Salah masuk kamar, berujung ngamar ❌ Niat hati ingin kabur dari Juragan Agus—yang punya istri tiga. Malah ngumpet di kamar bule Russia.
Alizha Shafira—gadis yatim piatu yang mendadak dijual oleh bibinya sendiri. Alih-alih kabur dari Juragan istri tiga, Alizha malah bertemu dengan pria asing.
Arsen Mikhailovich Valensky—pria dingin yang tidak menyukai keributan, mendadak tertarik dengan kecerewetan Alizha—si gadis yang nyasar ke kamarnya.
Siapa Arsen sebenarnya? Apakah dia pria jahat yang mirip seperti mafia di dalam novel?
Dan, apakah Alizha mampu menaklukkan hati pria blasteran—yang membuatnya pusing tujuh keliling?
Welcome to cerita baper + gokil, Om Bule dan bocil tengilnya. Ikutin kisah mereka yang penuh keributan di sini👇🏻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wardha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ngobrol sama tembok
Begitu keluar dari lift, suasana lobi hotel mewah itu dipenuhi para turis. Turis-turis asing berlalu-lalang dengan pakaian glamor. Terlihat seperti orang kaya semua.
Alizha spontan kaku. "Astaghfirullah, ini hotel atau istana sih? Orang-orangnya semua kayak model catwalk!"
Dia masih mencoba pasang wajah 'stay cool', tapi kakinya sendiri gemetar gara-gara heels. Tanpa pikir panjang, tangannya menggandeng lengan Arsen.
Awalnya cuma menggandeng. Tapi karena makin banyak mata melirik—dan perasaan takut jatuh tak tertahankan—Alizha malah memeluk erat lengan Arsen. Seolah-olah lengannya Arsen jadi tongkat penyelamat.
Arsen berhenti sejenak, menurunkan pandangan pada gadis mungil di sampingnya. Ekspresinya masih datar, hanya matanya sedikit menyipit. "Apa kamu berniat menggoda saya di depan semua orang?"
Alizha buru-buru senyum ala-ala sosialita, padahal pipinya bak kepiting mateng. "No, Mister. Saya cuma takut jatuh. Ini heels kayaknya jahat banget sama saya. Sakit ini, bener deh."
Arsen menghela napas pelan, lalu tetap melangkah tanpa banyak komentar. Alizha makin erat memeluk lengannya, sok menegakkan dagu supaya kelihatan percaya diri di depan para turis.
Dalam hati, dia menjerit. "Suami udah mendukung buat dipamerin, malah diri sendiri masih begini. Ampun banget!"
Begitu sampai di lantai kamar, Arsen men-swipe kartu dan membuka pintu. Alizha masih setia menempel di lengannya, meski keringat dingin sudah membasahi pelipis karena sok jaim sejak lobi tadi.
Begitu pintu tertutup rapat, gadis itu langsung menjatuhkan diri ke sofa empuk. "Ya Allah, akhirnya bebas juga!" katanya, sambil kipas-kipas wajah pakai tangannya sendiri. "Astaghfirullah, tadi itu saya deg-degan setengah mati. Orang-orang pada lihat, seolah saya ini monyet sirkus dipamerin sama pawangnya."
"Kamu ngatai saya pawang monyet?"
Alizha langsung terkekeh. "Hehe, bukan begitu, om mister."
Arsen melepas jasnya, menggantung rapi di hanger, lalu menoleh dengan ekspresi datar. "Kalau kau diam sedikit, tidak ada yang akan melihatmu."
Alizha mendelik. "Mister, jangan sok bijak deh. Itu semua mata kayak radar, menembak saya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Saya tadi pura-pura elegan aja, padahal hati saya udah berkobar kayak kompor gas."
Dia bicara heboh sendiri. "Lagian, ya. Saya begini biar mister tidak malu bawa saya."
Arsen duduk di kursi dekat jendela, menyalakan lampu meja. Gerakannya santai sekali, kontras dengan ocehan Alizha yang tiada henti.
Gadis itu masih mengomel, kali ini sambil memijit kakinya. "Ini heels benar-benar kriminal. Kaki saya bisa bengkak segede bakpao. Kenapa sih, Mister, beliin saya beginian? Tidak ada sandal jepit gitu, ya?"
Arsen menyandarkan tubuhnya ke kursi, memejamkan mata sebentar. "Kalau saya ingin kau terlihat seperti ratu, kau akan memakai apa yang saya pilihkan. Kau mengerti?"
Alizha terdiam sejenak, matanya membelalak. Lalu mendengus pelan, sambil melipat tangan di dada. "Ih, diktator banget, Om Bule satu ini."
Alizha menunduk, melepas kedua heels mahal itu dengan kasar. Begitu kaus kakinya ikut ditarik, dia mendesis kesakitan.
"Aduh! Astaghfirullah, ini tumit saya udah lecet! Berdarah lagi!"
Dia merengut, meniup-niup kakinya sendiri, lalu mendengus sambil melotot ke arah dinding kamar hotel yang bercahaya terang.
"Hebat ya, tembok. Kamu juga pasti sebel kalau disuruh jalan pakai sepatu setan kayak gini. Bikin lecet, bikin susah napas, bikin mau marah-marah."
Alizha terus ngoceh, masih menatap tembok dengan ekspresi dramatis. "Tembok, kamu enak. Diam terus, tidak usah pakai heels, tidak usah ikut kondangan, tidak usah pura-pura jadi istri bule gila yang hobi pamer kekuasaannya."
Arsen duduk di kursi, menoleh singkat sambil melepas dasinya. Ekspresinya tetap sama—datar, dingin, nyaris tidak bereaksi apa-apa. Memang semprul bule satu ini.
Melihat itu, Alizha semakin sewot. Dia melipat tangan di dada, menatap lurus ke tembok lagi. "Tuh kan, tembok. Sama aja kayak dia. Diam bae. Mukanya kayak tembok. Bedanya, kalau kamu tidak bisa ngomong karena tidak punya mulut. Kalau dia? Emang sengaja diam, biar bikin orang naik darah!"
Arsen menghela napas pendek, menyandarkan tubuh ke kursi, lalu menutup mata sebentar. "You, noisy," katanya pelan.
Alizha mendengus keras. "Tuh kan, tembok bisa ngomong. Tapi ngomongnya cuma satu kata. Cih, dasar tembok premium."
Arsen membuka matanya lagi, tatapannya menusuk ke arah Alizha. Namun bibirnya melengkung tipis. Gemas sendiri mendengar omelan gadis itu. "Kalau kau berhenti bicara, saya mungkin bisa mengobatimu."
Alizha langsung terdiam, bibirnya mengatup. Matanya melebar. "Ya ampun, tembok ini bisa berubah jadi dokter juga ternyata?!"