Sekuel dari novel Cintaku Dari Zaman Kuno
Azzura hidup dalam kemewahan yang tak terhingga. Ia adalah putri dari keluarga Azlan, keluarga terkaya dan paling berpengaruh di negara Elarion. Namun, dunia tidak tahu siapa dia sebenarnya. Azzura menyamar sebagai gadis cupu dan sederhana semua demi kekasihnya, Kenzo.
Namun, tepat saat perkemahan kampus tak sengaja Azzura menemukan sang kekasih berselingkuh karena keputusasaan Azzura berlari ke hutan tak tentu arah. Hingga, mengantarkannya ke seorang pria tampan yang terluka, yang memiliki banyak misteri yaitu Xavier.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mal
Pagi yang cerah menyambut halaman belakang mansion Azlan. Udara segar dan langit biru menjadi latar sempurna untuk latihan menembak yang telah direncanakan.
Di lapangan tembak pribadi, Azzura berdiri tegak, mengenakan pakaian latihan berwarna gelap. Tangan mungilnya menggenggam pistol ringan, pandangannya fokus ke arah target di kejauhan.
Di sampingnya, Sania, sepupunya, mengenakan kaus putih dan celana kargo, berdiri dengan ekspresi menyebalkan khasnya.
“Jadi ... Nona Zura ini udah bisa latihan kayak biasa, ya?” kata Sania sambil menaikkan sebelah alis.
Azzura mendesah, tetap menatap ke arah target. “Sania, jangan mulai ....”
Sania mencibir. “Enggak mulai. Cuma... kamu tau nggak gimana paniknya aku waktu kamu hilang di hutan itu?” wajah Sania berubah kesal. “Aku nyaris lempar Kenzo ke jurang.”
Azzura tersenyum kecil, lalu menarik pelatuk.
Dor!
Peluru melesat dan mengenai pinggiran target.
“Kurang dikit, Ra,” komentar Sania, menggoda. “Kayaknya otak kamu masih nyangkut di pelukan si cowok misterius, ya?” goda Sania di akhir kalimatnya agar tidak terdengar oleh Zorion dan kakaknya.
Azzura melirik tajam. “Sania .…” desisnya.
Saat Sania tiba di mansion Azlan tadi pagi, Sania langsung mencecar sang sepupu dengan banyak pertanyaan. Alhasil, Azzura jujur meski tidak semuanya dia ceritakan.
Melihat tatapan sang sepupu, Sania terkekeh sambul berkata, “Oke-oke, aku diam.”
Dari sisi lapangan, dua pemuda tinggi berdiri menyaksikan mereka. Zorion, mengenakan kaus hitam dan celana latihan, bersandar santai sambil mengamati Azzura.
Di sampingnya, Zach, kakak Sania, tengah memeriksa senapan laras panjang miliknya. Matanya tajam, sesekali melirik ke arah adik dan Azzura.
“Kalian berdua ributnya kayak ayam kampung,” kata Zach tenang. “Sania, latihannya malah jadi ceramah.” sang sepupu menyambung kalimatnya.
“Dia yang bikin drama duluan!” Sania membalas cepat. “Aku cuma trauma waktu Azzura ngilang gitu aja!” balas Sania tak mau disalahkan.
Zorion akhirnya angkat bicara.
“Sania ada benarnya, Ra. Kau enggak bisa sembarangan lari sendirian ke hutan apalagi hutan itu.”
Azzura menunduk sedikit.
“Aku tahu ... aku cuma. .. nggak bisa mikir jernih waktu itu.”
Sania mendekat, memegang tangan Azzura.
“Ya udah. Sekarang kamu aman, itu yang penting. Tapi, kalau kamu kabur lagi, aku bakal pasangin GPS di sepatu kamu, ngerti?”
Azzura tertawa pelan. “Iya, jenderal Sania.”
Kedua gadis cantik itu terkekeh. Lalu Sania kembali berkata. "Dan lupain si Kenzeler itu."
Zach menatap mereka sebentar, lalu mengarahkan senjatanya ke target.
Dor!
Dor!
Dua peluru menancap tepat di tengah. “Begitu caranya, bukan pake perasaan.”
Zorion ikut mengambil pistol dan bersiap menembak. “Yuk, adu. Paling banyak kena tengah, cuci piring malam ini.”
“Deal!” teriak Sania dan Zach bersamaan.
Azzura menatap pistolnya dan tersenyum, untuk pertama kalinya setelah malam mengerikan itu dia tertawa kecil.
Namun, di balik tawa itu, hatinya tetap terasa aneh. Bekas gigitan itu. Dan sosok Xavier terus menghantui pikirannya.
***
Mall pusat kota siang itu cukup ramai. Musik dari toko-toko berpadu dengan suara langkah kaki dan obrolan para pengunjung. Di tengah keramaian itu, dua gadis berjalan berdampingan.
Sania menarik lengan Azzura dengan semangat. “Hari ini kita operasi besar-besaran!”
“Kita akan resmi pensiunkan penampilan cupu kamu itu, Ra.” Sania berkata dengan lantang.
Azzura tertawa gugup, menatap dirinya lewat pantulan kaca toko. Ia mengenakan hoodie longgar dan celana jeans yang sedikit kebesaran. “Sania, aku nyaman pakai kayak gini.” Azzura menghela napas lalu berkata, “Aku enggak mau jadi orang lain.”
Sania mendengus. “Ini bukan soal jadi orang lain, ini soal jadi versi terbaik dari dirimu sendiri.”
“Ayo, jangan banyak alasan!” seru Sania.
Sania langsung menggandeng Azzura masuk ke butik mewah bernuansa putih emas. Butik itu terkenal mahal dan sering dikunjungi para sosialita.
Begitu mereka masuk, suasana terasa berbeda. Beberapa pelayan melirik mereka cepat menilai, lalu tersenyum sinis. Mereka pikir kedua gadis itu hanya datang untuk mencoba gaun lalu pergi.
Sania langsung menuju deretan dress elegan berwarna pastel. “Yang ini cocok buat kamu, Ra!” seru Sania sambil mengangkat dress satin hijau zamrud.
Azzura mencolek label harga dan langsung menelan ludah. “Sania … ini … ini harga satu semester kuliah kita.”
“Tenang! Hari ini aku yang traktir. Anggap aja hadiah karena kamu udah balik dengan selamat dari hutan. Lagi pula, duit Om Zion dan Tante Zanaya itu banyak banget lho, Ra. Apa susahnya menghabiskan duit mereka,” kata Sania berdecak kesal.
Azzura hanya menggeleng pelan, senyum malu-malu di wajahnya. Meski Azzura anak kaya raya, tapi dia tipe gadis yang tidak suka membeli barang mewah.
Waktu kecil, musuh sang ayah hampir menculiknya. Hal itu membuat Azzura trauma bahkan menyembunyikan identitasnya.
Tapi saat mereka sedang memilih-milih, sebuah suara lantang menyela.
“Eh … aku enggak salah lihat, kan?”
Keduanya berbalik.
Rica dengan dress ketat warna nude, sepatu hak tinggi, dan lipstik merah terang. Di sampingnya ada dua sahabatnya yang tak kalah menatap sinis.
“Ternyata bisa juga ya masuk butik ini? Kukira kalian cuma numpang dingin doang.”
Sania melipat tangan, mendengus.
“Kak Rica … mulutmu masih belum diajak liburan, ya?”
Rica mendekat, matanya menyapu Azzura dari atas ke bawah.
“Azzura, kamu tuh masih keliling pake hoodie kebesaran, beneran niat mau beli, atau cuma pengen foto-foto doang?”
Salah satu temannya terkekeh. “Jangan-jangan mereka pikir ini toko diskon.”
"Oh, atau jangan-jangan kalian ingin mencuri yaa, kalian kan orang misqueen," sahut Rica lagi dengan senyum sinis.
Azzura menggenggam tangan Sania, mencoba menahan emosi sepupunya.
“Sudahlah, San nggak usah diladenin.”
Tapi Sania tak tinggal diam. Ia tersenyum sinis dan melangkah ke arah Rica.“Kalau kami miskin, kok kamu bisa segitunya ngurusin kami, sih? Emang ada hubungannya sama kamu?”
Wajah Rica berubah merah padam, tapi Sania melanjutkan ucapannya. “Kamu takut, Rica? Takut Azzura yang ‘cupu’ ini bisa ngalahin pesonamu? Atau menggeser posisi kamu jadi primadona kampus.”
Wajah Rica menegang sejenak, lalu tertawa sinis. “Mimpi aja dulu. Gadis kayak dia, bisa apa? Dasar gadis miskin.”
Ruang butik mewah itu mendadak terasa sesak. Suara gemerincing gantungan baju terhenti, tatapan pengunjung lain mulai melirik.
Rica menatap tajam ke arah staf butik dan berkata dengan nada tinggi, “Kamu!" tunjuknya. "Iya, kamu. Usir mereka dari sini. Aku langganan tetap butik ini, dan aku risih lihat dua gadis miskin sok gaya pilih-pilih baju mahal.”
Staf wanita itu menatap Azzura dan Sania penuh sinis, lalu melipat tangannya. “Maaf, butik kami hanya melayani pelanggan yang berniat membeli.”
Staf tersebut kemudian melanjutkan ucapannya. “Kalau cuma lihat-lihat, lebih baik keluar sebelum bikin suasana nggak nyaman.”
Sania melotot. “Apa kau dengar kami mengganggu siapa pun?”
Azzura menarik napas panjang, tapi kali ini sorot matanya berbeda. Dia maju satu langkah dan menatap Rica tajam.
“Kami tidak perlu diusir. Tapi, jangan pernah menganggap orang lain lebih rendah darimu hanya karena penampilan.”
Rica menyeringai penuh kesombongan. “Oh, jadi sekarang kamu sok bijak?” ucapnya sambil terkekeh. “Kalau kamu memang bisa beli, buktikan.”
Ia melangkah lebih dekat, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari Azzura. “Kalau nggak mampu, jilat sepatu kami dan bersujud.”
“Mungkin … mungkin ya, kami bisa bantu lunasin baju diskon yang kalian incar itu,” kata Rica.
Tawa ketiga gadis meledak. Suasana butik hening, bahkan staf pun tidak bisa menyembunyikan senyum mengejek.
Azzura mengepalkan tangannya. Sania bersiap membuka suara, tapi ...
“Kalau begitu, aku buktikan.”