NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:250
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10: DENAH YANG TERLUPAKAN

"Buka pintunya."

Dua kata itu menggantung di udara pantry yang pengap, di antara bau biji kopi yang sangit dan debu.

Reza menatap Rania. Ketakutan di matanya bergulat dengan kekaguman yang aneh. Gadis yang gemetar di UGD setengah jam yang lalu telah lenyap. Yang berdiri di depannya sekarang adalah seseorang yang... fokus. Dingin. Seperti seorang ahli bedah yang baru saja mengidentifikasi tumor.

"Ra," bisik Reza, "kita tidak tahu apa yang ada di bawah sana."

"Aku tahu," jawab Rania. Suaranya datar, tidak menyisakan ruang untuk berdebat. "Aku bisa merasakannya. Tempat itu 'dingin'. Itu adalah sumbernya. Buka."

Reza mengangguk. Dia tidak lagi berdebat dengan diagnosis jamur. Dia telah melihat asap dari payung. Dia menancapkan ujung linggis kecil itu ke celah antara pintu kayu jati kuno dan bingkainya.

Dia menekan dengan seluruh berat badannya.

*KRRRREEEEEAAAAK...*

Suara itu adalah erangan yang menyakitkan. Suara kayu kering yang dipaksa melepaskan cengkeramannya pada kusen setelah puluhan tahun tertidur. Engsel besi tempa di sisi lain menjerit memprotes, suara logam menggores logam yang membuat gigi Rania ngilu.

Saat segelnya terbuka, sesuatu yang *salah* langsung terasa.

Bukan bau.

Itu adalah *ketiadaan* bau.

Bau jamur, bau apek, bau kelembapan yang seharusnya ada di ruang bawah tanah yang terkunci... semuanya lenyap. Seolah-olah pintu jebakan itu adalah segel kedap udara.

Yang keluar dari celah yang terbuka adalah hembusan udara *dingin* yang steril. Udara yang sama seperti di toko Pak Yusuf. Udara yang berbau seperti ozon, debu kuno, dan ketiadaan.

Reza terbatuk, mundur selangkah. "Astaga... baunya... kayak di dalam TV tabung lama."

Rania tidak mundur. Dia berlutut, menatap ke dalam kegelapan yang baru saja terbuka.

"Senter," perintahnya.

Reza merogoh laci di bawah mesin kasir dan melemparkan senter LED yang berat.

Rania menangkapnya. Dia menyalakannya. Cahaya putih kebiruan yang tajam menembus kegelapan.

Dan mereka berdua membeku.

Itu bukan ruang bawah tanah.

Itu bukan gudang anggur. Itu bukan fondasi bata.

Di bawah sana tidak ada tangga kayu yang reyot. Hanya ada serangkaian lempengan batu yang dipotong kasar, menurun curam ke dalam ruangan yang... *salah*.

Arsitek di dalam diri Rania langsung berteriak.

"Geometrinya," bisiknya, lebih pada dirinya sendiri.

"Apa?" tanya Reza, mengintip dari balik bahu Rania.

"Geometrinya. Lihat." Rania mengarahkan senternya ke dinding. Dindingnya tidak terbuat dari bata atau beton. Dinding itu *halus*. Hitam. Seperti porselen yang tidak memantulkan cahaya, atau mungkin obsidian. Dan sudut-sudutnya...

"Sudut itu," Rania mengarahkan senternya ke tempat dua dinding bertemu. "Itu bukan sembilan puluh derajat. Itu mungkin... delapan puluh tujuh? Dan langit-langitnya... miring ke bawah dengan sudut yang tidak logis."

Ruangan di bawah sana adalah sebuah pelanggaran terhadap *blueprint* yang wajar. Itu adalah ruang yang *seharusnya tidak bisa* ada di bawah kafe bergaya kolonial.

Dan ruangan itu *sunyi*.

Keheningan yang teredam yang Rania rasakan di apartemennya tidak ada apa-apanya dibandingkan ini. Di sini, keheningan itu *absolut*. Agresif. Seolah-olah ruang itu sendiri *menyerap* suara. Napas mereka sendiri terdengar datar dan mati begitu keluar dari bibir mereka.

Reza menelan ludah. Suara tegukannya terdengar sangat keras di pantry yang kini ikut menjadi sunyi. "Ra... ini tempat buruk. Ini... ini kuburan."

"Bukan," kata Rania. Dia berdiri. "Ini ruang kerja."

Dia mengarahkan senternya ke tengah ruangan di bawah.

Ruangan itu tidak besar. Mungkin empat kali empat meter. Dan di tengah-tengahnya, satu-satunya benda di sana, berdiri sebuah meja *drafting* (meja gambar arsitek) kuno. Terbuat dari kayu gelap, dengan papan yang bisa dimiringkan. Meja itu tertutup lapisan debu tebal yang sama seperti di toko Pak Yusuf—debu yang tidak bergerak.

"Aku turun," kata Rania.

"Apa? Tidak!" Reza mencengkeram lengannya. "Kita panggil polisi. Atau... pendeta. Atau... Elara!" (Dia teringat nama pemimpin Pelestari yang Rania ceritakan).

"Mereka tidak akan mengerti," kata Rania, melepaskan cengkeraman Reza. "Pria berpayung itu bekerja untuk mereka, atau orang seperti mereka. Mereka bukan teman kita. Aku harus tahu."

Dia tidak menunggu jawaban. Dia menyorotkan senternya ke tangga batu yang kasar dan mulai menuruni anak tangga itu satu per satu.

Setiap langkah terasa seperti menenggelamkan diri lebih dalam ke air es. Udara semakin dingin, dan keheningan semakin pekat hingga menekan telinganya.

"Sialan, sialan, sialan..." gumam Reza, tapi dia menyalakan senter ponselnya dan mengikuti Rania dari belakang. Dia tidak akan membiarkan temannya turun sendirian.

Rania sampai di lantai. Lantainya juga terbuat dari lempengan batu hitam yang dingin. Dia menyorotkan senternya ke sekeliling. Dinding obsidian itu seakan *menyerap* cahaya; berkas senternya tidak memantul atau menyebar, hanya menciptakan lingkaran cahaya putih yang tajam di mana pun ia menunjuk, meninggalkan sisa ruangan dalam kegelapan total.

Dia berjalan perlahan ke meja *drafting* itu.

Debunya setebal satu sentimeter.

Di atas meja, ada dua benda.

Sebuah tempat tinta porselen, kosong dan kering.

Dan sebuah buku catatan bersampul kulit tebal yang sudah retak-retak.

Rania mengulurkan tangannya yang gemetar. Dia ragu-ragu, lalu menyentuh sampul kulit itu.

Dingin.

Dia meniup debu di atasnya.

Debu itu tidak beterbangan. Debu itu tidak menyebar ke udara. Debu itu hanya... *bergeser*, seperti pasir besi yang berat, menyingkap sampul di bawahnya.

Reza terkesiap di belakangnya. "Itu... itu tidak wajar."

Rania tidak menjawab. Dia membuka buku catatan itu.

Halaman pertamanya kosong. Halaman kedua juga.

Di halaman ketiga, ada sebuah gambar.

Sebuah sketsa anatomi yang digambar dengan tinta hitam yang presisi. Sketsa seekor ikan mas koki. Lengkap dengan anotasi tentang struktur sirip tembus pandangnya dan apa yang penulisnya sebut sebagai "Filamen Resonansi Eterik".

Itu adalah sketsa "Ikan Gema" miliknya.

Rania merasakan darahnya mendingin. Dia membalik halaman.

Lebih banyak sketsa. Berbagai jenis Gema. "Belut" kabel. "Pari" bangunan.

Dia membalik lagi.

Sebuah denah kota. Denah yang *sama* dengan yang ada di mimpinya. *Blueprint* oranye yang ideal.

"Reza," bisik Rania. "Dia... dia melihat hal yang sama sepertiku."

"Siapa 'dia'?" tanya Reza, menyorotkan senter ponselnya ke buku itu.

Rania terus membalik, melewati puluhan halaman sketsa geometris dan persamaan matematika yang tidak dia mengerti.

Dia sampai di halaman terakhir yang berisi tulisan.

Tulisannya elegan, dibuat dengan pena kuno, tapi terlihat ditulis dengan tergesa-gesa. Beberapa kata tercoreng.

Dia membacanya dengan suara keras, suaranya yang datar terdengar aneh di ruangan yang mati itu:

*"Aku menemukannya. Pintu masuk ke 'Denah' yang sebenarnya. Tapi arsitekturnya salah. Ruang ini bocor. Aku mencoba menyegelnya dari sisi ini, tapi aku tidak bisa menahan Gema-nya. Ini adalah Titik Buta yang rusak."*

Rania berhenti, menarik napas. Dia melanjutkan ke paragraf terakhir.

*"Jangan buka. Desainnya salah. Dengungan frekuensi rendah... itu adalah napasnya. Jangan biarkan Desain 'Sang Geometer' masuk. Ia tidak membangun. Ia 'meluruskan' (corrects). Dan bagi kita, 'pelurusan'-nya adalah penghapusan."*

"Sang Geometer," bisik Reza. "Nama itu lagi."

*THUD.*

Suara itu datang dari atas. Dari lantai kafe.

Rania dan Reza membeku. Mereka mematikan senter mereka secara bersamaan, menjerumuskan ruang bawah tanah itu ke dalam kegelapan absolut.

*THUD.* *THUD.*

Itu bukan suara ketukan. Itu adalah suara benturan yang berat dan teredam. Seseorang atau sesuatu sedang *menggedor* pintu depan "Kopi Titik Koma" yang terkunci.

Di atas mereka, di pantry, Rania bisa mendengar karung-karung biji kopi bergeser saat pintu jebakan itu didorong dari atas.

*THUD!*

Pintu jebakan di atas kepala mereka terbanting menutup, menjebak mereka dalam kegelapan total.

Lalu mereka mendengarnya. Suara langkah kaki yang berat berjalan di lantai kayu kafe di atas mereka.

Seseorang telah berhasil masuk.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!