Pernikahan seharusnya membuka lembaran yang manis. Tapi tidak bagi Nayara, dia menyimpan rahasia kelam yang akhirnya merenggut kebahagiaannya.
Suaminya membencinya, rumah tangganya hampa, dan hatinya terus terjerat rasa bersalah.
Hingga suatu hari sumber masalahnya sendiri datang dan berdiri dihadapannya, laki-laki yang kini memperkenalkannya sebagai sopir pribadi.
“Sudah aku katakan bukan. Kamu milikku! Aku tidak akan segan mengejarmu jika kau berani meninggalkanku.”
Apakah Nayara akan mempertahankan rumah tangganya yang hampa atau kembali pada seseorang dimasa lalu meski luka yang ia torehkan masih menganga dihatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila_Anta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
"Kak, aku harus segera kembali ke kamarku."
Bukannya lepas, Dev malah semakin mempererat pelukan. "Tetaplah di sini."
"Kak. Bagaimana kalau-"
"Shttt! Dia belum berniat kembali ke sini. Jadi tenanglah."
"Ya udah kalau berani kita pindah ke kamarku," tantang Nay.
"Kamu yakin?" Dev menatap serius. "Kalau kamu berani ambil resikonya, aku si gak masalah."
"Apa maksud kamu kak?"
Dev menarik nafas kasar. "Aku liat wanita itu masuk ke kamarmu menggenggam sesuatu di tangannya. Aku punya firasat dia meletakkan sesuatu untuk membongkar hubungan kita."
"Dia mulai curiga dengan hubungan kita Nay," tambah Dev yang membuat Nay membulatkan kedua matanya.
"Bagaimana kamu tau kak?"
"Sebelum pergi dia sempat membisikkan sesuatu. Wanita itu menyuruh kakak agar bisa memanfaatkan sesuatu pada perjalanan kita kali ini. Dia bilang, dia akan mendukungku."
"Apa dia akan membongkar hubungan kita?"
"Tentu, jika dia sudah mempunyai bukti yang kuat. Maka dari itu, kakak yakin dia meletakkan sesuatu untuk barang bukti."
"Kenapa? Apa kamu takut?"
Nay terperanjat saat tadi ia nampak termenung sesaat.
"Apa yang kamu takutkan Nay. Kakak akan menanggung semuanya tanpa menyakitimu sedikitpun."
"Kak." Menatap dengan wajah memelas. "Aku takut dia mengungkit semua yang telah ia berikan untukku dan keluargaku. Aku takut dia berbicara pada orangtuaku tentang hubungan kita. Aku takut, mereka tidak mau menerimaku lagi. Aku takut-"
"Nay," sentak Dev memegang bahu. "Apa itu yang kamu takutkan selama ini, hmm? Hanya itu? Aku bisa mengatasi semuanya sayang."
Dev menatap dengan serius. "Aku akan menggenggam dunia untuk membuktikan cintaku. Percayalah, aku bukan pemuda polos seperti dulu. Aku bahkan bisa berdiri tanpa bantuan ayahku lagi. Kini aku bisa melakukan semuanya Nay. Hanya kamu yang aku butuhkan saat ini. Tanpamu kehidupanku tidaklah lengkap."
"Aku minta kamu tidak usah lagi takut akan sesuatu. Aku mohon percayalah hanya pada cinta kita." Kini menggenggam kedua tangan.
Tiba-tiba mereka dikagetkan dengan suara ponsel yang berada di atas nakas.
Dev mengambilnya dengan kasar. "Kau menelpon disaat yang tidak tepat," sentak nya.
"Maaf Tuan. Tapi mereka sedang menuju ke penginapan."
"Sial!" Dev meremas ponsel yang berada dalam genggamannya.
"Baiklah. Kau boleh kembali ke tempatmu." Sambungan telepon pun terputus.
"Kenapa?"
"Mereka sudah menuju kesini."
"Baiklah. Aku harus segera kembali ke kamar."
* * *
Malam ini saatnya Bian mengajak Nay untuk menghadiri pesta pernikahan sahabatnya.
Bukan cuma mereka, lagi-lagi Mona dan Dev ikut menghadiri acara tersebut. Meski begitu kedua orang tersebut merelakan Bian menggandeng Nay dengan mesra malam ini.
Lampu kristal menggantung megah di langit-langit ballroom hotel itu, memantulkan cahaya keemasan yang membuat seluruh ruangan tampak berkilau. Musik lembut mengalun dari sudut ruangan, berpadu dengan suara tamu-tamu yang saling bercengkerama.
Nay melangkah pelan melewati karpet merah, gaun satin berwarna dusty blue yang ia kenakan jatuh anggun hingga mata kaki. Rambutnya disanggul sederhana, menyisakan beberapa helai yang membingkai wajahnya.
Disampingnya Bian yang memegangnya dengan posesif. Tatapannya berkeliling, mencari wajah-wajah yang ia kenal. Di bawah cahaya lampu, Nay tampak tenang dan elegan, meski dalam hatinya masih terasa gugup setiap kali seseorang memujinya malam itu.
"Wow. . . Apa benar laki-laki ini suamimu Nona. Anda cantik sekali." Pengantin laki-laki sekaligus sahabat Bian memuji Nay.
"Maksudmu, aku tidak pantas menjadi suaminya, Hen," sela Bian. Nay hanya menyahutinya dengan senyuman.
"Hahaha. Bagaimana rasanya mempunyai suami kaku seperti dia?"
Bian mendengus mendengar ledekan dari sahabatnya tersebut.
"Sudah-sudah, sayang. Kamu jangan mengganggu Bian lagi. Pokoknya selamat atas pernikahan kalian yah," potong mempelai wanita yang juga sahabat Bian.
"Apa tidak terbalik sayang. Bukankah mereka yang harus mengucapkan kalimat itu pada kita," protes sahabat Bian.
"Iya Nona. Selamat atas pernikahan kalian," ucap Nay.
"Sudah, tidak papa. Tapi makasih ya kalian sudah menyempatkan hadir. Semoga kalian menikmati pestanya." Menjabat tangan Nay dan menepuknya lembut.
Interaksi mereka tidak luput dari kedua orang yang kini menatapnya dengan tatapan menusuk, Dev dan Mona yang berdiri tidak jauh dari mereka keduanya sama-sama mengeram kesal.
"Tahan, Mon. Nanti tiba saatnya kamu yang akan Bian perkenalkan sebagai istrinya. Ya. Istri satu-satunya yang dia banggakan," geram Mona dengan dua kepalan di tangannya.
Sedangkan Dev mengambil minuman berwarna merah dan menenggaknya hingga tandas. Wajahnya memerah menahan amarah. Ia cemburu, tentu saja. Dadanya berdesir marah melihat bagaimana Bian dengan bangganya memperkenalkan Nay sebagai istrinya.
Pesta terus berlanjut. Malam semakin merangkak naik. Nay sudah terlihat bosan, karena beberapa kali Nay menguap meski sekuat tenaga menahannya.
"Apa kita pulang saja?" Bian berbisik tepat ditelinga Nay. "Sepertinya kamu sudah bosan?"
"Jangan hiraukan aku. Teman-teman Mas masih asyik mengobrol."
"Tidak papa, kita pulang saja. Meladeni mereka tidak akan ada habisnya. Kalau begitu aku pamit dulu."
Untuk kali ini Bian peka. Pastinya Nay tidak begitu menyukai suasana seperti ini. Ia tidak ingin membuat istrinya lebih lama merasa tidak nyaman. Akhirnya ia pamit undur diri.
"Lho, mau kemana bro. Kita belum puas bernostalgia, main cabut aja," ucap salah satu teman Bian.
"Hen, Lo pasti mengerti," ucap Bian pada sahabatnya.
"Tentu. Oh ya, btw gue udah siapin satu kamar khusus buat Lo," bisik Hendra.
Bian mengernyit. "Gue sengaja pesan dua kamar pengantin. Nikmatilah. Bawa istri Lo ke kamar itu," tambah Hendra.
"Gue gak bisa-"
"Alah, jangan sungkan. Gue pesan khusus, karena Lo sahabat terbaik gue dari dulu." Mengangkat satu alis.
Mau tidak mau Bian pun menuruti ide gila sahabatnya tersebut. Secara diam-diam Bian membawa Nay ke lantai atas salah satu kamar yang sudah dipesan oleh sahabatnya tersebut tanpa sepengetahuan Mona.
Dev yang melihat Nay dibawa keluar tanpa dirinya dan Mona tentu tidak tinggal diam. Ia berusaha menyusul. Tapi ditengah perjalanan Dev menabrak seorang pramuniaga yang membawa berbagai gelas minuman.
"Tuan, anda yang menabrak saya. Bagaimana ini," gerutu pramuniaga melihat minuman yang ia bawa kini bercecer di lantai.
"Sial!"
Dev mengeram saat langkahnya harus terhenti. Ia tidak ingin kehilangan jejak.
Pramuniaga tersebut akhirnya membiarkan Dev pergi setelah ia menerima satu buah kartu nama untuk bisa dihubungi dan Dev berjanji akan mengganti rugi dengan jumlah yang cukup besar jika kali ini ia diperbolehkan pergi.
Dev beberapa kali memencet tombol lift yang menunjukkan angka 17, dimana ia yakin Nay dan Bian berada di dalamnya.
"Brengsek. Kemana dia membawa Nay. Tidak! Aku tidak bisa membiarkan mereka begitu saja."
Dev begitu frustasi melihat pintu lift yang tidak terbuka sama sekali. Saat ini ia tidak bisa berpikir jernih. "Sial."
Tangannya meninjau dinding hingga beberapa kali sampai tangannya memerah bahkan mengeluarkan darah. Ia berteriak histeris tidak peduli beberapa orang berbisik melihat keadaannya yang terlihat kacau.
habis kau renggut kepera wanan nay kini kau bicara akan pindah kekota,seperti pepatah habis manis sepah kau buang
semangat nay,walaupun pernikahanmu seperti neraka harus tetap dijalani