cerita ini aku ambil dari kisah aku sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agnura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps# kecelakaan yang menyebabkan aku koma selama 1 bulan
Aku tak tahu sudah berapa lama aku terdiam dalam gelap. Yang kuingat hanya suara klakson, bunyi rem yang berdecit keras, dan tubuhku yang seperti melayang sebelum semuanya lenyap. Ketika mataku terbuka lagi, dunia terasa begitu asing. Bau obat-obatan menusuk hidungku, dan langit-langit putih di atas kepala membuatku sadar kalau aku bukan di rumah. Aku di rumah sakit. Di ruang IGD.
Kepalaku berat, tubuhku lemah. Aku mencoba menggerakkan jari, tapi rasanya seperti tak punya tenaga. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Dan di tengah samar pandanganku, aku melihat sosok yang tak asing.
Kak Regi.
Dia berdiri di samping ranjangku dengan wajah cemas. Rambutnya agak berantakan, dan baju kaos polos tampak kotor seperti baru saja lari terburu-buru. Tapi yang paling membuat dadaku sesak adalah matanya ,yang dulu selalu tenang kini tampak gemetar menatapku.
“Dek... kamu udah sadar?” suaranya serak, nyaris berbisik. Ia lalu menyodorkan segelas teh hangat di tangannya. “Ini, minum dulu, ya. Biar badan kamu agak enakan.”
Aku ingin menjawab, ingin mengucapkan terima kasih, tapi bibirku kaku terasa ada yang menghalangi. Aku hanya sempat melihat uap tipis dari teh itu sebelum pandanganku gelap kembali. Suara-suara mulai memudar. Dan kemudian, aku tenggelam lagi dalam kegelapan.
Entah berapa lama waktu berlalu. Ketika sesekali aku membuka mata lagi, yang kulihat hanya lampu-lampu putih terang dan suara mesin monitor berdetak pelan. Aku di ruang ICU. Suara dokter dan perawat terdengar panik di sekitarku. Aku ingin bicara, tapi mulutku terasa kering. Ada selang yang menempel di hidung dan jarum infus di tanganku.
Aku mendengar samar suara seseorang memanggil, “Cepat, tekanan darahnya turun!”
Lalu semuanya gelap lagi.
Di waktu yang sama, di rumahku yang berjarak 7 kilometer dari rumah sakit, Mama menerima telepon yang membuat jantungnya seolah berhenti berdetak.
“Selamat siang, Ibu. Apakah benar ini dengan keluarga Cila?” suara seorang perawat di seberang terdengar hati-hati.
“Iya, saya ibunya Cila. Ada apa, ya?”
“Maaf, Bu... anak Ibu kecelakaan di perjalanan pulang sekolah. Sekarang dia sedang di ruang ICU Rumah Sakit Harapan Ibu.”
Telepon terputus. Dan seketika, dunia Mama runtuh.
Mama berteriak memanggil Ayah yang baru saja pulang. “Pak! Pak.Cila kecelakaan!”
Ayah spontan menjatuhkan kunci mobil dari tangannya. Mereka berdua panik, tak tahu harus mulai dari mana. Tapi di tengah kekacauan itu, Mama langsung ingat satu nama,Kak Angga, orang yang paling dekat denganku, orang yang selalu kupanggil “Kak” tapi diam-diam sudah menempati ruang paling hangat di hatiku.
Mama segera menelponnya.
“Halo, Nak Angga... maaf ganggu, lagi sibuk, ya?”
“Iya, Mah, lagi di kantor ma ,baru pulang kerja lapangan. Ada apa, Mah? Suaranya panik gitu.”
“Kalau bisa, kamu langsung ke Rumah Sakit Harapan Ibu, ya.”
“Kenapa, Mah? Ada apa?”
“Kamu datang aja. Nanti Mama jelasin.”
Mama sengaja tak bilang kalau aku yang kecelakaan. Mungkin karena takut Kak Angga kaget di jalan.
Kak Angga datang paling duluan. Wajahnya tegang, matanya mencari-cari seseorang di antara kerumunan pengunjung rumah sakit. Ia langsung menghampiri meja resepsionis, lalu disapa seorang perawat.
“Maaf, Bapak keluarga Cila, ya?”
“Iya, betul. Ada apa dengan Cila?!”
“Silakan ikut saya ke ruang ICU.”
Kak Angga mengikuti langkah cepat suster itu. Sepanjang lorong, ia bisa mendengar suara mesin dan bau obat yang menyengat. Dan ketika pintu ruang ICU terbuka, langkahnya langsung terhenti. Di depan pintu ICU no 3 pas kak Angga buka pintu
Cila terbaring di sana. Wajahku pucat, tubuhku dipenuhi perban, selang infus menempel di kedua tangan. Ada alat bantu napas di hidungku, dan monitor berdetak pelan di samping tempat tidurku.
“Cila…” suaranya pecah. Ia mendekat, menggenggam tanganku yang dingin. “Dek… bangun, Cila, ini Kakak… kamu denger, kan?”
Tak ada jawaban. Tapi air mata mulai jatuh dari matanya satu-satu.
Ia menunduk, mencium punggung tanganku yang lemah. “Jangan tinggalin Kakak, ya. kaka janji kaka akan jelaskan semua ke Kamu soal mey, dek bangun kaka salah ,kaka akan jelaskan dek maaf kaka gak jagain kamu dengan baik dek" sambil teriak panik
Beberapa menit kemudian Mama dan Ayah datang. Mama langsung berlari begitu melihatku di atas ranjang dengan banyak alat menempel di tubuhku. “Ya Allah, Cila anak Mama…”
Tangisnya pecah. Kak Angga berusaha menenangkan, tapi air matanya sendiri tak berhenti.
Di sudut ruangan, aku sebenarnya mendengar semuanya. Tubuhku tak bisa bergerak, tapi hatiku seolah terbakar oleh rasa sakit yang tak bisa dijelaskan. Aku ingin memanggil Mama, ingin menggenggam tangan Kak Angga dan bilang aku masih di sini. Tapi suaraku hilang. Yang bisa kulakukan hanya menangis dalam diam.
Dan di tengah itu semua, sosok Kak Angga berdiri di dekat ranjangku di ruangan ICU. Ia menatapku lama mungkin Ada penyesalan di matanya, tapi juga sesuatu yang lebih dalam. Ia menatap aku lama sampai air matanya menetes, lalu menunduk dan berbalik .
Mungkin karena ia tahu, akulah yang paling hancur.
1 bulan berlalu. Tubuhku masih lemah, tapi aku mulai sadar meski belum sepenuhnya. Mama selalu di sisi ranjangku, sementara Kak Angga tak pernah sekalipun meninggalkan rumah sakit. Setiap pagi dan sore bakan tidur di rumah bersama aku ia selalu datang membawa bunga kecil atau makanan kesukaanku, padahal aku belum bisa makan. Kadang ia hanya duduk diam di kursi, menggenggam tanganku sambil berbisik, “Kamu hebat, kamu harus bangun dek. Kakak di sini, jangan takut.”
Namun, di antara semua itu, ada bayangan yang terus datang di pikiranku: Kak Regi. Sosok yang tiba-tiba muncul di hari kecelakaan, yang tanpa pikir panjang menolongku, membawaku ke rumah sakit, bahkan membeli teh hangat untukku.
Aku masih ingat tatapannya tatapan seseorang yang menyimpan rasa bersalah sekaligus rasa sayang yang dalam. Dulu, sebelum aku dekat dengan Kak Angga, aku dan Kak Regi pernah saling kenal setelah tak terdengar kabar nya
Tapi ternyata, takdir mempertemukan kami lagi di saat tubuhku nyaris tak bernyawa.
Suatu sore, ketika Mama pulang sebentar ke rumah untuk mandi dan Ayah ke kantor polisi mengurus surat laporan kecelakaan, Kak Angga duduk di sampingku sambil mengelus rambutku pelan.
“Cila…” suaranya lembut. “Kakak sempat mikir, gimana kalau hari itu Kakak nyusul kamu pulang sekolah, mungkin kamu nggak akan kecelakaan.”
Aku tersenyum lemah. Dalam hati “Jangan nyalahin diri sendiri, Kak… itu bukan salah siapa-siapa.” dengan suara yang amat lemah sehingga gak terdengar oleh kak Angga.
Tapi dalam hatiku, aku tahu bukan hanya rasa bersalah yang ia bawa. Ada sesuatu yang mengganjal di antara kami.
“Dek…” katanya pelan lagi. “Kamu tahu nggak siapa yang nolong kamu pertama kali?”
kak Angga menatap aku. “ Regi, kan?”
Kak Angga terdiam, lalu mengangguk pelan.
“Dia sempat di sini waktu kamu nggak sadar. Tapi waktu Kakak datang, dia langsung pergi.”
Suasana jadi hening.
Aku tahu kenapa. Karena , Kak Regi adalah orang pertama yang beberapa hari datang ke rumah kami untuk melamar kan, Dan mungkin, bagi Kak Angga, kehadirannya lagi adalah bayangan masa lalu yang belum sepenuhnya pergi.
Beberapa hari kemudian, Kak Angga Ia menunggu di luar kamar rawatku, ka angga ragu untuk masuk. Aku melihatnya dari kejauhan,masih dengan wajah yang sama, tapi kini ada luka yang berbeda. Ketika ia akhirnya melangkah masuk, aku mencoba tersenyum.
“kak angga…”ucap aku dalam hati
Dia menatapku, matanya berkaca. “Maaf, Cila… aku yang harusnya di posisi kamu waktu itu.”
Aku menggeleng. “Jangan ngomong gitu. Kk udah nemenin aku di sini selama 1 bulan Kalau nggak ada kaka, mungkin aku nggak akan hidup.” ucap aku masih dalam hati,
Dia menunduk, menggenggam jemari tanganku sebentar. “Aku cuma… nggak nyangka kita ketemu lagi dalam keadaan kayak gini, terakhir kita ketemu kamu masih sehat dek.”cuma ada sedikit kesalahpahaman,
Suasana tiba-tiba jadi canggung. Tapi di balik itu, aku bisa merasakan betapa tulusnya perasaannya.
Malam itu, aku menangis diam-diam. Aku mencintai Kak Angga, tapi aku juga tahu, sebagian dari hatiku masih menyimpan rapi apa yang pernah ka Angga bilang dan aku lihat di pesan ka angga sama mey, dan bayangan itu selalu ada terus menempel di tepi hati dan pikiran ku
Hari-hari berikutnya aku mulai membaik. Luka di kaki dan pinggang mulai pulih. Tapi luka di hati? Masih belum.
Kak Angga tetap datang setiap hari, tapi kini ia lebih banyak diam. Aku tahu ia sedang berjuang dengan perasaannya sendiri. Hingga suatu sore, ia memutuskan bicara.
“Cila…” suaranya pelan tapi tegas. “Kakak sayang kamu. Tapi Kakak nggak mau kamu tertekan antara pemikiran dan perasaan kamu ,Dek Kakak dan dia.gak ada hubungan apa-apa, dulu memang iya cuma sekarang sudah gak kami sudah putus dek kaka sama dia cuma teman biasa gak lebih, kaka harap Kamu percaya sama kaka dek"
Aku tercekat. “kak aku gapapa ko kalo emang kaka nyaman sama dia aku. Gapapa kak mengalah aja karena emang dia lebih dulu kenal sama kaka di banding aku kan”
“Kalau memang kaka masih punya perasaan sama Mey, Aku nggak akan marah. aku cuma mau kaka jujur sama hati kakak sendiri adapun hubungan kita itu jangan jadi halangan buat hubungan kalian kak”
Aku menangis. Bukan karena sedih, tapi karena begitu banyak cinta di balik kata-kata itu. Cinta yang rela kehilangan demi kebahagiaan orang yang disayangi.
Kak Angga meluk aku dengan erat " gak dek bukan begitu kalo emang adek gak suka kaka berhubungan sama wanita lain kaka bakalan ganti kartu dek, asal adek mau terima kakak lagi dek cuma adek yang kaka miliki sekarang gak ada lagi .
Aku cuma diam dan menangis, sampai ketiduran di pelukan kak Angga, lalu kak angga menidurkan aku dan dia tidur di sofa
Keesokan harinya, Kak Angga datang lagi membawa bubur. Tapi kali ini tidak sendiri. Ia membawa teman-teman nya Mereka 4 berdiri di depan ranjangku.
kak angga memperkenalkan mereka ber 3, " dek mereka teman-teman kakak kalo kakak lagi diluar pasti sama mereka kamu jangan berfikir yang aneh-aneh ya,"
Kak Angga menatapku sambil tersenyum kecil. “Kamu sembuh karena dua hal — doa dan orang yang nggak pernah berhenti mikirin kamu. Salah satunya, dia.”
Aku menatap Kak Angga yang menunduk malu." iya kak"
Aku tahu saat itu, hidup memberiku pelajaran berharga: bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki, tapi tentang siapa yang tetap tinggal ketika dunia kita runtuh.
Beberapa minggu kemudian aku keluar dari rumah sakit. Luka di tubuhku perlahan sembuh, tapi setiap kali aku melihat bekas perban di tanganku, aku selalu teringat Nama Kak Angga laki-laki yang selalu ada dan mungkin akan selalu, menjadi bagian dari kisah hidupku sekarang dan selanjutnya.
Di antara kami berdua , aku tak tahu siapa yang akan menyerah dengan hubungan ini Tapi satu hal yang pasti, aku sudah belajar bahwa cinta sejati tak selalu berakhir bahagia, namun selalu meninggalkan jejak yang indah di hati.adapun nanti hasilnya aku hanya bisa pasrah sama nasib yang akan membawa aku ke titik terbaik.
Dan malam itu, sebelum tidur, aku menulis satu kalimat di buku harianku:
“Beberapa luka tak harus diobati dengan kata, tapi cukup dengan bukti .”