Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JALAN BUNTU
(Sudut pandang Adrian)
Sore itu, kantor Lesmana & Partners terasa lebih lengang dari biasanya. Mayoritas staf sudah pulang, menyisakan hanya lampu-lampu meja yang menyala redup di lorong. Adrian duduk di balik meja kerjanya, membuka-buka berkas saksi untuk persidangan minggu depan. Keningnya berkerut, jemari mengetuk pena di atas meja setiap kali menemukan celah atau kemungkinan serangan dari pihak lawan.
Ia sedang membaca ulang keterangan Bu Ina, tetangga kos Maya yang menjadi saksi. Kalimat-kalimat itu bagus, tapi masih rapuh jika diserang pengacara Reza. Ada beberapa bagian yang terlalu emosional, yang bisa diubah menjadi pertanyaan menjebak. Adrian tahu, di persidangan, kelemahan sekecil apa pun bisa berakibat fatal.
Suara ketukan pintu yang tergesa membuatnya menghentikan pekerjaannya.
Pintu terbuka tanpa menunggu izin. Maya berdiri di ambang, tubuhnya sedikit gemetar. Rambutnya berantakan, mata sembab, dan wajahnya pucat. Bukan penampilan yang biasa ia bawa ke kantornya.
“Maya?” suara Adrian terdengar terkejut, meski tetap datar. “Kau belum ada jadwal dengan saya hari ini.”
“Aku tahu…” suaranya nyaris berbisik. Ia melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. “Aku… aku cuma… aku nggak tahu harus ke mana lagi.”
Adrian menatapnya dengan hati-hati. “Duduklah.” Ia menunjuk kursi di seberang meja.
Maya duduk, tapi tubuhnya seperti terlipat, punggung membungkuk, tangan saling meremas di pangkuan. Ia menunduk, menghindari tatapan Adrian.
“Ada apa?” tanya Adrian, tenang namun tegas. “Kalau datang ke sini dalam kondisi seperti ini, pasti sesuatu yang serius.”
Maya menarik napas dalam, lalu menghembuskannya dengan gemetar. “Aku mau menyerah, Adrian. Aku… mau bawa Nayla pergi jauh. Melarikan diri.”
Adrian membeku sejenak. “Melarikan diri?” Ia mencondongkan tubuh, menatap langsung ke wajah Maya. “Kau sadar apa yang kau katakan?”
“Aku nggak sanggup lagi!” suara Maya pecah. “Setiap hari aku dihantui ketakutan. Reza selalu muncul di tempat aku kerja, atau kirim pesan yang bikin aku nggak bisa tidur. Sidang kemarin aja udah bikin aku nyaris gila. Aku nggak mau Nayla hidup di tengah semua ini. Kalau aku pergi, semuanya selesai.”
“Tidak,” kata Adrian tegas. “Kalau kau pergi, masalah ini justru akan memburuk. Kau akan dianggap melarikan diri dari proses hukum, dan itu bisa digunakan sebagai bukti bahwa kau tidak layak mengasuh Nayla.”
“Apa gunanya proses hukum kalau dari awal aku sudah kalah?” Maya mendongak, matanya berkilat di balik air mata. “Dia punya uang, koneksi, dan cara untuk bikin aku terlihat buruk di depan hakim. Sementara aku cuma punya… kamu. Dan aku nggak yakin itu cukup.”
Adrian menghela napas, lalu bersandar di kursinya. “Dengarkan aku. Dalam kasus seperti ini, yang terpenting adalah tetap berada di dalam jalur hukum. Aku sudah menangani puluhan kasus perebutan hak asuh. Orang yang kabur—selalu kalah. Tanpa pengecualian.”
“Aku nggak peduli kalau aku kalah di mata hukum!” seru Maya. “Yang aku mau cuma Nayla aman. Kalau aku harus hidup bersembunyi, nggak masalah.”
“Maya.” Suara Adrian menurun, tapi tajam. “Kau pikir hidup bersembunyi itu aman? Berpindah-pindah kota, tanpa pekerjaan tetap, tanpa dukungan hukum? Nayla akan tumbuh besar dalam ketidakpastian, tanpa akses pendidikan, tanpa jaminan kesehatan. Kau mau membesarkan dia dalam ketakutan?”
Maya terdiam, tapi air matanya jatuh tanpa suara. Ia mengusapnya kasar, seolah marah pada dirinya sendiri.
Adrian melanjutkan, “Aku tahu kau lelah. Tapi kau tidak boleh mengambil keputusan yang akan merusak masa depan kalian berdua. Kau sudah sejauh ini. Kau sudah berani melawan di persidangan. Jangan biarkan rasa putus asa membatalkan semua yang sudah kau perjuangkan.”
“Aku nggak sekuat yang kamu kira…” Maya berkata lirih. “Setiap malam aku nggak bisa tidur, bayangin dia datang dan ambil Nayla dari aku. Aku mimpi buruk, Adrian. Aku… aku takut sekali.”
Adrian menatapnya lama, lalu bangkit dari kursinya. Ia berjalan memutar meja dan berdiri di samping Maya. “Kau tidak sendirian,” ucapnya pelan. “Kau punya aku di pihakmu. Selama kau mau bertahan, aku akan berjuang bersamamu.”
Maya menoleh, menatap Adrian seakan ingin percaya, tapi masih ragu. “Tapi kalau aku kalah…”
“Kalau kau kalah,” potong Adrian, “itu akan karena kita sudah mencoba semua cara, bukan karena kau kabur. Dan percaya padaku, aku tidak terbiasa kalah.”
Maya menghela napas panjang. “Aku… nggak tahu apakah aku sanggup menghadapi sidang lagi.”
“Kau sanggup,” jawab Adrian mantap. “Karena yang kau perjuangkan bukan sekadar menang atau kalah. Kau memperjuangkan seorang anak yang kau cintai. Dan kalau itu bukan alasan untuk bertahan, aku tidak tahu apa lagi yang bisa membuat seseorang berdiri.”
Keheningan melingkupi ruangan beberapa saat. Hanya suara jarum jam di dinding yang terdengar.
“Aku takut, Adrian…” bisik Maya.
“Aku tahu,” balasnya. “Tapi rasa takut itu akan berkurang kalau kau hadapi bersama orang yang mengerti bagaimana mengalahkan lawanmu.”
Maya menatapnya lama, lalu akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah… aku akan coba bertahan.”
Adrian kembali ke kursinya. “Bagus. Sekarang kita fokus pada strategi sidang berikutnya. Aku butuh kau jujur sepenuhnya. Tidak ada rahasia, tidak ada yang kau sembunyikan.”
Maya menunduk. “Aku akan berusaha.”
Adrian mempersempit tatapannya. Ia tahu kata “berusaha” itu belum tentu berarti “jujur sepenuhnya”. Tapi setidaknya, Maya tidak lagi berbicara soal kabur. Itu sudah satu langkah maju.
“Kita mulai dari sini,” kata Adrian sambil membuka berkas baru. “Dan kali ini, kita tidak akan memberi Reza satu celah pun.”
Maya mengangguk, mengusap sisa air mata di pipinya, berusaha duduk lebih tegak.
Untuk pertama kalinya sore itu, ada sedikit api kembali di matanya.
kamu harus jujur maya sama adrian.