Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagimu… ‘kita’ itu apa
Jantungnya seakan berhenti berdetak saat membaca kalimat singkat yang kejam itu. Ponsel di tangannya terasa dingin, seperti sebongkah es yang membekukan jemarinya hingga ke tulang. Udara di sekelilingnya menipis, tersedot oleh kekosongan yang tiba-tiba menganga di antara ranjang Angkasa dan kursi tempat ia duduk.
“La?” Suara Angkasa serak, menarik Lila kembali dari keterkejutan yang melumpuhkan.
Lila mengangkat kepalanya perlahan, matanya bertemu dengan mata Angkasa. Ia melihat sesuatu yang mengerikan di sana. Bukan keputusasaan seperti tadi. Bukan kehancuran. Melainkan sesuatu yang lebih dingin, lebih tajam. Seolah bara api tekad yang baru saja menyala kini disiram dengan air es, tidak padam, tetapi berubah menjadi baja yang membeku.
“Dari siapa?” tanya Angkasa lagi, nadanya datar. Ia sudah tahu. Mereka berdua sudah tahu. Hanya ada satu orang di dunia ini yang akan menyebut Mia sebagai ‘putriku’ dengan posesif yang begitu buta.
Lila tidak sanggup menjawab. Ia hanya menggelengkan kepalanya, seolah gerakan itu bisa menyangkal realitas yang terpampang di layar. Ia meletakkan ponsel itu kembali ke atas nakas, layarnya menghadap ke bawah, seolah mencoba mengubur kata-kata beracun itu.
Angkasa tertawa. Bukan tawa geli atau tawa bahagia. Itu adalah suara serak dan kering, seperti gesekan dahan mati di tengah angin malam.
“Jadi… aku punya harga, ya?”
“Mas, jangan,” potong Lila cepat, suaranya bergetar karena amarah yang tak bisa ia bendung. Amarah yang bukan untuk Angkasa, tetapi untuk dunia yang begitu kejam padanya.
“Jangan pernah berpikir seperti itu.”
“Kenapa tidak?” Angkasa menatap langit-langit, senyum getir terpahat di bibirnya.
“Ini lebih baik dari yang aku kira. Dulu aku dibuang cuma-cuma. Sekarang, setidaknya aku dianggap cukup mengganggu sampai harus dibayar untuk lenyap. Itu… kemajuan, kan?”
“Cukup!” Suara Lila naik satu oktaf, cukup untuk membuat Gilang yang pura-pura tidur di seberang ruangan sedikit bergerak.
Lila segera merendahkan suaranya, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Ia meraih kembali tangan Angkasa, menggenggamnya erat, seolah ingin menyalurkan seluruh kekuatannya untuk menopang benteng pertahanan terakhir pria itu.
“Dengerin aku,” bisik Lila tajam.
“Orang itu… perempuan itu… dia tidak punya hak apa pun atas dirimu. Tidak untuk membuangmu, tidak untuk memberimu harga. Kamu itu tak ternilai, Mas. Kamu dengar aku?”
Angkasa menoleh, menatap tautan tangan mereka. Genggaman Lila begitu hangat, begitu nyata, kontras dengan dinginnya pesan tadi. Ia menghela napas panjang, melepaskan semua kepahitan yang nyaris kembali menelannya.
“Aku dengar.”
Keheningan kembali turun, tetapi kali ini terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang canggung atau penuh duka, melainkan keheningan yang intim. Mereka berdua, terisolasi di dalam gelembung kecil di kamar 702, sementara dunia di luar terus berputar dengan kejam.
Malam merangkak semakin larut. Suara monitor jantung Gilang menjadi satu-satunya metronom yang menemani waktu mereka. Perawat jaga sesekali melintas di depan pintu, tetapi tidak ada yang mengganggu mereka.
“Apa rasanya… tahu waktumu terbatas?” tanya Angkasa tiba-tiba, memecah keheningan yang panjang. Pertanyaannya tidak ditujukan pada Lila sebagai perawat, tetapi sebagai sesama manusia.
Lila terdiam sejenak, memikirkan jawabannya.
“Aku tidak tahu rasanya menjadi kamu,” jawabnya jujur.
“Tapi aku tahu rasanya melihat waktu orang yang kamu sayang terus berkurang. Rasanya seperti… kamu berdiri di tepi pantai, mencoba menahan ombak dengan kedua tanganmu. Sia-sia, tapi kamu nggak bisa berhenti mencoba.”
Angkasa mengangguk pelan. “Aku selalu berpikir kalau hidup itu tentang seberapa lama kita bisa bertahan. Mengumpulkan tahun demi tahun. Tapi sekarang… rasanya bukan itu intinya.”
“Lalu apa?” bisik Lila.
“Mungkin… tentang seberapa dalam kita hidup dalam waktu yang kita punya,” jawab Angkasa, matanya kini menatap lurus ke mata Lila, dalam dan tak tergoyahkan.
“Mungkin hidup setahun tapi penuh makna lebih baik daripada hidup seratus tahun dalam kehampaan.”
Diskusi itu membuka gerbang yang selama ini tertutup rapat. Malam itu, dan malam-malem berikutnya, dinding rumah sakit yang dingin menjadi saksi bisu percakapan mereka. Mereka tidak lagi berbicara tentang penyakit sebagai sebuah vonis, tetapi sebagai sebuah lensa yang mempertajam pandangan mereka tentang hidup.
Mereka berbicara tentang kematian, bukan dengan rasa takut, tetapi dengan rasa ingin tahu seorang filsuf. Mereka berbicara tentang mimpi-mimpi konyol yang tak akan pernah terwujud, membuka kedai buku kecil di tepi danau, belajar bermain gitar, atau sekadar merasakan hujan tanpa takut demam.
Cinta mereka tumbuh di tanah gersang itu, sebuah bunga edelweiss yang mekar di tengah bebatuan paling tajam. Keduanya merasakannya, begitu kuat hingga menyesakkan dada, tetapi tak ada satu pun yang berani memberinya nama.
Mengucapkan kata ‘cinta’ terasa seperti sebuah kutukan, sebuah janji akan patah hati yang tak terelakkan. Lebih mudah untuk membiarkannya tak terucap, mengalir di antara tatapan mata, sentuhan tangan, dan tawa lirih di tengah malam.
“Kalau seandainya transplantasi ini berhasil,” kata Lila pada suatu malam, suaranya nyaris tak terdengar.
“Apa hal pertama yang akan kamu lakukan?”
Angkasa tersenyum.
“Aku akan keluar dari sini, berjalan ke kedai kopi terdekat, dan memesan secangkir kopi hitam paling pahit yang mereka punya.”
Lila mengerutkan kening.
“Kopi pahit? Kenapa?”
“Karena aku ingin merasakan sesuatu yang pahit atas pilihanku sendiri,” jawabnya.
“Bukan karena disodorkan oleh takdir.” Ia berhenti sejenak, tatapannya melembut.
“Setelah itu… aku mau pulang. Ke sebuah tempat yang bisa kusebut rumah.”
“Kamu sudah punya tempat tinggal?”
“Belum,” kata Angkasa pelan.
“Tapi aku tahu seperti apa rasanya. Rumah itu… baunya seperti disinfektan yang bercampur aroma teh melati. Suaranya adalah dengung mesin monitor dan napas teratur seseorang yang tertidur di kursi. Dan rasanya… hangat. Seperti genggaman tangan yang tidak pernah lepas, bahkan saat dunia runtuh.”
Jantung Lila berdesir. Ia tahu ‘Rumah’ yang Angkasa maksud. Rumah itu adalah dirinya.
“Kamu tahu, Mas,” balas Lila, suaranya sedikit bergetar.
“Selama ini aku selalu berpikir kalau aku harus kuat untuk Gilang. Aku nggak boleh jatuh, nggak boleh rapuh. Tapi bersamamu… aku merasa tidak apa-apa untuk jadi lelah. Tidak apa-apa untuk merasa takut.”
Mereka saling mencintai dengan cara yang paling murni. Bukan cinta akan fisik yang fana, tubuh Angkasa adalah medan perang sel-sel yang sekarat. Ini adalah cinta terhadap jiwa; jiwa Angkasa yang penuh luka tetapi tetap bersinar, dan jiwa Lila yang tegar tetapi merindukan sandaran.
Mereka menerima risiko itu. Risiko bahwa kebersamaan ini mungkin hanya akan berlangsung beberapa minggu atau bulan. Risiko bahwa salah satu dari mereka akan ditinggalkan dengan lubang menganga di hatinya. Tapi momen-momen ini… setiap percakapan di bawah temaram lampu bangsal, setiap genggaman tangan, setiap senyum lelah… semua itu terlalu berharga untuk dilepaskan hanya karena takut akan rasa sakit di akhir cerita.
Suatu malam, setelah perdebatan sengit tentang apakah alien itu ada, Angkasa menatap Lila dengan intensitas yang membuat wanita itu menahan napas. Tekad yang ia tunjukkan saat menandatangani formulir itu kini kembali, tetapi kali ini bukan untuk melawan penyakit. Ini tentang sesuatu yang lain.
“La,” panggilnya pelan.
“Ya?”
Angkasa terdiam lama, seolah menimbang kata-katanya di ujung lidah. Ia menatap wajah Lila, merekam setiap detailnya, lingkaran hitam samar di bawah matanya, beberapa helai rambut yang lolos dari ikatannya, dan sorot matanya yang selalu penuh pemahaman.
“Waktu itu… waktu aku bilang aku akan berjuang ‘untuk kita’…”
Lila merasakan jantungnya berhenti sesaat, menunggu.
“Aku perlu tahu,” lanjut Angkasa, suaranya kini bergetar karena emosi yang ia tahan.
“Bagimu… ‘kita’ itu apa?”
setelah ini apa yg akan km lakukan pada Angkasa, Laras