Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.
"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.
"Ya, Bos?"
Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.
"Lupakan steaknya."
Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.
"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Api Dalam Sangkar
"Perintah dari Jenderal... jangan biarkan ada saksi."
Kata-kata itu, yang diucapkan dengan suara dingin dan tanpa emosi Detektif Adrian Hartono, menggema melalui sistem komunikator di pusat komando darurat mereka di Sarang Tawon. Di layar monitor, mereka semua menyaksikan pemandangan yang sama, sebuah mimpi buruk yang menjadi nyata dalam sorotan lampu yang menyilaukan. Maya, prajurit hantu mereka, terperangkap, berlutut di tanah yang basah, sementara moncong pistol seorang pria yang pernah mereka anggap sebagai calon sekutu kini mengarah padanya. Waktu seolah membeku dalam satu tarikan napas kolektif yang penuh kengerian.
Di dalam ruko, keheningan pecah. "TIDAK!" raung Riko, melompat berdiri, matanya yang biasanya penuh senyum licik kini berkobar karena amarah dan kepanikan. Ia adalah saudara bagi Maya, bukan karena darah, tetapi karena ribuan malam yang mereka habiskan bergerak bersama dalam bayang-bayang. Ia meraih senapan serbunya, siap untuk menyerbu keluar sendirian.
"Tahan!" perintah Pak Tirta, suaranya setajam baja, tangannya yang kuat mencengkeram bahu Riko, menahannya di tempat. "Kau keluar ke sana, kau mati. Dan dia juga akan mati. Jangan bergerak."
Leo menatap layar, pikirannya berpacu lebih cepat dari peluru. Otaknya yang analitis membedah situasi dalam hitungan nanodetik. Jarak. Waktu reaksi. Posisi penjaga. Semuanya berujung pada satu kesimpulan yang mengerikan: tidak ada jalan keluar. Maya tidak bisa diselamatkan. Misi mereka tidak hanya gagal; misi itu akan berakhir dengan pengorbanan.
Isabella berdiri di sampingnya, tangannya mencengkeram lengan Leo begitu erat hingga kukunya menancap di kulitnya. Ia tidak mengalihkan pandangannya dari layar, matanya yang gelap memantulkan cahaya sorot, menyaksikan salah satu prajurit terbaiknya berada di ambang eksekusi.
Di luar, di kaki tembok karantina, dunia menyempit bagi dua orang. Maya, yang menatap lurus ke moncong pistol Hartono, tidak menunjukkan rasa takut. Di matanya hanya ada penyesalan karena telah gagal. Dan Hartono, yang jarinya kini berada di pelatuk. Di dalam kepalanya, terjadi sebuah perang saudara. Ia melihat wajah Maya, dan di belakangnya, ia melihat wajah putrinya. Ia mendengar perintah Soeharto, perintah dari dewa yang mengendalikan nasib anaknya. Tapi ia juga mendengar kata-kata Leo di safe house itu, sebuah tawaran akan penebusan dosa, sebuah jalan keluar yang lebih bersih. Dua dunia menariknya ke arah yang berlawanan. Menjadi monster untuk menyelamatkan seorang malaikat, atau menjadi seorang pria untuk pertama kalinya setelah sekian lama dan mempertaruhkan segalanya.
Detik itu terasa seperti seumur hidup.
Lalu, Hartono membuat pilihannya.
Ia menembak.
Suara tembakan yang memekakkan telinga merobek malam, membuat semua orang di ruang komando tersentak. Di layar, mereka melihat percikan api dari moncong pistol Hartono.
Tapi Maya tidak jatuh.
Peluru itu tidak mengenainya. Hartono, dalam sepersekian detik keputusan, telah menggeser bidikannya beberapa sentimeter ke kiri, menembakkan pelurunya ke dinding beton tepat di samping kepala Maya. Suara peluru yang menghantam beton itu cukup keras untuk menciptakan kekacauan yang ia butuhkan.
"TARGET MELAWAN! DIA MENCOBA KABUR!" teriak Hartono ke radionya, sebuah pertunjukan akting yang brilian di tengah situasi hidup atau mati. "DIA MASUK KE SALURAN PEMBUANGAN! KEJAR DIA!"
Ia menembak dua kali lagi ke arah lubang selokan yang gelap di dekat Maya, memberikan tembakan perlindungan palsu. Tindakannya yang tak terduga itu menciptakan kebingungan di antara para prajurit Satgas lainnya. Mereka tidak tahu apakah harus menembak atau tidak. Jendela waktu selama dua detik itu adalah semua yang dibutuhkan oleh seorang hantu.
Maya, yang memahami isyarat itu seketika, bergerak. Dengan kelincahan seekor macan kumbang, ia berguling ke samping, melompat masuk ke dalam lubang selokan yang gelap, dan lenyap dari pandangan tepat saat rentetan tembakan dari para prajurit lain menghujani tempat ia berada beberapa saat sebelumnya.
Di atap seberang, Riko, yang telah mengabaikan perintah Pak Tirta untuk diam, melepaskan satu tembakan terarah dari senapan runduknya, bukan untuk membunuh, tetapi untuk menghancurkan lampu sorot utama, menenggelamkan seluruh area itu kembali ke dalam kegelapan yang kacau.
Di tengah kekacauan itu, Hartono berteriak ke radionya, "Target lolos! Ulangi, target lolos! Mulai prosedur pengejaran di sistem selokan!" Ia tahu tidak akan ada pengejaran. Ia baru saja menandatangani surat kematiannya sendiri di hadapan rezim Soeharto, tetapi ia telah menyelamatkan satu nyawa, dan mungkin, sisa-sisa jiwanya sendiri.
Di ruang komando, kelegaan yang luar biasa membanjiri mereka, begitu kuat hingga membuat lutut mereka lemas. Riko jatuh terduduk, meletakkan kepalanya di tangannya, tubuhnya gemetar. Marco menepuk punggungnya dengan keras, sebuah gestur dukungan yang canggung.
Tapi kelegaan itu berumur pendek. Misi mereka telah gagal total. Hard drive yang berisi kebenaran tentang krisis kemanusiaan di dalam karantina kini hilang, kemungkinan besar diambil oleh pasukan Soeharto sebagai barang bukti. Mereka telah mempertaruhkan segalanya dan kalah. Jalan keluar mereka melalui media telah tertutup. Tembok-tembok penjara mereka kini terasa lebih tinggi dan lebih tebal dari sebelumnya.
Kembalinya Riko dan Maya ke ruko persembunyian disambut dengan pelukan diam dan tatapan penuh kelegaan. Maya, meskipun tubuhnya gemetar karena sisa adrenalin, tampak tenang. Tapi kekalahan itu terasa berat di udara. Mereka telah menunjukkan tangan mereka dan dipukul mundur dengan telak.
Kegagalan itu mulai menimbulkan keretakan. Sore berikutnya, Bangau datang menemui mereka, wajahnya yang tenang kini dipenuhi oleh keraguan.
"Aku mendengar apa yang terjadi di tembok," katanya pada Leo dan Isabella. "Rencanamu gagal, Koki. Kau mempertaruhkan dua prajurit terbaikmu dan tidak mendapatkan apa-apa."
"Kita mendapatkan sesuatu," balas Leo. "Kita tahu bahwa masih ada nurani di dalam diri Hartono. Itu adalah sebuah data."
"Aku tidak bisa memberi makan rakyatku dengan data!" bentak Bangau, kesabarannya menipis. "Karantina ini sudah berjalan lebih dari sebulan. Persediaan kita menipis. Orang-orangku mulai gelisah. Mereka mulai bertanya, kenapa kita harus mengikuti perintah dari orang luar yang rencananya hanya membawa kita pada kegagalan? Kekuasaanku di sini dibangun di atas kekuatan dan hasil. Kau tidak menunjukkan keduanya."
Itu adalah sebuah ancaman terselubung. Aliansi mereka yang rapuh berada di ambang kehancuran. Jika mereka kehilangan dukungan Bangau, mereka tidak hanya akan kehilangan basis operasi mereka; mereka akan menjadi mangsa di dalam penjara mereka sendiri.
Leo tahu ia harus bertindak cepat. Tapi untuk pertama kalinya, pikirannya terasa buntu. Setiap strategi yang ia rancang—menyerang konvoi pasokan militer, memicu kerusuhan—semuanya terasa seperti langkah bunuh diri yang hanya akan menyebabkan lebih banyak korban sipil.
Melihat kebuntuan di mata Leo, Isabella melangkah maju. Ini adalah saatnya bagi Sang Ratu untuk memerintah. Selama ini, ia telah membiarkan Leo memimpin strategi, tetapi ia tidak pernah melupakan siapa dirinya.
"Kau benar, Bangau," kata Isabella, suaranya yang tenang dan penuh wibawa menarik perhatian semua orang di ruangan itu. "Kami telah gagal dalam upaya terakhir kami. Tapi kau salah jika kau pikir kami tidak memberikan hasil."
Ia berjalan ke arah jendela, menatap ke arah kerumunan orang yang masih mengantre dengan tertib di depan Dapur Alkemis. "Lihatlah ke luar sana," katanya. "Sebulan yang lalu, tempat ini adalah neraka. Orang-orang saling membunuh demi sepotong roti. Sekarang, lihatlah mereka. Ada ketertiban. Ada harapan. Itulah hasil kerja kami. Hasil kerja kita."
Ia berbalik menghadap Bangau, matanya menyala. "Soeharto berpikir bahwa dengan mengurung kita, dia bisa membuat kita saling mencabik-cabik seperti anjing kelaparan. Dia ingin kita kembali ke hukum rimba. Setiap hari kita berhasil menjaga kedamaian di dalam sangkar ini, setiap mangkuk sup yang kita bagikan, setiap perselisihan yang kita selesaikan tanpa pertumpahan darah... itu adalah sebuah kemenangan. Itu adalah sebuah tamparan di wajahnya."
"Pidato yang bagus, Ratu," kata Bangau sinis. "Tapi pidato tidak bisa dimakan."
"Benar," kata Isabella. "Dan karena itulah, kita akan berhenti mencoba mengirim pesan keluar. Kita akan berhenti mencoba meruntuhkan temboknya. Mulai sekarang,"—ia tersenyum, senyum yang dingin dan penuh dengan janji kekacauan—"kita akan membuat api di dalam sangkar ini begitu besar, begitu panas, hingga seluruh dunia tidak punya pilihan lain selain menoleh dan melihat apa yang sedang terbakar."
Malam itu, setelah berhasil menenangkan Bangau untuk sementara waktu dengan janjinya akan sebuah rencana baru yang radikal, Isabella menemukan Leo duduk sendirian di atap. Ia menatap bintang-bintang yang nyaris tak terlihat karena polusi cahaya Jakarta, wajahnya tampak lelah.
"Dia benar," kata Leo tanpa menoleh. "Aku gagal. Aku terlalu fokus pada permainan catur yang elegan, aku lupa bahwa terkadang kau hanya perlu membalikkan mejanya."
Isabella duduk di sampingnya di tepian atap yang berdebu. "Kau tidak gagal, Leo. Kau hanya mencoba cara yang salah. Kau mencoba melawan seorang tiran dengan logika. Tiran tidak mengerti logika. Mereka hanya mengerti kekuasaan dan rasa takut."
Keheningan menyelimuti mereka, hanya diisi oleh suara kota yang terkurung di bawah mereka. Kegagalan misi itu, dan nyaris kehilangan Maya, telah meninggalkan luka pada jiwa mereka. Mereka merasa lebih terisolasi dari sebelumnya.
"Aku merindukan keheningan," bisik Leo. "Keheningan di dapurku sebelum layanan makan malam dimulai."
"Dan aku merindukan suara sepatu hak-ku di lantai marmer," balas Isabella dengan senyum sedih. "Konyol, bukan? Hal-hal kecil yang kita anggap remeh."
Di sana, di atas atap dunia mereka yang hancur, dikelilingi oleh kegagalan dan keputusasaan, mereka menemukan perlindungan terakhir mereka. Leo menoleh dan menatap Isabella. Di bawah cahaya bulan yang pucat, dengan rambut yang sedikit acak-acakan dan wajah yang lelah, ia tampak lebih nyata dan lebih cantik dari yang pernah ia lihat.
Gairah di antara mereka malam itu bukanlah tentang hasrat atau bahkan penghiburan. Itu adalah sebuah tindakan penegasan yang ganas. Sebuah cara untuk mengatakan pada alam semesta bahwa mereka masih di sini, mereka masih bernapas, mereka masih berjuang. Itu adalah cara untuk membakar habis rasa kegagalan dan mengubahnya menjadi api tekad yang baru.
Di atap yang dingin dan berangin itu, mereka bercinta dengan kelembutan yang telah hilang, digantikan oleh intensitas yang nyaris menyakitkan. Itu adalah tabrakan dua jiwa yang terluka yang mencoba untuk menjadi utuh kembali melalui satu sama lain. Setiap ciuman adalah sebuah pertempuran melawan keputusasaan, setiap sentuhan adalah sebuah klaim atas kehidupan. "Panas" dari adegan itu adalah panas dari dua bintang yang akan meledak, melepaskan semua energi terpendam mereka dalam satu momen yang membutakan, tidak peduli apa yang akan terjadi setelahnya. Itu adalah cara mereka mengisi ulang baterai jiwa mereka, sebuah ritual suci sebelum mereka memulai perang paling gila dalam hidup mereka.
Saat mereka terbaring dalam pelukan satu sama lain setelahnya, terengah-engah di bawah langit yang tercemar, Leo merasakan sebuah pencerahan. Sebuah ide, lahir dari keputusasaan Isabella dan gairah mereka yang membara.
"Kau benar," bisiknya pada Isabella. "Kita harus membuat api." Ia duduk tegak, matanya kini berkilat dengan cahaya yang baru dan berbahaya. "Kita sudah mencoba menyelundupkan pesan keluar, dan itu gagal. Dindingnya terlalu tinggi. Bagaimana jika... bagaimana jika kita memaksa dunia untuk mendobrak dinding itu untuk melihat ke dalam?"
Keesokan harinya, di hadapan dewan perang yang skeptis, Leo memaparkan rencananya yang baru. Operasi "Kotak Pandora".
"Rencana ini gila," adalah reaksi pertama Marco.
"Rencana ini berbahaya," tambah Pak Tirta.
"Rencana ini adalah satu-satunya kesempatan kita," kata Leo.
Strateginya sederhana dalam kejeniusannya yang menakutkan. Jika mereka tidak bisa membawa cerita mereka ke dunia, mereka akan menciptakan sebuah cerita di dalam karantina yang begitu besar, begitu dramatis, dan begitu mengerikan secara kemanusiaan, hingga media internasional tidak punya pilihan selain mencoba masuk. Mereka akan mengubah penjara mereka menjadi panggung teater terbesar di dunia.
Rencananya terdiri dari tiga fase.
"Fase pertama: Penyatuan," jelas Leo. "Melalui 'Suara Sarang Tawon' dan jaringan Bangau, kita akan menyatukan setiap elemen di dalam sangkar ini. Bukan hanya geng-geng, tapi juga para tokoh masyarakat, para pemuka agama, para ibu. Kita akan menyebarkan pesan persatuan melawan penindas kita bersama: rezim Soeharto."
"Fase kedua: Pemicu," lanjutnya. "Kita butuh sebuah insiden yang akan menyulut emosi, tidak hanya di dalam sini, tetapi juga di luar sana. Sebuah cerita yang bisa menembus kebisingan propaganda Soeharto." Ia menatap Bianca. "Kita akan menciptakan seorang martir."
Mata Bianca melebar. "Kau ingin kita membunuh seseorang?"
"Tidak," kata Leo. "Kita akan menciptakan martir fiktif. Kita akan menggunakan keahlianmu dalam deepfake dan rekayasa media sosial. Kita akan menciptakan cerita tentang seorang anak kecil bernama 'Bintang' yang meninggal karena tidak bisa mendapatkan obat asmanya. Kita akan membuat fotonya, surat-surat dari ibunya, bahkan rekaman suara palsu dari tangisannya. Kita akan membuat ceritanya begitu nyata dan begitu memilukan, dan kita akan menyebarkannya ke seluruh jaringan bawah tanah internet global."
"Dan fase ketiga," kata Leo, suaranya kini turun menjadi bisikan yang penuh dengan bobot sejarah. "Pawai Harapan. Setelah cerita 'Bintang' memicu kemarahan global, kita akan mengorganisir pawai protes damai terbesar yang pernah dilihat kota ini. Ratusan ribu warga sipil—pria, wanita, dan anak-anak—akan berjalan bersama dari jantung Sarang Tawon menuju gerbang utama karantina. Tanpa senjata. Tanpa kekerasan. Hanya membawa lilin dan poster 'Bintang'. Kita akan menyiarkannya secara langsung ke seluruh dunia melalui jaringan rahasia Bianca."
Keheningan melanda ruangan saat mereka semua mencerna skala dari pertaruhan itu.
"Ini adalah skakmat terakhir," kata Leo. "Soeharto dihadapkan pada pilihan yang mustahil, disaksikan oleh seluruh dunia. Jika dia membiarkan kita lewat dan membubarkan karantina, dia kalah. Kekuasaannya runtuh. Jika dia memerintahkan pasukannya untuk menembaki ratusan ribu warga sipil tak bersenjata... citranya sebagai 'penjaga bangsa' akan hancur selamanya. Dia akan menjadi monster di mata dunia internasional. Dia juga kalah."
Itu adalah sebuah pertaruhan total. Mempertaruhkan nyawa ratusan ribu orang pada keyakinan bahwa seorang tiran tidak akan berani melakukan pembantaian di depan kamera.
Setelah perdebatan panjang, mereka semua setuju. Mereka tidak punya pilihan lain.
Hari-hari berikutnya adalah sebuah keajaiban organisasi. "Suara Sarang Tawon" menyiarkan kisah sedih "Bintang" tanpa henti. Bianca dan timnya merilisnya ke dunia maya, dan seperti yang diperkirakan, cerita itu menjadi viral, memicu kemarahan dari kelompok-kelompok HAM di seluruh dunia. Para pemuka agama dan tokoh masyarakat di dalam karantina, yang diyakinkan secara pribadi oleh Isabella dan Bangau, mulai menyerukan persatuan.
Dan kemudian, hari pawai itu tiba.
Pemandangan itu begitu luar biasa hingga terasa seperti mimpi. Dari setiap gang dan setiap sudut Sarang Tawon, orang-orang mulai keluar. Ratusan ribu. Sebuah lautan manusia yang bergerak dalam keheningan yang khidmat, masing-masing membawa lilin atau bunga putih. Mereka adalah orang-orang yang telah dilupakan, yang telah dicap sebagai penjahat, kini berjalan bersama sebagai satu bangsa.
Leo dan Isabella berjalan di barisan paling depan, bergandengan tangan, tanpa senjata. Di belakang mereka ada Pak Tirta, Marco, Bangau, dan seluruh anggota Legiun, juga tanpa senjata, bertindak sebagai pengawal damai bagi lautan manusia di belakang mereka.
Mereka berjalan perlahan menyusuri jalan-jalan utama di distrik mereka, menuju tembok beton raksasa yang mengurung mereka.
Di ruang kontrol Satgas Khusus di suatu tempat di Jakarta, Jenderal Soeharto menyaksikan pemandangan itu di layar monitor raksasa, wajahnya tanpa ekspresi. Para letnannya berlarian dengan panik.
"Jenderal, mereka menuju Gerbang Utara! Jumlah mereka... lebih dari dua ratus ribu!"
"Apa perintah Anda, Jenderal? Haruskah kita menggunakan gas air mata? Meriam air?"
Soeharto tidak menjawab. Ia hanya terus menatap layar, ke wajah Leo dan Isabella yang berjalan di depan, ekspresi mereka tenang dan penuh tekad.
Di Gerbang Utara, ribuan tentara bersenjata lengkap dan puluhan kendaraan lapis baja telah membentuk barisan pertahanan. Suasananya sangat tegang. Para tentara muda itu menatap lautan manusia yang mendekat dengan gugup, jari-jari mereka gemetar di atas pelatuk.
Leo, Isabella, dan lautan manusia di belakang mereka terus berjalan, semakin dekat, hingga mereka berhenti sekitar seratus meter dari barisan tentara. Keheningan total kini menyelimuti kedua belah pihak. Dunia sedang menonton melalui siaran-siaran internet ilegal yang diatur oleh Bianca.
Seorang komandan lapangan di gerbang itu mengangkat radionya, suaranya tegang, terdengar samar oleh penyadap Bianca. "Pusat, ini Elang-1. Massa telah berhenti. Mereka tidak melakukan provokasi. Mereka hanya... berdiri di sini. Membawa lilin. Mohon perintah selanjutnya. Saya ulangi, apa perintah kami?"
Keheningan yang mengikuti adalah keheningan yang akan menentukan nasib sebuah bangsa. Seluruh dunia, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, menunggu satu kata dari Jenderal Soeharto. Tembak, atau jangan tembak.
Di depan barisan, Leo meremas tangan Isabella. Ia menatap mata para prajurit muda di hadapannya, dan ia melihat ketakutan dan ke
bingungan di sana. Ini adalah momen kebenaran dari pertaruhan terakhirnya.