Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alya Mulai Sulit Hamil
Rumah itu sunyi. Terlalu sunyi, bahkan untuk Alya yang terbiasa dengan kesunyian sejak menikah dan tinggal di rumah Ardi. Malam sudah lewat jauh, tapi matanya tidak juga mau terpejam. Ia duduk di pinggir ranjang, memandangi jendela yang berkabut oleh dinginnya udara, sementara tangan kirinya menggenggam test pack yang sejak tadi tidak berani ia buang.
Dua garis tidak muncul. Hanya satu.... Lagi..... Dan lagi.... Sudah lima kali dalam dua bulan ini ia melihat hasil yang sama.
Alya menarik napas panjang, berusaha menahan perih yang menusuk dadanya. Ia tidak tahu apakah ia kecewa pada tubuhnya sendiri… atau pada takdir yang terasa seperti menundanya terlalu lama.
“Kenapa belum juga…?” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Ia mengusap wajah dengan kedua tangan, menunduk lama. Ada sesuatu yang berubah pada dirinya beberapa bulan terakhir: kegelisahan. Kecemasan yang datang tiap kali laras menggendong anak tetangga, tiap kali ia melihat anak kecil berlari di halaman rumah sebelah, tiap kali ibu mertua menyentuh lengannya sambil berkata pelan, “Sabar ya, mungkin belum rezeki.”
Alya sabar, dia selalu sabar, tapi dadanya tetap sesak.
Ia menyimpan test pack itu di bawah bantal, seperti seseorang yang menyembunyikan bukti kesalahannya sendiri. Lalu ia berbaring pelan, memeluk guling, menatap ke arah Ardi yang tertidur dengan napas panjang dan teratur.
Ardi selalu tampak tenang. Kadang, terlalu tenang untuk seseorang yang sudah beberapa kali ditolak hasil test pack.
Alya tersenyum pahit.
Ia ingin bangun, membangunkan Ardi, berkata bahwa ia gelisah, takut, malu… tapi kata-kata itu selalu terhalang di tenggorokannya. Ia takut terlihat lemah. Ia takut dianggap menyalahkan diri sendiri. Ia takut membuat Ardi tambah tertekan.
Ia memejam lagi. Tidak bisa. Dadanya terlalu berat.
~~~
Pagi datang dengan aroma kopi dan suara sendok mengaduk. Alya keluar dari kamar dengan rambut yang diikat seadanya, merasa kepalanya masih penuh bayang-bayang semalam. Ardi sedang membuat kopi sambil menggulung lengan bajunya. Ia menoleh waktu mendengar langkah Alya.
“Pagi,” katanya, tersenyum hangat.
Alya mencoba membalas senyum itu. “Pagi…”
Ardi mengamati wajahnya sejenak. “Kamu kelihatan capek. Semalam nggak bisa tidur lagi?”
Alya menghela napas. “Iya, sedikit.”
“Kenapa? Mikirin apa?”
Alya diam. Ardi mendekat, menyodorkan kopi miliknya. “Minum dulu. Mungkin kepikiran kerjaan? Atau ibu kamu?”
Alya memandangi wajah suaminya. Ardi benar-benar tidak tahu. Ia tidak menyadari kegelisahannya. Atau… mungkin ia tahu tapi pura-pura tidak tahu, supaya Alya tidak makin sedih.
“Bukan,” jawab Alya akhirnya. “Cuma… nggak tahu. Kayak banyak pikiran.”
Ardi mengusap kepala Alya lembut. “Kamu tenang aja. Semua di rumah baik-baik aja. Aku juga baik-baik aja.”
Alya tersenyum hambar. Semua baik-baik saja padahal tidak.
~~~
Hari itu, setelah beres membereskan rumah dan masak siang, Alya menyapu halaman. Udara cerah. Anak–anak tetangga berlari lewat sambil tertawa keras. Salah satu dari mereka, anak kecil berusia tiga tahun dengan pipi bulat, berhenti sebentar di depan pagar.
“Tante Alya!” serunya. “Lihat aku! Aku bisa lari cepet!”
Alya tersenyum. “Wah, hebat banget kamu.”
Anak itu tertawa lalu melesat pergi. Tapi sesuatu di dalam hati Alya mencubit keras.
Ia membayangkan… seandainya yang memanggilnya “Mama”…
Seandainya ia bisa menggendong anaknya sendiri Seandainya… Alya menunduk, ujung sapunya berhenti bergerak.
Ia merasa seolah-olah seluruh dunia terus berjalan, sementara dirinya tertinggal. Semua orang di sekeliling terlihat subur, mudah hamil, mudah punya anak. Laras pun sudah punya rencana menikah dan sering bercanda ingin cepat punya bayi.
“Alya belum juga?” kalimat yang pernah ia dengar dari mulut salah satu tetangga masih terngiang jelas.
Alya menghela napas panjang, mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran itu.
~~~
Siang hari, ia pergi ke rumah orang tuanya mengantar makanan. Ibu menyambutnya dengan pelukan hangat seperti biasa.
“Makasih ya, Alya. Kamu baik banget.”
Alya duduk di ruang tamu, memperhatikan ibunya yang sibuk menyusun piring. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan… tapi lidahnya berat sekali.
Ibu menoleh. “Kamu kenapa? Mukanya pucat.”
Alya menggeleng. “Nggak apa-apa.”
“Kamu sama Ardi baik-baik aja kan?”
Alya tersenyum kecil. “Iya, Bu.”
Ibu duduk di sampingnya, memegang tangan Alya lembut. “Kalau kamu ada apa-apa… cerita sama ibu. Kamu kelihatan beda.”
Alya menunduk, merasa matanya panas. “Bu… aku…”
“Kamu kenapa, Nak?”
Alya menggigit bibir. “Aku… belum hamil-hamil, Bu.”
Ibu tidak langsung menjawab. Ia mengambil napas panjang dan memeluk Alya erat.
“Nak… belum tentu kamu yang bermasalah. Jangan salahin diri sendiri.”
Alya mulai terisak pelan. “Aku takut, Bu. Takut Ardi kecewa. Takut mertua kecewa. Takut aku nggak bisa… jadi ibu…”
Ibu mengusap punggung Alya. “Semua ada waktunya. Kamu jangan merasa sendirian. Ardi sayang sama kamu. Kalau dia benar-benar suami yang baik, dia akan tetap berdiri di samping kamu, apa pun yang terjadi.”
Alya memejamkan mata. Kata-kata ibu menenangkan… tapi sekaligus menampar. Karena ia tidak tahu apakah Ardi benar-benar sekokoh itu dalam menghadapi ujian.
~~~
Sore hari, saat ia pulang, Ardi baru saja tiba dari kantor. Pria itu terlihat lelah, tapi tetap tersenyum begitu melihat Alya. “Kamu dari rumah ibu?”
Alya mengangguk. “Iya. Ngantar makanan.”
Ardi duduk di sofa, membuka dasinya. “Kamu kenapa? Ada yang mau kamu omongin?”
Alya menatapnya lama. Ingin sekali ia berkata: Aku takut nggak bisa ngasih kamu anak.
Tapi bibirnya tetap terkunci.
“Nggak apa-apa,” jawabnya pelan.
Ardi menatapnya lebih lama, ragu. “Kalau kamu mikirin soal anak…” katanya akhirnya.
Alya terkejut. Ardi tahu?
“Kita santai aja dulu,” lanjut Ardi. “Belum saatnya, ya belum. Kamu jangan stres. Aku nggak minta apa-apa selain kamu sehat dan bahagia.”
Alya merasakan sesuatu terlepas di dadanya… tapi itu tidak cukup. Kata-kata Ardi hangat, tapi tidak sepenuhnya menghapus kecemasannya.
Karena bukan hanya soal Ardi. Ini tentang dirinya sebagai perempuan. Tentang harapan mertuanya. Tentang tekanan dari sekitar.
Alya mengangguk pelan, tapi air matanya diam-diam jatuh.
Ardi tidak melihat. Atau mungkin pura-pura tidak melihat. Dan rasa itu… membuat Alya semakin gelisah.
Malam itu hujan turun deras. Langit hitam, suara rintiknya memantul di atap dan membuat suasana rumah terasa jauh lebih sunyi dari biasanya. Alya duduk di ruang keluarga dengan selimut tipis disampirkan di bahunya. Televisi menyala, tapi ia tidak benar-benar menonton. Matanya kosong, pikirannya melayang entah ke mana.
Ardi baru selesai mandi, rambutnya masih basah, kaos rumah melekat di tubuhnya. Ia berjalan mendekat dan duduk di samping Alya.
“Kamu dari tadi diem aja,” katanya pelan.
Alya tidak langsung menjawab. Ia merapatkan selimut. “Cuma capek.”
Ardi menatap istrinya itu lebih lama. “Alya… kalau kamu mikirin soal anak, kamu bilang aja ke aku.”
Alya menunduk. “Aku nggak mau bikin kamu tertekan.”
“Aku nggak tertekan,” jawab Ardi cepat, tapi suaranya terdengar ragu—sedikit saja, tapi Alya mendengarnya.
Alya menarik napas panjang, mencoba menahan air mata yang mendesak keluar. “Ardi… udah hampir dua tahun kita nikah. Tapi aku belum juga…”
“Kita udah cek?” potong Ardi lembut. “Belum kan? Kita belum tahu apa-apa.”
Alya mengusap sudut matanya. “Aku takut hasilnya… buruk.”
Ardi memegang tangannya. “Kalau pun buruk, kita hadapi bareng-bareng.”
Alya menatap wajah suaminya. Ada ketegasan di sana, tapi juga ada kekhawatiran yang tersembunyi. Alya merasa hatinya mencelos.
“Beneran?” tanyanya lirih. “Kamu nggak bakal berubah?”
Ardi terdiam sesaat. “Kenapa kamu mikir aku bakal berubah?”
“Aku perempuan… Ardi. Aku tahu apa yang biasanya orang omongin. Perempuan yang nggak bisa ngasih anak sering dianggap kurang. Mereka nggak pernah salahin laki-laki. Mereka selalu nyalahin istri.”
Ardi terlihat menahan sesuatu di dadanya. Ia meraih pundak Alya, menyentuhnya lembut.
“Kamu bukan perempuan yang kurang. Kamu istriku. Itu cukup.”
Alya menangis pelan. Untuk pertama kalinya sejak beberapa bulan terakhir, ia membiarkan perasaannya mengalir tanpa ditahan.
Ardi memeluknya, tidak bicara apa-apa. Hanya memeluk.
Pelukan yang hangat, tapi juga mengandung kegelisahan yang sama Alya bisa merasakannya dari cara Ardi menghela napas, dari cara tangan Ardi menggenggamnya sedikit lebih erat dari biasanya.
~~~
Keesokan harinya, Alya bangun dengan mata bengkak. Ia melihat Ardi masih tidur, dan memutuskan untuk tidak membangunkannya. Ia turun ke dapur, membuat sarapan, dan mencoba menata pikirannya.
Tapi pikirannya dipenuhi suara-suara lain suara ibu mertua yang pernah bertanya, “Kapan nih aku punya cucu?”
Suara tetangga, “Alya udah dua tahun nikah ya? Kok belum isi?”
Suara Laras yang bercanda, “Aku duluan kali ya punya anak?”
Alya menepis semua itu dan mengambil susu dari kulkas. Tapi tangannya gemetar, sehingga gelas itu hampir terjatuh.
Ia duduk, memegang kepalanya.
“Kok aku jadi selemah ini…” gumamnya.
Ia ingat beberapa bulan pertama setelah menikah dia dan Ardi tidak terlalu memikirkan soal anak. Mereka menikah karena desakan keluarga, tapi mereka perlahan belajar mencintai. Ardi menjadi lebih lembut, Alya lebih terbuka. Semua berjalan pelan tapi baik.
Tapi sejak enam bulan terakhir… bayangan tentang kehamilan berubah menjadi tekanan.
Alya memandang kalender di dinding. Tanda lingkaran di tanggal masa suburnya, tanda bintang untuk rencana beli test pack semuanya seolah mengejek.
“Harusnya aku nggak seobsesi ini,” katanya pada diri sendiri.
Tapi tubuhnya tetap gelisah.
~~~
Menjelang siang, telepon berdering. Nama ibu mertua muncul di layar.
Alya sempat ragu mengangkat, tapi akhirnya ia tekan tombol hijau. “Assalamualaikum, Bu.”
“Waalaikumsalam. Alya, kamu sibuk?”
“Nggak, Bu.”
“Ini ibu cuma mau nanya… kamu sama Ardi sehat kan? Ibu kangen kalian.”
Alya tersenyum tipis. “Alhamdulillah, sehat Bu.”
Hening sebentar. Lalu seperti Alya duga…
“Kalian belum ada kabar baik ya?”
Alya langsung terdiam. Dadanya mengencang.
“Apa… maksud ibu?” tanyanya perlahan.
“Kamu tahu maksud ibu apa, Alya. Kamu sama Ardi udah mau dua tahun. Ibu cuma berharap… ada cucu sebelum ibu makin tua.”
Alya meremas kain bajunya. “Kami usaha kok, Bu.”
“Iya… ibu tahu. Tapi kalo belum juga hamil, mungkin kalian bisa periksa? Zaman sekarang banyak kok rumah sakit bagus. Coba diperiksa… siapa tahu ada masalah kecil bisa diobatin.”
Alya menahan napas. Kata masalah terasa seperti pisau kecil yang menusuknya.
“InsyaAllah, Bu,” jawabnya lirih.
“Ibu cuma khawatir. Jangan tersinggung ya.”
“Nggak, Bu…”
Setelah telepon ditutup, Alya memejamkan mata lama. Ia tahu ibu mertua tidak berniat jahat. Tapi tetap saja, kata-kata itu menyakiti.
Ia ingin Ardi ada di sampingnya saat itu. Ia ingin suaminya menguatkan. Tapi Ardi sedang bekerja dan Alya memikul sendiri rasa sakit itu.
~~~
Sore hari, Ardi pulang. Alya sedang melipat baju di kamar.
“Alya,” panggil Ardi pelan.
Alya menoleh. “Iya?”
Ardi masuk dan duduk di tepi ranjang. “Ibu telepon aku.”
Alya berhenti lipat baju. “Tentang…?”
“Cucu,” jawab Ardi pendek.
Alya menunduk. “Aku duga.”
Ardi mengusap wajah. “Aku udah bilang ke ibu buat nggak terlalu nyentil soal itu. Tapi namanya orang tua…”
Alya menggigit bibir. “Aku tahu.”
“Alya, aku nggak mau kamu stres. Aku beneran nggak mau.”
Alya menatap suaminya, dan untuk pertama kalinya ia berkata jujur sepenuhnya.
“Ardi… aku itu takut. Aku takut kamu kecewa suatu hari nanti. Takut kamu mikir, aku bukan istri yang bisa ngasih kamu keluarga lengkap.”
Ardi menatapnya lama, lalu memegang kedua bahunya.
“Alya… aku nikah sama kamu bukan cuma buat punya anak. Aku nikah sama kamu karena aku pilih kamu. Karena aku mau hidup sama kamu.”
Alya berkaca-kaca. “Serius?”
“Serius,” jawab Ardi mantap. “Anak bisa diusahakan. Ada adopsi. Ada program medis. Banyak jalan. Tapi kamu... kamu cuma satu. Aku nggak mau kehilangan kamu cuma karena kamu terlalu keras sama diri sendiri.”
Air mata Alya tumpah begitu saja.
Ia memeluk Ardi, lebih erat dari biasanya seolah ia takut, jika ia melepas sedikit saja, semuanya akan runtuh.
Ardi membalas pelukan itu. Tapi di balik ketegasannya, Alya bisa merasakan getaran kecil… ketakutan yang sama. Kegelisahan yang sama.
Mereka berdua sama-sama cemas.
Hanya saja, mereka sedang belajar untuk tidak saling menjauh karena kecemasan itu.
Dan untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu, Alya merasa sedikit lebih kuat. Sedikit saja.... Tapi itu cukup untuk mulai melangkah.