Setelah hubungannya tidak mendapat kejelasan dari sang kekasih. Kapten Prayoda, memutuskan untuk menyerah. Ia berlalu dengan kecewa. Empat tahun menunggu, hanyalah kekosongan yang ia dapatkan.
Lantas, ke dermaga mana akan ia labuhkan cinta yang selama ini sudah berusaha ia simpan dengan setia untuk sang kekasih yang lebih memilih karir.
Dalam pikiran yang kalut, Kapten Yoda tidak sengaja menciprat genangan air di bahu jalan pada seorang gadis yang sedang memarkirkan motornya di sana.
"Sialan," umpatnya. Ketika menoleh, gadis itu mendapati seorang pria dewasa tampan dan gagah bertubuh atletis memakai baret hijau, berdiri resah dan bersalah. Gadis itu melotot tidak senang.
Pertemuan tidak sengaja itu membuat hari-hari Kapten Prayoda tidak biasa, sebab bayang-bayang gadis itu selalu muncul di kepalanya.
Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Ikuti juga ya FB Lina Zascia Amandia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deyulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 Pilihan Hati Amira
Siang itu, matahari begitu menyengat, tapi suasana kampus Amira terasa adem. Pepohonan rindang di sepanjang jalan kecil menuju parkiran membuat langkah kakinya ringan. Amira baru saja keluar dari kelas bersama Arneta, sambil tertawa kecil karena tugas kelompok mereka akhirnya selesai.
Di ujung parkiran, sebuah mobil hitam berhenti. Dari balik kaca yang diturunkan, muncul wajah Yoda dengan senyum hangatnya.
"Sayang, di sini," panggil Yoda sambil melambaikan tangan.
Amira tersipu, mukanya memerah mendengar Yoda memanggil untuk pertama kali dengan panggilan sayang. "Eh, Kak Yoda? Pasti dari kantor langsung ke sini?" Wajahnya memerah, sementara Arneta langsung bersuit nakal.
"Tentu saja," jawab Yoda masih tersenyum hangat menyambut Amira.
"Wih, ada yang dijemput Pak Kapten tampan nih. Romantis banget, kayaknya," goda Arneta sedikit berbisik.
Amira hanya bisa menunduk malu, lalu buru-buru pamit, dan berjalan cepat ke arah mobil. Yoda turun, dengan sigap membukakan pintu untuknya. Gestur sederhana itu, justru membuat beberapa mahasiswa lain yang lewat sempat melirik iri.
"Kak Yoda, ngapain jauh-jauh jemput Amira? Kan Amira bisa pulang sendiri?" ucap Amira pelan setelah duduk di samping Yoda. Hal ini untuk menyembunyikan perasaan malu dari teman-temannya yang sempat melihatnya tadi di luar.
Yoda menoleh sambil tersenyum. "Memangnya nggak boleh kalau aku jemput kekasih sendiri? Aku memang ingin ketemu. Kebetulan ini pas jam pulang. Lagipula, aku khawatir kamu masih capek setelah jatuh tempo hari."
Amira menunduk, hatinya menghangat. Perhatian Yoda memang selalu tulus, tanpa perlu diminta. Membuat dia semakin meleleh.
Namun di kejauhan, seseorang berdiri dengan tatapan tajam. Ia baru saja turun dari mobilnya, hendak menjemput Amira yang sudah menerima pesannya tadi pagi. Dan matanya langsung menangkap pemandangan yang menusuk, Amira dengan manja masuk ke dalam mobil Yoda, bahkan sempat disambut dengan sikap penuh perhatian.
Dada Iqbal seketika sesak. Tangannya mengepal, matanya meredup menahan cemburu. "Jadi… ini pria tentara itu yang Amira pilih?" batinnya kecewa.
Mobil Yoda perlahan meninggalkan parkiran, sementara Iqbal hanya bisa menatap kepergian mereka. Hatinya dipenuhi perasaan marah, cemburu, dan sesal.
"Mungkin Amira kecewa dengan sikap aku tempo hari di kafe," gumamnya sambil berlalu melajukan mobilnya perlahan dari tempat itu.
Sore harinya, Amira baru saja sampai di rumah setelah seharian diajak makan dan berkeliling oleh Yoda. Ia masih teringat betapa perhatian Yoda ketika menemaninya makan siang, bahkan sampai membelikan obat untuk lututnya yang masih terasa ngilu.
Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama. Mobil berhenti di depan rumah, seorang pria turun dengan langkah tegas. Iqbal mendekati halaman rumah Amira.
Amira yang baru keluar dari kamarnya langsung terkejut saat sang Bunda memanggil, "Amira, di luar ada Kak Iqbal bertamu."
"Kak Iqbal? Ada apa?" Amira mengernyit. Jantungnya berdebar. Ia sempat ragu, tapi akhirnya keluar juga menemui Iqbal yang sudah duduk di ruang tamu.
"Amira…." Suara Iqbal terdengar berat. Amira tersenyum, meskipun hatinya dipenuhi perasaan yang tidak karuan. Dia baru ingat, tadi pagi saat baru sampai di kampus, tidak keburu membalas pesan WA Iqbal, karena keburu dipanggil Arneta.
"Aku ingin bicara." Iqbal melanjutkan kalimatnya.
Amira duduk berhadapan, menunggu dengan sikap polos meskipun ia bisa merasakan aura canggung yang kental.
"Kakak lihat kamu… sama Kapten Yoda di kampus tadi," ucap Iqbal perlahan, menatap Amira dalam.
Amira terdiam sebentar, lalu mengangguk. "Iya, Kak. Amira memang tadi dijemput Kak Yoda." Amira berkata jujur.
"Jadi benar… kamu ada hubungan dengan om tentara itu?" Nada suara Iqbal meninggi sedikit. Dalam dadanya timbul cemburu dan amarah yang berusaha dia tahan.
Amira tetap tenang, malah tersenyum kecil. "Iya, Kak. Kami memang dekat."
"Dekat, maksudnya?" Iqbal melemparkan pertanyaan untuk meyakinkan dugaannya. Tidak lupa sorot matanya tajam menatap ke arah jari manis Amira yang tersemat sebuah cincin yang dulu tidak pernah Iqbal lihat.
"Maksud Amira, kami pacaran. Kak Yoda sudah mengungkapkan perasaannya," jelas Amira tidak ditutupi.
Jawaban itu menusuk hati Iqbal. Napasnya terasa berat, tapi ia mencoba menahan diri. "Kenapa? Maksudku… kenapa pilih om tentara itu, bukan aku? Apa aku kurang serius? Padahal aku yang lebih dulu mengungkapkan perasaannya dibanding dia." Iqbal melayangkan protes, nadanya terdengar kecewa.
Amira menunduk, jemarinya memainkan ujung jilbab. "Bukan gitu, Kak. Amira menghargai Kak Iqbal. Tapi… waktu itu, saat kita makan di kafe, Kakak kelihatan nggak nyaman lihat Amira makan banyak dan cepat. Amira bisa merasakan, Kakak risih. Amira berpikir kita nggak cocok, karena Kak Iqbal tidak bisa menerima Amira apa adanya."
Iqbal tercekat. Ingatannya langsung melayang pada hari itu, saat ia benar-benar tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya.
"Amira tahu, kebiasaan makan Amira mungkin aneh di mata orang. Termasuk bagi Kak Iqbal. Untuk itu, Amira pikir antara kita sepertinya tidak ada kecocokan. Tapi Kak Yoda, dia tidak merasa risih dengan cara makan Amira. Dia bisa menerima Amira apa adanya. Dan itu yang bikin Amira yakin.”
Iqbal menutup wajahnya sebentar, rasa sesal menghantam dadanya bertubi-tubi. "Jadi… hanya karena itu?" Suaranya serak.
Amira menggeleng pelan. "Bukan hanya itu, Kak. Tapi dari situ, Amira tahu, siapa yang benar-benar bisa nerima Amira tanpa syarat. Dan ternyata itu bukan Kak Iqbal. Maaf."
Ucapan sederhana itu terasa bagai palu godam menghantam hati Iqbal.
Ia mencoba tersenyum, meski bibirnya bergetar. "Aku… aku mengerti sekarang. Maaf, Amira. Aku yang salah. Aku terlalu menuntut, tanpa sadar menyinggung perasaan kamu. Padahal, aku sangat menyukai kamu."
Amira menatap Iqbal dengan tulus. "Iya, Kak. Tidak apa-apa. Amira juga minta maaf sama Kak Iqbal. Mungkin kita cocoknya jadi teman saja seperti sebelumnya. Bahkan .... Amira sudah anggap Kak Iqbal kakak sendiri."
Iqbal menarik napas panjang, lalu bangkit. Tatapannya berat, tapi kini terlihat lebih ikhlas. "Kakak mengerti. Terima kasih sudah jujur, Amira. Kakak pamit. Semoga kamu bahagia sama Om tentara."
Amira ikut berdiri, menatap haru. "Makasih, Kak Iqbal atas pengertiannya."
Dengan langkah berat, Iqbal melangkah keluar rumah. Namun dalam hati, ia tahu rasa sesal itu begitu membekas dalam. Jika saja dulu ia bisa menahan sikapnya, mungkin cerita ini akan berbeda.
Di dalam rumah, Amira duduk kembali, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja ditutup. Dadanya berdebar, bukan karena takut, tapi karena ia tahu hari ini adalah titik penentuan.
Ia sudah memilih. Dan pilihan itu adalah Yoda.
Sementara di luar sana, Yoda yang tidak tahu apa-apa, justru sedang memikirkan cara terbaik untuk segera bicara pada keluarga Amira dengan lebih serius. Baginya, Amira bukan sekadar gadis polos yang manis, tapi calon pendamping hidup yang ingin ia jaga selamanya.
semoga amira yoda lolos babak 40🤲🤲🤲🤲🤲
Semoga dokter Serelia gak buat ulah ya 😡🙏🏻
bisa bahaya