BOCIL HARAP MENEPI DULU.
*
"
Valencia Remi, seorang gadis muda usia 19 tahun dari desa. Dia memiliki rambut hitam panjang dan mata coklat yang indah. Senyumnya manis dan lembut, membuat semua orang jatuh cinta pada-nya. Cia Pergi ke kota jakarta untuk mengejar impian kuliah di universitas.
*
Cia berteman dengan seorang yang sudah lama tingal di jakarta dan memperkenalkan Kehidupan malam kota yang glamor.
*
Cia mulai terjebak dalam pergaulan bebas dan mengenal Aksa yang menawarkan Kehidupan mewah.
*******
"Jadi Cewek Gue, makan seluruh kehidupan Lo....Gue yang tanggung." Kata Aksa.
*
"Kamu tau kan ? Aku sudah punya pacar." Jawab Cia.
*
*
Penasaran dengan pilihan Cia ? Yuk ikuti kisahnya..!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Perasaan terpendam
0o0__0o0
PLAK !
Suara tamparan itu masih terngiang. Semua orang di warung menoleh, beberapa sampai terdiam. Cia sendiri kaget dengan refleksnya barusan—tangan-nya masih sedikit bergetar.
Aksa tidak langsung bereaksi. Cowok itu menatap-nya datar, wajahnya dingin tapi matanya jelas menahan sesuatu. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu tiba-tiba berdiri.
“Lo puas sekarang?” suaranya rendah, nyaris bergetar. Tanpa menunggu jawaban, Aksa melangkah keluar warung, meninggal-kan Cia yang masih terpaku.
Cia menunduk, hatinya mulai terasa perih. Awalnya ia hanya ingin melampiaskan kesal, tapi tidak menyangka kalau Aksa benar-benar akan tersinggung sedalam itu.
Beberapa menit kemudian, setelah makanan di hidangkan, Cia gelisah. Ia menoleh ke luar jendela warung dan melihat Aksa duduk di atas kap mobil-nya, menyalakan rokok, menatap kosong ke depan.
Hatinya makin ciut. "Ya Tuhan… kok aku keterlaluan banget sih tadi ?" Guman'nya Lirih.
Cia akhirnya mem-beranikan diri keluar, langkah-nya ragu-ragu. Ia mendekat sambil memegang tangan-nya sendiri, mencoba mencari kata-kata.
“Sa…” panggilnya pelan.
Aksa tidak menoleh, hanya mengembuskan asap rokok. “Balik aja, makanan lo belum habis.”
Cia menggigit bibir, perasaan-nya makin sesak. “Aku… aku nggak bermaksud, Sa. Aku kesel aja, tapi aku nggak harusnya…” suaranya mengecil, hampir berbisik.
Aksa akhirnya menoleh. Wajahnya tidak marah, justru terlihat tenang tapi dingin. “Valen, lo boleh kesel sama gue, boleh marah. Tapi jangan pernah melontarkan kata-kata yang nyakitin, apalagi sampe mukul gue di depan orang banyak.”
Aksa menjatuhkan rokok-nya lalu di injak, pelan, penuh tekanan. Tatapan mata-nya tidak berpaling dari Cia yang menatapnya takut, penuh penyesalan.
"Kalau Lo tidak bisa membalas perasaan gue, Setidak-nya hargai gue sebagai laki-laki." Tekan-nya dingin.
Ucapan itu menusuk hati Cia. Air matanya langsung menggenang, ia menunduk. “Aku salah… maaf ya, Sa. Aku beneran nggak bermaksud….”
Melihat itu, akhirnya Aksa mendekat, lalu menepuk pelan puncak kepala Cia. “Udah. Gue nggak mau liat lo nangis. Tapi lain kali, Lo gak boleh gitu lagi. Belajarlah menghargai orang lain, meskipun orang itu tidak Lo harapkan."
Cia mendongak, matanya basah. “Sakit gak ?" tangannya mengelus lembut pipi Aksa.
Aksa menyeringai dalam hati, lalu pasang wajah terzolimi sambil mengangguk. “Lumayan perih… tapi lebih perih kalo lo terus-terusan gak hargai gue kayak tadi.”
Cia langsung terisak kecil, merasa makin bersalah. Ia meraih lengan Aksa, meng-genggam nya erat. “Aku janji nggak akan gitu lagi. Maafin aku ya ?”
Aksa menatapnya dalam, lalu menunduk mencium puncak kepala Cia singkat. “Hem."
Cia langsung memeluk erat tubuh Aksa, seolah takut kehilangan-nya.
0o0__0o0
Malam itu, suasana apartemen Rava terasa tenang. Lampu ruang tamu redup, hanya ditemani cahaya TV yang menayangkan pertandingan bola.
Rava duduk santai di sofa dengan rokok di tangan-nya, sementara Aksa mondar-mandir tak jelas arah.
“Lo dari tadi muter-muter kayak setrikaan rusak, Sa. Mau cerita apa, ngomong aja,” tegur Rava datar, matanya masih menatap layar TV.
Aksa berhenti, mengacak rambutnya kasar. “Gue bingung, Va.”
Rava melirik sekilas, lalu mematikan TV. “Tentang Cia lagi?” tebaknya tenang.
Aksa mendengus, lalu menjatuhkan tubuh ke sofa di sebelah Rava. “Iya. Gue suka sama dia, Va. Banget. Tapi tiap kali gue coba serius ngomongin perasaan gue, dia selalu nolak dengan alasan udah punya pacar di kampung. Tapi masalahnya…”
Aksa terdiam sebentar, lalu menatap kosong ke depan. “Dia nggak pernah nolak gue ada di samping-nya. Dia malah nerima gue meskipun gue ini keras, suka ngatur, mesum, pemaksa, semua kebiasaan jelek gue.”
Rava menghembuskan asap rokok, wajahnya tenang tapi matanya menyimpan sesuatu yang dalam. “Terus masalah lo apaan ? Harusnya lo seneng dong. Cewek lain udah kabur kalau di giniin sama lo.”
Aksa menggeleng pelan. “Itu dia, Va. Gue takut. Takut suatu saat dia beneran ninggalin gue, balik ke pacarnya di kampung. Karena gue tau, sikap gue… nggak gampang di tolerir. Gue kadang egois, suka maksa, kadang kelewatan.” Suaranya melemah, jarang sekali Aksa bicara selembut ini.
Rava menatap sahabat-nya lama. Dalam hatinya, ada perasaan yang sulit ia ungkapkan. Tapi sebagai sahabat Ia akan selalu mendukung-nya, ia menepuk bahu Aksa pelan.
“Sa… cewek itu nggak mungkin betah sama cowok kalau nggak ada rasa. Kalau Cia beneran nggak ada hati buat lo, dari awal dia udah ngejaga jarak. Faktanya ? Dia masih mau lo jemput, lo temenin, bahkan masih bisa ketawa sama lo.”
Aksa diam, menelan ludah. “Lo beneran yakin, Va?”
Rava tersenyum tipis sambil mengangguk singkat. “Yakin. Ini Cuma masalah waktu sebelum dia sadar siapa yang bener-bener bikin dia nyaman.”
Aksa terdiam, sorot matanya goyah. “Tapi… kalau ternyata gue bukan orang itu?”
Rava menarik napas dalam, menatap sahabat-nya yang tampak rapuh. “Kalau lo bukan orang itu, berarti lo harus siap. Tapi, Sa…”
Rava berhenti sejenak, menatap Aksa dalam. “gue rasa, lo lebih berarti buat Cia dari pada cowok yang cuma bisa jagain dia dari jauh.”
Aksa terdiam lama, lalu menyandarkan kepala-nya ke belakang sofa. Senyum getir menghiasi wajahnya. “Lo selalu bisa bikin gue tenang, Va. Makasih.”
0o0__0o0
Suasana apartemen kembali sepi setelah Aksa pamit pulang. Pintu tertutup pelan, meninggalkan hening yang justru semakin menyesakkan dada Rava. Ia duduk di sofa, menatap gelas kopi dingin yang tadi tak sempat ia habiskan.
Tangan-nya meraih rokok, menyalakan-nya lagi. Tarikan pertama terasa berat, seakan asap itu satu-satunya cara menahan gejolak yang meletup dalam hatinya.
“Cia…” gumam-nya lirih. Nama itu terasa manis sekaligus menyakitkan di lidahnya.
Ia teringat bagaimana tadi Aksa bercerita, jujur, rapuh, penuh rasa takut kehilangan. Dan Rava hanya bisa mendukung, meskipun hatinya sendiri berteriak ingin bilang,
“Gue juga suka sama dia, Sa.”
Tapi bagaimana bisa? Aksa adalah sahabat-nya sejak kecil, orang yang sudah ia anggap saudara. Mereka berbagi segalanya dari mimpi, tawa, hingga luka.
Mengkhianati Aksa dengan merebut Cia? Itu sama saja menusuk sahabat-nya sendiri dari belakang. Rava meng-hembuskan asap panjang, kepala-nya tertunduk.
“Kenapa harus Cia… kenapa bukan cewek lain aja yang bisa gue suka ?” bisiknya getir.
Rava memejamkan mata, mem-bayangkan senyum polos Cia, suara lembutnya, bahkan tatapan matanya yang hangat. Semua itu terlalu nyata, terlalu dalam untuk di hapus begitu saja.
Apalagi Ia pernah menyentuh tubuh Cia begitu intens saat sedang terpengaruh obat waktu itu. Bayangan tubuh Cia, halus kulit-nya dan harum tubuh'nya masih terekam jelas di memori-nya.
Namun, setiap kali bayangan itu datang, wajah Aksa juga ikut muncul. Sahabat-nya yang tadi duduk di sofa yang sama, dengan mata penuh ketakutan kehilangan gadis yang sama-sama mereka cintai.
Rava mengusap wajahnya kasar. “Lo goblok, Rav. Lo harusnya seneng kalau sahabat lo bahagia. Jangan berharap lebih.”
Matanya sedikit memerah, tapi ia buru-buru meng-hembuskan napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tahu, perasaan itu harus disimpan rapat-rapat. Tak ada yang boleh tahu, terutama Aksa.
“Kalau Cia emang di takdirin buat Aksa, ya gue cuma bisa jagain mereka dari jauh,” gumam-nya lirih. Senyum pahit terbit di wajahnya, meski hatinya hancur.
Di luar jendela, lampu kota berkelap-kelip. Rava menatapnya lama, lalu memejamkan mata lagi, membiarkan rasa sakit itu menelan dirinya dalam diam.
0o0__0o0
lgsg hapus dari daftar perpus
/Sob//Sob//Sob//Sob//Sob/
katanya paling jagoan, terutama Aksa.
Aksa terlalu lemah kalo bersangkutan dengan cia, kalo kamu gitu para musuhmu mudah dong ngalahin kamu??