Aku yang membiayai acara mudik suami ku, karena aku mendapat kan cuti lebaran pada H-1. Sehingga aku tidak bisa ikut suami ku mudik pada lebaran kali ini, tapi hadiah yang dia berikan pada ku setelah kembali dari mudik nya sangat mengejutkan, yaitu seorang madu. Dengan tega nya suami ku membawa istri muda nya tinggal di rumah warisan dari orang tua mu, aku tidak bisa menerima nya.
Aku menghentikan biaya bulanan sekaligus biaya pengobatan untuk mertua ku yang sedang sakit di kampung karena ternyata pernikahan kedua suami ku di dukung penuh oleh keluarga nya. Begitu pun dengan biaya kuliah adik ipar ku, tidak akan ku biar kan orang- orang yang sudah menghianati ku menikmati harta ku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leni Anita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Hari sudah sore, aku dan mas Randi segera kembali ke rumah sakit untuk mengambil hasil pemeriksaan kami. Aku sudah tidak sabar lagi untuk mengetahui hasil nya. Mungkin ada hikmah nya dari semua kejadian ini jika memang aku yang terbukti mandul, tapi siap - siap saja mas Randi dan keluarga nya akan mendapat kan balasan yang lebih kejam dari ku jika ternyata mas Randi lah yang bermasalah.
Aku mengendarai mobil ku, semenjak aku mengambil kembali mobil ku dari nya. Aku tidak pernah membiarkan Mas Randi mengendarai mobil ku lagi. di dalam perjalanan kembali ke rumah sakit, Mas Randi tidak mau bicara pada ku. Dia sangat kesal karena aku tidak mau menuruti keinginan nya.
"Gimana dok hasil nya?" Aku langsung bertanya pada dokter karena sudah tidak sabar lagi setelah tiba di rumah sakit.
"Ibu bisa lihat sendiri hasil nya!" Dokter spesialis Obgyn itu memberikan sebuah amplop besar dengan lambang rumah sakit tersebut.
Aku membuka amplop itu dengan tangan bergetar.
"Bismillah!" Aku membaca Bismillah dan berdoa sebelum membuka nya.
Mata ku memperhatikan kata demi kata yang tertulis di kertas putih itu dan alhamdulillah, aku di nyatakan sehat dan subur. Lalu aku beralih pada nama mas Randi, dan,,,,.
"Kau bisa baca sendiri mas!" Aku memberikan kertas hasil pemeriksaan itu pada mas Randi.
"Tidak mungkin, ini pasti salah kan dok?" Mas Randi bertanya pada dokter karena dia tidak percaya dengan apa yang tertulis di sana.
"Hasil nya benar dan akurat pak Randi, itu memang hasil pemeriksaan bapak dan ibu!" Dokter itu kembali menjelaskan.
"Tidak mungkin dok, aku tidak mungkin bermasalah!" Mas Randi masih tidak percaya dengan apa yang dia baca dan lihat.
"Pak Randi, jangan khawatir. Penyakit ini bisa di sembuh kan dengan minum obat rutin, nanti kami akan bantu pantau perkembangan nya!" Dokter itu kembali menjelaskan agar mas Randi tidak merasa tertekan.
"Terima kasih banyak dok, kami Permisi!" Aku pun pamit pada dokter itu karena aku sudah mendapat kan apa yang aku ingin kan.
"Sama - sama bu, nanti jika ibu dan bapak berniat melakukan pengobatan, segera hubungi kami. Kami akan membantu dengan senang hati!" Dokter itu kembali menjelaskan.
"Baik pak, sekali lagi terima kasih. Ayo mas!" Aku menyeret tangan mas Randi agar segera keluar dari sana.
"Bagai mana mas? Apakah sekarang kau dan keluarga mu masih mau menyalahkan aku?" Aku bertanya pada mas Randi ketika kami sudah tiba di dalam mobil.
"Maaf kan mas Rin, mas tidak tahu jika mas yang bermasalah!" Mas Randi meraih tangan ku tapi dengan cepat aku tepis tangan nya.
"Meminta maaf tidak akan mengubah apapun juga mas!" Aku yang terlanjur kecewa dengan mas Randi tidak mudah bagi ku memaafkan penghianatan ini.
"Kamu denger sendiri kan Rin apa yang di katakan oleh dokter tadi, mas bisa sembuh asal kan minum obat dengan rutin. Kita harus berusaha Rin, kita pasti punya keturunan!" Ujar mas Randi sambil menatap ku sendu.
"Maaf mas, semua itu mungkin masih berlaku jika kau tidak membawa Mia ke dalam rumah tangga kita, tapi semua sudah terlanjur mas, nasi sudah menjadi bubur. Aku bahkan tidak mau punya anak dari laki - laki penghianat seperti mu!" Aku menegaskan kan lagi agar mas Randi sadar akan posisi nya.
"Jangan begitu Rin, dulu kau sangat ingin punya anak. Sekarang kita sama - sama berusaha!" Mas Randi kembali membujuk ku.
"Silah kan jika kau mau punya anak bersama Mia, silah kan lakukan pengobatan itu sendiri. Aku tidak mau ikut campur!" Aku berkata sambil fokus pada jalan di hadapan ku.
"Tapi Rin,,,,!"
"Cukup mas, silah kan jika kau mau melakukan serangkaian pengobatan mu, tapi jangan pernah membebani aku!" Aku berkata dengan tegas.
Aku sudah tidak mau lagi mengeluarkan uang untuk mas Randi dan keluarga nya, aku sengaja masih mempertahankan mas Randi bersama ku bukan karena aku mencintai nya. Tapi aku masih belum puas memberi kan hukuman untuk diri nya dan Juga Mia.
Tidak hanya mas Randi dan Mia, aku ingin melihat kehancuran nya bersama seluruh keluarga nya tanpa aliran dana dari ku lagi. Jadi jika mas Randi dan keluarga nya berfikir aku menerima pernikahan kedua nya, mereka salah besar. Aku mempertahankan nya karena aku ingin membuat mereka menderita dan hancur sehancur - hancur nya.
Mobil yang aku kendarai memasuki gerbang rumah ku, ketika aku dan mas Randi turun dari dalam mobil. Aku melihat Mia langung keluar dan menghampiri mas Randi, Mia memeluk mas Randi di hadapan ku agar bisa membuat ku cemburu.
"Ambil saja sampah ku!" Aku berkata sambil melewati mereka berdua
Aku langsung masuk ke dalam rumah di ikuti oleh mas Randi dan juga Mia.
"Mas, tadi malam kamu bilang sama aku bahwa hari ini kamu gajian. Sekarang mana uang nya, biar aku yang atur!" Mia menanyakan gaji mas Randi.
"Gaji mas Randi ada di sini!" Aku menunjuk kan uang yang tadi sudah kami ambil dari mesin Atm.
"Berikan pada ku mbak, biar aku yang atur uang nya!" Mia berusaha merebut uang itu dari tangan ku.
"Aku juga punya hak yang sama dengan uang ini!" Aku menepis tangan Mia dengan kasar.
"Mbak, gak usah serakah. Mbak punya gaji sendiri, ngapain ambil uang nya mas Randi!" Mia tampak kesal karena tidak berhasil merebut uang itu dari ku.
"Hari ini kita akan mendapat kan hak yang sama atas gaji nya mas Randi!" Aku berkata sambil menatap mereka berdua bergantian.
"Gaji mas Randi cuma 6 juta. 2 juta untuk uang makan kita bertiga di rumah ini, 2 juta untuk transportasi mas Randi ketika bekerja, dan kita berdua masing - masing mendapat kan 1 juta!" Aku merinci uang gaji mas Randi.
"Aku gak mau mbak cuma 1 juta, aku mau semua nya!" Teriak Mia di hadapan ku.
"Rin, 2 juta gak akan cukup buat kebutuhan ku dan juga biaya transportasi!" Mas Randi ikut protes dengan keputusan ku.
"Denger Mia, apakah kau pikir aku mau memberi mu makan gratis di rumah ku? Tidak akan pernah Mia, tidak ada yang gratis di dunia ini. Kau tinggal di sini juga tidak gratis, bayaran nya adalah menjadi babu di rumah ku. Anggap saja gaji mu sebagai pembantu di sini habis untuk bayar uang sewa mu di rumah ku!" Aku berkata dengan lantang.
"Rin, berikan 4 juta untuk mas!" Mas Randi merengek seperti anak kecil.
"Baik lah jika kau mau 4 juta, tapi tidak ada uang untuk Mia. Sisa nya 2 juta untuk biaya makan kita sehari - hari, itu pun masih kurang!" Aku berkata lagi.
"Gak, aku gak mau. Aku mau uang punya ku!" Mia menolak jika tidak mendapat kan uang sama sekali.
"Pilihan ada di tangan kalian, mau yang pertama atau kedua!" Aku melipat tangan di dada melihat mereka dengan tatapan sinis.
"Ya udah, aku pilih yang pertama. Dari pada tidak sama sekali!" Mia tampak begitu kesal pada ku, aku bisa melihat nya dari raut wajah nya.
"Rin, mas minta maaf. Kemana Arin ku yang dulu yang lemah lembut dan penurunan!" Mas Randi berlutut di hadapan ku.
"Arin yang dulu sudah mati mas, kau yang membunuh nya dengan membawa jalang ini ke dalam rumah ku!" Aku berkata sambil menunjuk tepat di wajah Mia.
"Aku bukan jalang!" Teriak Mia dengan lantang.
"Pelan kan suara mu, jika masih mau tinggal di rumah ku!" Aku menatap Mia dengan tatapan tajam.
"Ini jatah kalian, aku mau istirahat!" Aku segera berlalu setelah meletakkan uang sebesar 3 juta di atas meja.
"Rin, tunggu Rin!" Mas Randi memanggil ku, tapi tidak ku hirau kan.
Aku terus naik ke lantai 2 dimana kamar ku berada, masih ku dengar Mia yang memarahi mas Randi karena mas Randi tadi mengambil uang gaji nya bersama ku. Aku tidak perduli dengan pertengkaran mereka, itu bukan urusan ku.