perangkat lain, termasuk Amelia dan Safitri.
Mereka sedang membahas masalah hama tikus yang saat ini sedang menyerbu sawah. Padahal padi yang mereka tanam baru saja berumur sepuluh hari.
"Tapi di sawahku itu parah banget loh, Mas Kades," keluh Pak Imron salah satu perangkat desa sambil menghela nafas berat "Kok rasanya kita yang manusia ini bisa kalah sama tikus."
"Iya, Pak, sama," timpal Bu Laras, yang terlihat seperti orang frustasi. "Padahal udah macem-macem dicoba, tetep aja nggak mempan. Gimana ya, ini?"
Raka menyimak sambil mengernyit. Lagi-lagi keluhan yang sama. Tikus dan petani sudah layaknya musuh bebuyutan. Dia sendiri sebenarnya juga sedang pusing, karena lahan yang baru tanam beberapa hari lalu juga rusak akibat serangan tikus. Entah bagaimana caranya mengusir tikus agar tidak kembali lagi.
Di saat semua sedang berpikir serius, dengan tenang Amelia bersuara.
"Maaf ya, Mas Kades, Bapak Ibu," kata Amelia sopan. "Sebenarnya ada beberapa cara yang bisa dicoba. Mungkin bisa jadi solusi.”
Semua mata langsung menatap ke arah Amelia. “Bagaimana caranya Mbak?" tanya Pak Burhan dengan antusias.
Amelia berdiri dari tempat duduknya lalu mendekat ke peta sawah desa yang tergantung di dinding. Dengan jari telunjuk, dia menunjuk area persawahan.
"Pertama, kita mulai harus menanam secara serentak, jangan ada lebih dulu atau ada yang terlambat. Soalnya, kalo ada yang telat, atau ada yang lebih dulu, tikus-tikus itu akan berkumpul di situ saja."
Pak Slamet, yang merupakan seorang kepala dusun mengangguk membenarkan ucapan Amelia. Karena hal itu pernah terjadi padanya. Hanya karena dia memiliki sumber air sendiri, dia menanam padi lebih dulu sebelum tetangga lainnya mulai penggarapan lahan, dan alhasil tanamannya benar-benar ludes.
“Kemudian soal pengairan," ucap Amelia. Selama masa pertumbuhan padi, usahakan airnya cukup dalam, sekitar 5-10 cm. Supaya tikus tidak masuk ke dalam lahan, karena tikus akan kesulitan bergerak di dalam air. Dan juga yang penting bersihkan gulma, rumput liar, atau sisa-sisa panen seperti jerami yang dibiarkan bertumpuk. Karena itu akan menjadi sarang yang nyaman buat tikus tikus itu.
"Wah, masuk akal juga ya, Mbak," sahut Bu Laras, seorang perangkat desa yang selalu bersemangat.
Amelia mengangguk. "Betul, Bu. Terus, ada lagi cara alami yang bisa dicoba. Bapak-Ibu bisa tanam tanaman yang tikus nggak suka di bagian pinggir pematang sawah, kayak bawang merah, bawang putih, atau serai wangi. Tikus tidak menyukai bau-bauan tersebut, jadi mereka akan enggan untuk datang."
"Wah… ternyata ada cara semacam itu. Baru tahu aku," celetuk Pak Kusni perangkat desa lainnya sambil menggaruk-garuk kepala.
Amelia tersenyum. "Kalau cara fisik, sepertinya para petani sudah menggunakannya. Yaitu menanam pagar penghalang di sekeliling sawah. Malah kalau malam, saya lihat ada yang pakai kabel listrik juga. Padahal itu sangat berbahaya, dan juga ada hukumnya kan?”
“Benar Mbak. Tahun lalu ada yang memasang jebakan tikus dengan listrik, dan tanpa sengaja ada warga yang meninggal karena jebakan itu. Dan dia terkena denda seperempat hektar sawah."
Amelia menarik napas sejenak. "Sampai saat ini tikus memang yang paling meresahkan di antara semua hama. Dan kalo semua cara sudah tak berhasil, terpaksa kita pake cara kimia, racun tikus. Tapi, kita juga harus hati-hati pilih. Jangan pake terlalu banyak, karena bisa mencemari air dan tanah. Apalagi kalau salah kita ada di sekitar perumahan, itu akan berbahaya bagi binatang piaraan yang suka cari makan di sawah.”
Raka yang sejak tadi hanya diam dan menyimak tanpa suara, memandang Amelia dengan tatapan takjub. Tanda tanya dalam hatinya semakin besar. Benarkah Amelia hanya seorang pembantu? Tapi kenapa ilmu pengetahuannya bahkan sekelas lulusan IPB?
“Sebenarnya, ada cara yang lebih alami dan ramah lingkungan, yaitu dengan memanfaatkan musuh alami tikus. Kita bisa lepaskan kucing liar di sawah.” Suara Amelia kembali terdengar di telinga Raka. "Padahal kalau menurut dongeng zaman dulu, ular sawah dan burung hantu, adalah predator utama pemangsa tikus. Tapi sayangnya, sekarang burung hantu sudah musnah karena banyak diburu.”
wow, auto tantrum tuch Safitri 🤣🤣
bentar lagi nanam padi jg 🥰