NovelToon NovelToon
CEO Cantik Vs Satpam Tampan

CEO Cantik Vs Satpam Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Tunangan Sejak Bayi / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Pengawal
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: MakNov Gabut

Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33

Bab 33 -

Di kantor polisi tujuan, suasana tampak tegang saat rombongan Ferdian Sandy tiba bersama sang tahanan, Aryo Pamungkas.

“Di luar ada Gladys — dia minta bertemu dengan Aryo Pamungkas,” lapor seorang petugas kepada Kepala Kepolisian.

Pak Guntur, yang ditelepon oleh Ferdian Sandy, buru-buru memberi instruksi agar Gladys tidak diizinkan masuk. “Jangan biarkan dia masuk,” perintahnya tegas, suaranya menunjukkan kekhawatiran.

“Maaf, Pak… Ibu Gladys membawa surat tugas langsung dari Pak Cakra dan juga dari Pak Walikota Sabra,” kata petugas lain, ragu.

Mendengar nama-nama itu, wajah Pak Guntur berubah pucat. Setelah berpikir sejenak, dia berusaha menutup celah. “Katakan padanya Aryo Pamungkas sedang menjalani interogasi. Jangan diganggu,” katanya sambil menahan gelisah.

Di ruang tunggu kantor kepolisian, Ferdian Sandy duduk dengan sikap angkuh. Ia merasa seolah memegang kendali atas semua petugas di sana. Ketika Gladys melangkah masuk, ia langsung terpana—paras polwan itu membuatnya melongo.

“Polisinya cantik sekali,” gumam Ferdian pada dirinya sendiri ketika melihat Gladys menegur petugas yang menjaga ruang interogasi dengan suara lantang.

“Apa interogasi yang kalian lakukan?” seru Gladys, menantang para petugas. “Saya mau bertemu dengan Kepala Sektor!”

“Maaf, Bu Gladys, Pak Guntur sedang melakukan interogasi terhadap Aryo Pamungkas. Prosesnya belum selesai,” jawab salah satu petugas, mencoba tegas.

“Saya ikut ke ruangnya. Antar saya sekarang.” Permintaan itu keluar tegas — dan petugas itu, tidak berdaya menghadapi otoritas yang datang bersama mandat, mengantarkan Gladys ke kantor Pak Guntur.

Ferdian mengikuti dari belakang, terpana oleh pesona Gladys. Hasrat yang aneh menyeruak di dadanya; tiba-tiba ia merasa tak lagi tertarik pada Wirda. Di matanya kini hanya ada Gladys — ia berkhayal membuatnya jatuh hati.

Di depan ruang kerja Pak Guntur mereka menunggu. Ferdian mencuri-curi pandang, sesekali mengedip. Lima belas menit kemudian, kepala kepolisian itu keluar dari ruang interogasi dan masuk ke kantornya.

“Untuk apa kalian datang ke sini?” tanyanya tegas ketika Gladys segera menuntut penjelasan setelah masuk.

“Aryo Pamungkas membuat onar di kediaman keluarga Perdana. Banyak orang terluka,” jawab Pak Guntur, suaranya sedikit bergetar karena sikap keras Gladys membuatnya tertekan.

“Laporan dari siapa?” tanya Gladys, menatap tajam.

“Dari Ferdian Sandy.” Ferdian melangkah maju, mengangkat tangan dan tersenyum menggoda ke arah Gladys sambil memperlihatkan luka memar di wajahnya. “Itu akibat perbuatan Aryo Pamungkas. Saat aku sedang bersilaturahmi di rumah keluarga Perdana, tiba-tiba Aryo membuat keributan dan memukul orang-orang di sana. Aku terpaksa memerintahkan pengawalku untuk menangkapnya. Aku tidak punya pilihan selain memanggil polisi.”

“Apa? Putra mahkota Keluarga Sandy? Begitu mudah memerintahkan polisi untuk men-agendakan urusan pribadi,” Gladys membalas dengan marah. “Hadapilah masalah itu sebagai seorang laki-laki!”

Ferdian bersikap sok berkuasa. “Aryo Pamungkas telah mengganggu ketertiban umum. Saya tidak akan mencabut laporan ini. Saya ingin dia diproses hukum dan dipenjara.”

Gladys tidak terpengaruh oleh kata-kata Ferdian. “Buka ruang interogasinya sekarang juga!” bentaknya ke arah Pak Guntur.

“Maaf, tidak bisa,” jawab Pak Guntur, namun Ferdian cepat-cepat memotong pembicaraan. “Saya masih ingin mendapatkan keterangan dari Aryo. Kalau Ibu mau bertemu dengannya, ada syaratnya supaya saya mempertimbangkan mencabut laporan ini.”

Gladys mendengus, tak terima. “Syarat apa itu?”

“Syaratnya sederhana. Ibu masih single, kan? Kalau iya, jadi pacarku.” Ferdian melontarkan itu dengan sikap sombong, seperti memperdagangkan kebebasan Aryo dengan jalinan asmara.

“Apa-apaan ini?!” Gladys marah. Ia menunjukan lencana polisinya dan menempelkan tangan pada pistol di pinggangnya. “Anda tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Ini pelecehan terhadap institusi kepolisian!”

“Anda juga tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Itu syaratnya. Saya tidak peduli Ibu seorang aparat. Saya tertarik. Itu harga untuk membebaskan Aryo,” Ferdian menjawab enteng, tak melihat apakah perkataannya melecehkan.

“Baik. Saya proses hukum Anda,” Gladys segera membuka ponselnya, hendak melaporkan tindakan Ferdian.

“Gladys… tolong jangan bawa ini lebih jauh. Jangan marah begitu,” Pak Guntur berusaha menenangkan, suaranya ketakutan.

Dengan satu dorongan, Gladys mendorong kursi Pak Guntur hingga kepala itu terduduk. “Diam! Anda juga akan saya laporkan — pelanggaran kode etik!” seru Gladys dingin.

Sementara itu, Ferdian santai saja, malah tampak menikmati ketegangan.

Gladys kemudian menghubungi Pak Cakra dan juga Walikota Sabra. Segera divisnya dikirim ke kantor itu. Pak Cakra dan Pak Walikota pun datang untuk mendukung tindakan penegakan hukum.

“Pak Guntur, masalah besar akan datang ke kantor Anda. Lebih baik lepaskan Aryo sekarang. Saya perlu bicara langsung dengannya,” kata Gladys tanpa emosi.

Ferdian mendesis, menahan Pak Guntur agar tetap duduk. “Lihat lagi siapa bosmu di sini,” ancamnya pelan kepada sang kepala sektor.

“Tuan, Anda tidak berhak mengatur-atur proses. Tidak peduli Anda dari keluarga kementerian atau dari kelompok mana pun — semua sama di mata hukum,” Gladys mengingatkan dengan tegas.

“Begitu juga, Anda tidak berhak mengobok-obok interogasi yang sedang berlangsung,” balas Ferdian. “Kecuali Anda mau menerima syarat saya barusan.”

Suasana hening. Beberapa petugas tampak gelisah sampai tiba-tiba seseorang mengetuk pintu ruang kerja Pak Guntur. “Pak, ada kepolisian dari sektor sebelah datang,” lapor seorang petugas.

“Berapa banyak?” tanya Pak Guntur, suaranya serak.

“Satu unit. Pak Cakra dan Pak Walikota juga ikut.” Petugas itu menjawab.

Pak Guntur semakin ketakutan. Ia memandang Ferdian dengan tatapan berharap, tapi Ferdian hanya menggeleng—seolah mengintimidasi bahwa karir kepala itu bisa berakhir jika ia tak menurut.

Gladys, yang sudah siap bertindak, kini merasa menang. Dia keluar mengambil anak buahnya, lalu kembali lagi tak lama setelahnya.

“Tangkap orang ini dan semua petugas yang terlibat. Mereka korupsi semua,” perintah Gladys tegas kepada timnya.

Ferdian maju menghadang, suaranya dingin namun penuh ancaman: “Ingat saya berasal dari keluarga berpengaruh. Cukup satu telepon, kalian semua akan kehilangan pekerjaan.”

Petugas yang hendak memasang borgol tampak ragu. Di sisi lain, Pak Cakra dan Walikota Sabra maju ke depan, memandang tajam pada Ferdian.

“Siapa Anda sebenarnya?” tanya Walikota Sabra dengan nada mengejek.

“Saya dari Keluarga Sandy. Kalian tidak akan bisa pergi dari sini kalau saya sudah bicara dengan keluarga saya. Kalian akan ditendang dari posisi. Keluarga saya punya pengaruh besar,” jawab Ferdian santai, mempertontonkan rasa superior.

Pak Guntur berkeringat deras. Jika ketahuan ia menerima uang dari Keluarga Sandy, posisinya sebagai kepala sektor terancam. Ia menatap tajam pada Hadirnya Walikota Sabra — hubungan politik itulah yang menempatkannya sekarang.

“Hubungan dengan Kementerian Pertahanan?” cemooh Walikota Sabra.

“Ya. Saya juga punya relasi di Kementerian Dalam Negeri. Posisi kalian bisa kami goyangkan. Jangan main-main dengan saya,” sambung Ferdian, masih tenang.

Sementara Gladys memainkan borgolnya, menunggu agar basa-basi itu usai dan hukum ditegakkan.

“Oh begitu,” kata Walikota Sabra datar. “Agak memprihatinkan negeri ini—orang dari keluarga berpengaruh kadang merasa bisa berbuat sekehendak hatinya.”

Ferdian lalu berkata lagi, menegaskan wilayah kekuasaannya. “Kalau kalian tidak ada kepentingan lain, silakan pergi. Angkat kaki kalian dan bawa semua anak buah kalian dari sini. Ini wilayah pengaruh saya.”

“Kalau saya tidak mau?” balas Walikota Sabra singkat, nada tak gentar.

Percakapan berhenti di situ — ketegangan menggantung di udara, konflik antara kekuasaan keluarga, kewenangan pejabat, dan janji Penegakan hukum belum menemukan akhir.

Bersambung.

1
Edana
Gak bisa tidur sampai selesai baca ini cerita, tapi gak rugi sama sekali.
Hiro Takachiho
Aku akan selalu mendukungmu, teruslah menulis author! ❤️
Oscar François de Jarjayes
Serius, ceritanya bikin aku baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!