"Dear hati ...
Mengapa kau begitu buta? Padahal kau tahu dia sudah berkeluarga. Mengapa masih menaruh harapan besar kepadanya?"
Hati tak bisa memilih, pada siapa ia akan berlabuh.
Harapan untuk mencintai pria yang juga bisa membalas cintanya harus pupus begitu ia mengetahui pria itu telah berkeluarga.
Hatinya tak lagi bisa berpaling, tak bisa dialihkan. Cintanya telah bercokol terlalu dalam.
Haruskah ia merelakan cinta terlarang itu atau justru memperjuangkan, namun sebagai orang ketiga?
~Secretly Loving You~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ErKa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 12 - Dewa Penolongku
"Arsha?"
"I-iya Pak?"
"Kamu belum jawab pertanyaanku."
"Eh, em, i-iya Pak .... S-s-saya akan ke ruangan Bapak," lirihku dengan perasaan kalah. Aku siap dipecat, tapi tidak dengan ganti ruginya.
Selangkah, dua langkah. Untuk mencapai ruang Pak Armand saja membutuhkan tenaga berlebih. Kakiku terlalu lemas untuk digerakkan. Lebih tepatnya seluruh tubuhku menjadi seolah tak bertulang.
Keringat dingin mulai bermunculan. Tengkuk menjadi lebih dingin. Tangan basah dan gemetar. Kepala kosong seperti melayang. Aku melangkah seperti ke tiang gantungan.
Pintu ruang itu tertutup rapat. Kutelan ludah berkali-kali. Menyiapkan mental untuk apa yang akan terjadi. Kupejamkan mata rapat-rapat, ketika tangan terangkat dan mengetuk pintu itu.
Tok .... Tok .... Tok ....
"Masuk." Terdengar suara berat dari dalam ruang. Kuputar kenop pintu dan mendorongnya secara perlahan. Melongokkan kepala untuk melihat situasi di dalam.
"Duduk." Pak Armand duduk di singgasananya. Melihatku dengan tatapan datar. Membuat gerakan dengan tangan, menyuruhku untuk duduk.
"I-iya Pak ...." Kupaksa tubuhku untuk bergerak dan duduk di kursi panas. Benar-benar seperti duduk di atas ranjau, yang tak tahu kapan ranjau itu akan meledak.
"Sudah kamu buatkan jurnal?" tanyanya tanpa tedeng aling-aling. Matanya mulai sibuk membaca berkas yang ada di tangan.
"Be-belum Pak ...."
"Kenapa belum? Kamu tinggal buatkan jurnal. Debet dari rekening nasabah, masukkan ke pos penampungan giro."
Bom akan segera meledak. Kupejamkan mata dan menghirup napas dalam-dalam. Sidang akan segera dimulai.
"Ma-masalahnya r-rekening n-nasabah t-tidak ada s-saldonya Pak ...." Selesai sudah. Aku menunduk, tak berani menatapnya.
Bisa kurasakan, gerakan jari yang tengah membolak-balik kertas itu terhenti. Bulu kudukku berdiri. Aku bisa merasakan tatapan tajam yang sangat menusuk tanpa aku melihatnya.
"Tidak ada saldo?"
"I-iya Pak ...."
"Kalau tidak ada saldo, kenapa kamu jalankan?" Helaan napas berat bisa kudengar. Mungkin beliau menahan amarah yang sudah memuncak.
"S-saya yang t-teledor Pak .... S-saya t-tidak m-memeriksa s-saldo n-nasabah b-bersangkutan ...." Suara terbata-bata, menahan tangis yang akan pecah. Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa.
Dari ekor mata, kulihat Pak Armand memijit pelipisnya. Wajahnya terlihat sangat kecewa. Aku merasa sangat tak berguna.
"Sudah kamu telepon nasabahnya?"
"B-belum Pak ...."
"Coba kamu telepon. Kamu jelaskan pada nasabah, bahwa hari ini ada tarikan giro dan harus menyediakan dana segera."
"B-baik Pak ...."
"Aku tunggu kabarnya."
"B-baik Pak .... Ka-kalau begitu, saya permisi dulu Pak ...."
"Hem."
Hembusan napas lega langsung meluncur, begitu masalah tahap pertama sudah berhasil kulewati. Setidaknya aku telah melaporkan kesalahan. Reaksi Pak Armand tak diduga. Kupikir beliau akan murka. Mengatai-ngataiku dengan kata-kata kotor dan memecatku. Ternyata, beliau tetap tenang. Meskipun kulihat ekspresi kecewa di wajahnya, namun tak apa. Aku pantas mendapatkannya.
Sekarang, masuk ke permasalahan kedua. Aku harus menelepon nasabah, untuk menyampaikan masalah giro dan ketersediaan dana.
Aku membuka sistem untuk melihat data nasabah, kemudian menghubungi nomor yang tertera di sana. Pada deringan ketiga, sambungan itu diangkat.
"Assalamu'alaikum, selamat sore. Bisa bicara dengan Ibu Keke?"
"Selamat sore. Ya dengan saya sendiri. Siapa ini?!"
"Ah mohon maaf Bu Keke, saya Arsha, dari bank J. Mau menginformasikan, hari ini Ibu ada tarikan giro sebesar 245 juta. Dana harus tersedia sekarang Bu ...."
"Lho!! Kan saldonya tidak ada! Kenapa kamu jalankan?! Harusnya kamu tolak saja 'kan!"
DEG
Ternyata tak semudah yang kupikirkan. Aku berhadapan dengan nasabah ruwet. Debaran jantung ini semakin cepat. B-bagaimana bila nasabah tetap menolak untuk membayar? B-bukankah t-tetap aku yang mengganti ketersediaan dana? Tuhan, tolong aku ....
"Begini Bu Keke, bila giro ditolak, Ibu akan mendapat surat peringatan 1. Surat ini akan menyusahkan Ibu untuk bertransaksi di bank lain, karena ...."
"Saya nggak peduli!! Saya nggak punya uang!! Tolak saja!! Atau tutup rekening juga tidak apa-apa!!"
Ini menjadi semakin sulit. Nasabah bernama Keke tetap bersikukuh untuk tidak membayar. Hampir sepuluh menit kami berbicara. Aku berusaha memberi pengertian, namun selalu dia mentahkan. Akhirnya dia menutup panggilan itu secara sepihak. Sepertinya, aku benar-benar telah selesai!
***
Suara telepon berdering mengejutkanku. Pak Armand yang menelepon. Sedari tadi, aku duduk dengan pikiran yang kalut. Bingung harus melakukan apa. Aku tak berani menghadap Pak Armand dan menyampaikan hasil pembicaraan kami.
Tapi telepon itu berdering terus-menerus. Menuntutku untuk mengangkatnya.
"I-iya Pak?"
"Bagaimana hasilnya? Kapan nasabah mau tranfer?"
"S-saya a-akan ke ruangan Bapak ...."
Sepuluh menit kemudian, aku telah duduk berhadap-hadapan dengan Pak Armand. Aku sudah menceritakan semua. Tak ada tanggapan dari beliau, selain helaan napas dan raut wajah kecewa.
"S-saya s-siap di-dipecat Pak .... T-tapi u-untuk m-menggantinya, s-saya tidak bisa. S-saya tidak p-punya uang s-sebanyak itu. Ke-keluarga saya j-juga t-tidak p-punya ...." Airmata murahan mulai berlelehan, membasahi pipi hingga jatuh ke celana kerja. Sebuah pikiran baru mulai melintas, membuatku terhenyak. Aku menatap beliau dengan tatapan putus asa.
"A-apakah s-saya akan dipenjara kalau tidak bisa bayar?!" Beliau tak menjawab. Menatapku lamat-lamat. Dari sorot matanya tampak berpikir.
"Kirimkan nomor HP dan alamat orang itu," ucapnya sembari berdiri dan mengambil kunci mobil. Beliau merapikan dasi dan kemejanya yang tergulung. Mengambil ID Card dan mengalungkan di leher.
"Kalau Pak Marga tanya, bilang saja aku sedang keluar. Ada urusan pribadi. Kembali ke mejamu. Kerjakan apa yang menjadi tugasmu." Selesai berkata seperti itu, beliau keluar dari ruang, meninggalkan yang masih duduk dengan air mata berlinang.
***
Pak Armand memang menyuruhku untuk mengerjakan pekerjaanku, namun aku tak bisa melakukannya. Pikiranku melanglang buana. Cemas, kalut, takut, bercampur menjadi satu.
Sudah dua jam beliau keluar dan sampai sekarang belum ada kabar. Seperti perintah beliau, aku sudah mengirimkan nomor ponsel dan alamat nasabah bersangkutan.
Kemana Pak Armand pergi? Apa beliau menemui nasabah itu? Apa yang akan dilakukan beliau? Mengapa tidak membawaku serta? Kenapa lama sekali? Apa terjadi sesuatu?!!
Aku hanya bisa meremat-remat tangan. Perutku bergejolak. Kebiasaan ketika rasa cemas dan gugup melanda. Berkali-kali muntah, namun tak bisa meredakan semua.
***
Waktu menunjukkan pukul 19.38 WIB, ketika sosoknya datang. Aku langsung menghambur dan berdiri di hadapannya. Tentu saja dengan air mata murahan berceceran.
"P-pak ...," sapaku takut-takut.
"Kamu filing ini," ujarnya sembari memberiku BPKB dan sertifikat rumah. Aku menerima barang-barang itu dengan melongo.
"Nasabah janji akan membayar dalam minggu ini. Bila dalam jangka waktu yang ditetapkan tak bisa membayar, masukkan dua jaminan ini dalam daftar lelang," tandasnya sembari membuka dasi dan melangkah pergi.
Seketika lututku menjadi lemas. Aku jatuh terduduk sembari memeluk dua jaminan itu dengan erat. Menangis terisak-isak dan tersedu sedan. Aku benar-benar tak bisa mengungkapkan perasaanku. Selain rasa lega yang luar biasa dan terima kasih yang begitu mendalam.
Terima kasih Pak, karena sudah menjadi dewa penolongku. Bantuan Bapak tidak akan pernah kulupakan. Hutang budi ini akan selalu kuingat, selamanya. Terima kasih, dewa penolongku.
***
Happy Reading 😚