Sinopsis
Arumi Nadine, seorang wanita cerdas dan lembut, menjalani rumah tangga yang dia yakini bahagia bersama Hans, pria yang selama ini ia percayai sepenuh hati. Namun segalanya runtuh ketika Arumi memergoki suaminya berselingkuh.
Namun setelah perceraiannya dengan Hans, takdir justru mempertemukannya dengan seorang pria asing dalam situasi yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 12
Saat masuk ke lobi hotel, mereka langsung disambut aroma bunga segar yang menghiasi sudut-sudut ruangan. Salah satu staf yang mengenali mereka sebagai tamu non-menginap menghampiri.
“Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?” tanya staf dengan sopan.
“Selamat siang, kami mau menemui salah satu rekan kami yang sedang mengatur acara pernikahan besok. Namanya Nayla, dari tim wedding organizer,” jelas Arumi dengan ramah.
Staf hotel tampak kebingungan sesaat. Ia membuka tablet kecil di tangannya dan mulai memeriksa daftar reservasi dan jadwal acara.
“Maaf, Ibu bilang namanya siapa tadi?” tanyanya sopan.
“Nayla. Dari tim wedding organizer. Katanya hari ini ada acara persiapan pernikahan di sini,” ulang Arumi, kini mulai merasa ada yang janggal.
Petugas tersebut mengernyit. “Sebentar ya, saya cek dulu.”
Ia melangkah menuju meja resepsionis, berbicara sebentar dengan rekan kerjanya, lalu kembali lagi dengan ekspresi sedikit ragu.
“Mohon maaf, Bu, tapi setelah kami cek, hari ini dan besok tidak ada jadwal pernikahan di Hotel The Aruna. Kami juga tidak menemukan nama Nayla atau tim wedding organizer mana pun yang terdaftar untuk acara.”
Arumi dan Hilda saling berpandangan.
“Serius nggak ada?” tanya Hilda, sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya lebih tegas.
Staf itu mengangguk sopan. “Iya, Bu. Bisa jadi Ibu salah hotel.”
Arumi menarik napas dalam-dalam, mencoba tetap tenang meskipun pikirannya mulai penuh dengan tanda tanya.
“Terima kasih ya, Mas,” ucapnya.
Mereka berdua berjalan menjauh dari lobi, keluar menuju mobil tanpa berkata sepatah kata pun. Begitu pintu mobil tertutup, Hilda langsung menoleh.
“Rum, kamu yakin Nayla bilang di sini?”
Arumi mengangguk pelan. “Aku yakin dia bilang ‘Hotel The Aruna’. Dia bahkan cerita lagi koordinasi dekor.”
“Dan kamu juga nggak salah denger atau salah catat?”
“Enggak.”
Keheningan menggantung di antara mereka sejenak. Lalu Hilda mengambil ponselnya, membuka browser, dan mengetikkan sesuatu.
"Maaf apa ada hotel lain dengan nama yang mirip?" Tanya Arumi.
"Sebentar ya ibu, akan saya tanyakan dulu." Ujar Staf hotel.
Staf hotel yang tadi menghampiri mereka kembali setelah berbicara dengan resepsionis.
“Maaf, Ibu... setelah saya tanyakan juga ke supervisor, di kota ini memang tidak ada hotel lain yang bernama The Aruna selain kami. Tapi kalau Ibu mencari hotel berbintang yang biasa digunakan untuk acara pernikahan, ada beberapa pilihan lain, seperti Hotel Nirwana Grand, Lemongrass Suites, atau Santika Heritage. Ketiganya sering jadi tempat wedding.”
Arumi mengerutkan alisnya, mencoba mengingat. “Tapi dia jelas bilang ‘Aruna’. Aku ingat banget, karena aku sempat komentar soal namanya yang cantik.”
"Apa tempatnya berubah, ya?" gumam Arumi, menatap ke arah hotel dengan kening berkerut.
Hilda menggeleng pelan. "Nggak mungkin, Rum. Katanya acaranya besok, kan? Mana mungkin ganti hotel secepat itu. Nggak logis."
Ia menoleh ke arah sahabatnya, lalu menambahkan dengan nada lebih tegas, "Udah deh, telepon aja Nayla. Tanyain langsung. Minta dia share lokasi aja sekalian. Nggak usah sok-sokan mau kasih kejutan segala, repot."
Arumi menghela napas, lalu mengangguk pelan. "Iya, kamu bener. Udah kepalang tanggung juga ke sini."
Ia merogoh tasnya, menarik keluar ponsel, lalu mulai mencari kontak Nayla untuk dihubungi.
Arumi menekan nama Nayla di layar ponselnya dan menempelkan ponsel ke telinga, menunggu nada sambung.
Namun yang terdengar hanya suara operator.
"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi atau sedang tidak aktif."
Kening Arumi berkerut. Ia menurunkan ponselnya, menatap layar sejenak, lalu mencoba kembali. Masih sama, tak ada jawaban, hanya suara dingin dari mesin.
“Nomornya nggak aktif,” gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri.
Arumi menoleh pada Hilda yang sedari tadi memperhatikannya.
“Nomornya nggak bisa dihubungi, Hil,” ucap Arumi, suaranya mulai mengandung cemas. “Kayaknya udah nggak aktif.”
Hilda ikut mengerutkan dahi. “Masa sih? "
"Iya nggak aktif." Kata Arumi.
"Terus ini gimana?" Tanya Hilda.
"Udah, kepalang di sini, kita jalan-jalan aja. Mumpung di Bandung." Kata Hilda.
“Udah lah, kepalang di sini, kita jalan-jalan aja. Mumpung lagi di Bandung,” kata Hilda, berusaha mencairkan suasana dengan senyum kecil.
“Terus, Nayla gimana?” tanya Arumi, masih dengan nada cemas.
"Nanti kita coba hubungi lagi, siapa tau sekarang dia lagi sibuk, jadi matiin hpnya." Ujar Hilda.
Arumi mengangguk pelan, meski hatinya masih gelisah. Ia memandangi layar ponselnya yang sudah gelap, seolah berharap Nayla tiba-tiba menghubunginya kembali.
“Udah, jangan terlalu khawatir,” ujar Hilda lembut, berusaha menenangkan. “Mungkin ponselnya emang sengaja dimatikan. Bisa jadi dia lagi sibuk banget koordinasi buat acara. Kamu juga tahu sendiri, gimana hektiknya kerjaan wedding organizer, apalagi kalau kliennya demanding.”
Arumi hanya menarik napas pelan, mencoba menelan logika yang disodorkan Hilda, meski hatinya tetap belum bisa tenang.
"Kita makan dulu yuk, ini udah mau sore." Kata Hilda.
"Iya deh, aku juga udah laper." Ujar Arumi.
Keduanya pun memutuskan untuk makan, sebelum memutuskan selanjutkan.
"Kita makan dulu, yuk. Ini juga udah sore," ujar Hilda sambil melirik jam di pergelangan tangannya.
"Iya deh, aku juga udah mulai lapar," sahut Arumi dengan anggukan kecil.
Tanpa banyak kata lagi, keduanya pun sepakat mencari tempat makan terdekat. Perut mereka memang butuh diisi sebelum memutuskan langkah selanjutnya.
Di dalam restoran tempat mereka makan, suasana cukup ramai, tapi meja mereka terasa hening. Hilda meletakkan sendoknya, menatap Arumi dengan ekspresi serius.
"Kita gimana, Rum? Mau nunggu, atau langsung pulang aja?" tanyanya pelan.
Mereka memang datang ke Bandung dengan niat memberi kejutan untuk Nayla. Tapi kini, semuanya terasa sia-sia, Nayla tak ada di hotel yang disebutkan, dan nomor ponselnya pun tak bisa dihubungi. Tak ada petunjuk ke di hotel mana Nayla melakukan pekerjaannya.
"Gimana kalau kita nginap satu malam aja? Sambil nunggu HP-nya Nayla aktif. Aku khawatir, Hil," ujar Arumi pelan.
Wajahnya jelas menunjukkan kegelisahan yang sejak tadi tak bisa ia sembunyikan. Ada rasa takut yang menggelayut, apalagi sedari perjalanan menuju Bandung tadi, perasaannya memang sudah tak enak.
Nayla bukan sekadar teman biasa. Ia adalah sahabat Arumi sejak SMA, seseorang yang tumbuh bersamanya, melewati banyak hal bersama, dari tangis hingga tawa. Tidak mengetahui di mana Nayla berada sekarang membuat Arumi benar-benar tak tenang.
Hilda mengangguk pelan, menyetujui usulan sahabatnya.
"Ya udah, kalau kamu ngerasa lebih tenang gitu, kita nginap aja. Tapi kita harus cari tempat dulu, ya," katanya sambil mengeluarkan ponsel dari tasnya.
"Iya, kita cari yang deket-deket aja dari sini. Yang penting bersih dan aman," timpal Arumi, sedikit lega karena Hilda tidak menolak.
"Aku tahu kita harus nginap di mana.." ujar Hilda tersenyum penuh.
Melihat sahabat satunya itu tersenyum licik, membuat Arumi bergidik ngeri, jika Hilda sudah seperti itu pasti ada yang sedang di pikirkan sahabatnya.
"Aku tahu kita harus nginap di mana..." ujar Hilda sambil tersenyum penuh arti.
Melihat senyuman itu, Arumi langsung merinding.
"Astaga, senyummu kenapa begitu sih? Jangan aneh-aneh ya, Hil."
Hilda malah tertawa kecil, matanya menyipit nakal.
"Nggak aneh, tenang aja."
******
Support author dengan like, komen dan subscribe cerita ini ya, biar author semangat up-nya terima kasih.
...mungkin kecelakaan itu Hansel mo mutusin Hilda tp cewek itu gak mau