NovelToon NovelToon
Immortality Through Suffering

Immortality Through Suffering

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Spiritual / Balas Dendam / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:6.5k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.

Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.

Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.


Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kota Fengyu

Xu Hao kembali memejamkan mata, membiarkan pikirannya masuk ke dalam ketenangan yang ia ciptakan sendiri. Api unggun di hadapannya masih menyala redup, cahaya oranye bergetar mengikuti tarian angin malam. Tubuhnya berlumur darah kering, napasnya pelan namun berirama. Di dalam hatinya ia bergumam lirih, seolah ingin meyakinkan dirinya sekali lagi.

"Aku dibantu Paman Cuyo dengan batu Qilin… untuk bisa berkultivasi. Batu itu membuka tiga meridian, lalu membentuk akar spiritual yang seharusnya tidak pernah ada."

Bayangan masa lalu berkelebat jelas. Dulu ia hanyalah pemuda tanpa bakat, tubuhnya kurus dan terlihat lemah, takdir menutup jalan kultivasinya. Qi Surgawi dari Batu Qilin yang menjadi kunci yang memaksa pintu tertutup itu terbuka. Dalam sebulan penuh, Xu Hao melakukan latihan yang seakan menyiksa, meski telah membuka tiga meridian. Meski demikian, ia tahu betul akar spiritualnya tidak cukup baik. Paman Cuyo tidak pernah mengucapkannya, tetapi Xu Hao bisa merasakannya dengan jelas. Ia tidak bodoh. Ia tahu batasannya.

Namun kemudian, nasib seolah mempermainkan sekaligus memberinya anugerah. Saat ia hampir mati, seorang pria tua berjubah hitam menyelamatkannya. Tubuh Xu Hao direndam di dalam kolam darah aneh, empat tahun kemudian saat terbangun, dirinya sudah berubah. Akar spiritual yang sebelumnya sangat buruk tiba-tiba sempurna, fondasi yang rapuh menjadi sangat kokoh, seakan ditempa ulang oleh tangan langit. Lebih mengejutkan lagi, kultivasinya yang semula baru memasuki Qi Refining tahap awal melesat naik ke Foundation Establishment tahap tengah. Itu adalah lompatan yang mustahil dijelaskan dengan akal.

Xu Hao menarik napas dalam, matanya masih terpejam. "Siapapun yang membantuku, entah Paman Cuyo, kakak Lianxue, atau pria tua berjubah hitam. Suatu hari akan kubalas budi mereka."

Api unggun kembali berderak pelan, memantulkan cahaya samar di wajahnya. Xu Hao membuka sedikit matanya, menatap kosong ke arah kegelapan hutan. Saat ini ia sudah menerobos Foundation Establishment tahap akhir. Tinggal satu langkah lagi, dan ia akan masuk ke tingkat Core Formation, tingkat yang menjadi mimpi banyak kultivator. Namun tubuhnya masih menyimpan energi dari Pil Qi Langit yang sebelumnya ia telan. Energi itu belum larut sepenuhnya, masih berputar liar di dalam dantian, seperti lautan putih yang menunggu diarahkan.

Ia mengernyitkan dahi, merasa ragu. "Apakah aku bisa menerobos ke Core Formation hanya dengan sisa energi ini? Atau perlu kutambahkan dengan Pil Qi Langit satu lagi?"

Tangannya perlahan bergerak ke sisi tubuhnya, merogoh kantong kain yang berada di dekatnya. Dari sana ia mengeluarkan sebuah pil berwarna putih yang memancarkan sinar lembut. Pil itu tampak suci, seolah dipadatkan dari esensi langit yang murni. Permukaannya berkilau halus, aromanya menenangkan, namun di balik itu Xu Hao bisa merasakan tekanan mengerikan yang tersembunyi.

Xu Hao menggenggam pil itu dengan erat, cahaya api unggun memantul di permukaannya. Matanya berkilat, bercampur tekad dan keraguan.

Di depan lembah yang sunyi, hanya ada Xu Hao, api unggun yang hampir padam, dan pil Qi Langit kedua yang seakan menunggu untuk ditelan.

Namun Xu Hao pada akhirnya tidak menelan pil itu. Jari-jarinya yang menggenggam pil Qi Langit perlahan mengendur, lalu ia menarik napas panjang. Bayangan wajah Paman Cuyo muncul dalam ingatannya, tenang dan penuh wibawa, suara yang dulu menasehati nya masih terngiang jelas.

“Jangan gegabah saat mencoba menembus Core Formation. Di tahap itu, pembentukan inti jiwa tidak boleh terganggu sedikit pun. Jika inti terbentuk tidak sempurna, maka jalan kultivasi selanjutnya akan hancur. Lebih buruk lagi, tubuh bisa meledak di tempat dan jiwa menghilang selamanya.”

Kata-kata itu menusuk masuk ke hatinya. Xu Hao menggertakkan gigi, menyadari bahaya yang mengintai. Tubuhnya mungkin kuat, tekadnya keras, namun ia tidak boleh lupa, terobosan Core Formation bukanlah hal kecil. Itu adalah puncak dari Foundation Establishment, titik balik yang memisahkan para kultivator biasa dengan calon ahli sejati. Kesalahan sedikit saja berarti kematian.

Xu Hao menatap pil Qi Langit itu sekali lagi, sinarnya yang lembut seperti menggoda untuk segera ditelan. Namun ia menghela napas panjang, menahan dorongan hatinya. Perlahan ia memasukkan pil tersebut kembali ke dalam kantong kain, lalu menyimpan di cincin penyimpanan di jarinya. Cahaya samar muncul dari cincin itu saat ia menyimpan kembali pil Qi Langit, seolah menguburnya dalam ruang dimensi kecil yang aman.

Setelah itu Xu Hao bangkit berdiri. Tubuhnya masih tanpa pakaian dan hanya menggunakan celana pendek. kulitnya dingin terkena angin lembah. Ia melangkah ke arah pakaian yang digantung di dahan dekat api unggun. Pakaian panjang biru gelap itu kini sudah setengah kering, uap tipis masih mengepul darinya. Xu Hao mengambilnya perlahan, merasakan kainnya yang lembut dan terasa akrab, lalu mengenakannya kembali ke tubuhnya. Lengan demi lengan ia masukkan, menarik sabuk ikat pinggangnya, memastikan pakaian itu menempel erat pada badan.

Api unggun di sampingnya sudah hampir padam, hanya menyisakan bara merah yang berkilau samar. Xu Hao berdiri di sampingnya, menatap sisa bara itu dengan tatapan penuh tekad. Lalu ia bergumam pelan, suaranya rendah namun jelas terdengar di antara bisikan angin malam.

"Aku harus mencari tempat yang benar-benar aman untuk menerobos ke tingkat Core Formation. Tapi sebelum itu, aku harus memperkokoh dulu fondasi tahap akhir Foundation Establishment."

Ia lalu menarik napas panjang, merasakan energi di tubuhnya yang berdenyut kuat, lebih kokoh dari sebelumnya. Tanpa menunggu lebih lama, Xu Hao membungkuk sedikit, lalu berlari kencang meninggalkan lembah itu.

Tanah basah bergetar di bawah pijakannya. Udara malam terbelah saat tubuhnya melesat cepat. Daun-daun beterbangan, ranting kecil patah setiap kali ia melewatinya. Xu Hao sendiri tercengang. Kecepatan larinya kini jauh lebih cepat daripada sebelumnya, seolah tubuhnya menjadi lebih ringan namun tetap dipenuhi kekuatan.

“Jadi ini hasil dari menerobos ke Foundation Establishment tahap akhir,” pikirnya sambil terus berlari, matanya berkilat penuh semangat.

Hutan yang gelap dan lembah sunyi segera tertinggal di belakang, sementara Xu Hao berlari seperti bayangan yang melesat menembus malam.

Setelah berlari tanpa henti menembus lembah berbatu dan rimbunan pepohonan, Xu Hao akhirnya menemukan sebuah kolam kecil yang tersembunyi di antara tebing berlumut. Airnya jernih, berkilau diterpa cahaya mentari pagi yang baru muncul dari balik gunung. Uap tipis mengepul dari permukaan, menandakan kesegaran yang belum pernah disentuh manusia.

Xu Hao menarik napas panjang. Tubuhnya masih penuh bercak darah kering dan noda hitam akibat terobosan Foundation Establishment tahap akhir semalam. Ia melepaskan seluruh pakaiannya, menaruhnya di atas batu datar, lalu melangkah masuk ke dalam air. Begitu kulitnya bersentuhan dengan air kolam, rasa dingin menusuk namun menenangkan merambat ke seluruh pori-porinya.

Dengan telapak tangannya, ia menyiram wajah, dada, hingga punggung, menggosok dengan teliti setiap sudut tubuhnya. Darah yang menempel larut ke dalam air, meninggalkan jejak samar berwarna merah yang perlahan hilang terbawa arus kecil di dasar kolam. Sesekali ia menyelam ke dalam, membiarkan rambut hitam panjangnya terurai bebas, berkilau kehijauan di bawah sinar matahari yang menembus air.

Setelah puas membersihkan diri, Xu Hao naik ke tepian. Ia meraih pakaiannya yang kotor, merendamnya sebentar, lalu menggosoknya dengan sabar hingga noda darah lenyap. Ia kemudian meletakkannya di atas batu besar. Perlahan ia mengangkat tangan, menyalurkan Qi merah pekat dari tubuhnya ke pakaian itu. Dari pori-pori tangannya keluar hawa panas yang menimbulkan riak samar di udara, membuat serat kain bergetar ringan. Tak lama, pakaian yang basah mulai mengering, hangat saat disentuh. Xu Hao tersenyum tipis, merasa berhasil dengan percobaan itu.

Xu Hao lalu kembali ke kolam, menyelam dalam-dalam sekali lagi, menikmati sensasi tubuhnya yang kini terasa ringan dan bersih. Setelah beberapa saat, ia naik kembali, lalu menatap ke arah langit. Cahaya matahari sudah terang, menandakan pagi telah sepenuhnya tiba.

Namun bersamaan dengan itu, perutnya berbunyi keras. Rasa lapar yang menekan membuatnya mengerutkan alis. Ia segera menyelam ke dasar kolam, gerakannya cepat seperti seekor naga air. Dalam sekejap, ia menangkap dua ekor ikan berukuran sedang, tubuhnya berkilau perak di bawah sinar matahari. Ia melemparkan ikan itu ke daratan di bawah sebuah pohon besar tak jauh dari kolam.

Setelah keluar, Xu Hao kembali mengenakan pakaiannya sepenuhnya, lalu mengumpulkan ranting-ranting kering. Ia membuat lingkaran kecil dari batu, menyalakan api dengan gesekan dan bantuan Qi. Api menyala perlahan, lalu membesar, memantulkan cahaya oranye di wajah dinginnya. Dengan telaten ia menusuk ikan dengan ranting tajam, lalu memanggangnya di atas api. Bau harum ikan yang terbakar perlahan menyebar, bercampur dengan aroma asap kayu.

Saat ikan matang, kulitnya kecokelatan dan renyah, Xu Hao menggigitnya tanpa banyak bicara. Rasa gurih memenuhi mulutnya, memulihkan sedikit energi setelah malam panjang penuh kesulitan. Ia makan perlahan namun penuh selera, daging hangat itu terasa seperti makanan terbaik yang pernah ia dapatkan sejak beberapa hari terakhir.

Setelah menghabiskan dua ekor ikan, Xu Hao bersandar di batang pohon besar di belakangnya. Ranting-ranting pohon itu menaungi tubuhnya, menepis sinar matahari yang terlalu terang. Perutnya terasa hangat, matanya mulai terasa berat. Meski hatinya tahu ia harus tetap waspada, tubuhnya yang lelah setelah menerobos ke tahap akhir Foundation Establishment menuntut istirahat.

Kepalanya miring, bahunya menempel pada batang pohon, rambut hitam panjangnya tergerai menutupi sebagian wajah. Nafasnya perlahan menjadi teratur. Suara gemerisik dedaunan, kicau burung pagi, dan sisa api unggun yang berderak samar menjadi nyanyian alam yang menidurkannya.

Dalam waktu singkat, Xu Hao pun terlelap. Wajahnya yang biasanya penuh ketegangan kini terlihat tenang, seolah dunia yang keras dan penuh bahaya ini untuk sesaat memberi ruang baginya untuk bermimpi.

Waktu berlalu dalam sekejap.

Matahari sore perlahan condong ke barat, sinarnya menembus celah pepohonan yang tinggi. Xu Hao membuka matanya. Sisa embun di rerumputan masih menempel pada lengan dan bajunya, memberi rasa dingin yang samar. Ia bangkit dari bawah pohon besar tempatnya tertidur, menepuk-nepuk debu dan daun kering yang melekat di tubuhnya.

Dalam hatinya ia bergumam, “Saatnya menuju kota. Tanaman spiritual dari goa itu harus segera aku jual. Dengan batu roh hasilnya, aku bisa membeli pedang terbang. Aku tidak bisa terus berlari seperti orang bodoh setiap kali berpindah tempat.”

Tanpa banyak membuang waktu, dengan satu tarikan napas panjang, ia mengerahkan kekuatan fisiknya. Tubuhnya langsung melesat menembus hutan, meninggalkan bayangan yang samar. Setiap pijakan kakinya menghancurkan dedaunan kering dan memecah ranting, namun kecepatannya terlalu tinggi untuk dilihat mata biasa. Ia berlari tanpa henti. Udara menerpa wajahnya, suara angin yang menderu terdengar seolah menampar telinga.

Hutan itu seolah tidak berujung. Namun Xu Hao tidak merasa letih. Qi merah samar yang melingkupi tubuhnya menjaga stamina dan kekuatannya tetap stabil. Sesekali ia melompat dari satu batu besar ke batu lain, lalu menjejak batang pohon, menendang, dan melesat kembali ke tanah. Tubuhnya bergerak seperti harimau yang berburu di antara pepohonan.

Waktu berjalan cepat. Langit yang semula terang kini berangsur memerah. Cahaya senja membias di balik pepohonan. Hingga akhirnya, setelah berlari berjam-jam, Xu Hao mulai melihat tanah lapang yang terbuka. Debu jalanan berbaur dengan langkah-langkah orang yang keluar masuk. Aroma keringat, debu, dan pedagang kaki lima samar mulai tercium.

Di hadapannya berdiri sebuah kota besar dengan dinding batu yang kokoh dan menjulang. Gerbang utama terbuka lebar, namun dijaga oleh beberapa prajurit dengan tombak panjang dan baju zirah perunggu. Bendera dengan lambang burung angin berkibar di atas gerbang.

Xu Hao memperlambat langkahnya. Tubuhnya yang penuh debu dan pakaian panjang biru gelap yang sudah agak lusuh jelas menarik perhatian. Orang-orang yang sedang melintas menoleh sekilas, beberapa berbisik sambil berjalan cepat masuk ke kota.

Saat Xu Hao mendekat, telinganya menangkap percakapan dari sekelompok pedagang.

“Kota Fengyu sedang ramai. Pasar tengah bulan dibuka. Para penjual dari berbagai desa berkumpul.”

“Aku dengar Kaisar Qiyuan pernah menyebut kota ini sebagai jantung perdagangan selatan.”

“Kalau begitu, hari ini kita bisa menjual barang dengan harga bagus.”

Xu Hao sedikit mengerutkan kening. “Fengyu… Jadi ini kota yang pernah disebut Paman Cuyo. Aku tidak menyangka bisa sampai di sini.”

Namun ketika ia hendak melangkah masuk melewati gerbang, dua prajurit segera menghalanginya dengan tombak.

“Berhenti.” Suara prajurit pertama kasar. Tatapannya penuh curiga.

“Orang asing dari mana kau? Wajahmu tidak pernah terlihat di kota ini. Apa kau pikir bisa masuk seenaknya?” ejek prajurit kedua sambil menatap Xu Hao dari atas ke bawah.

Xu Hao menatap keduanya dengan mata dingin, meski nada suaranya tetap datar.

“Aku berasal dari pegunungan. Tidak tahu apa pun tentang situasi dan peraturan kota. Aku hanya ingin masuk untuk menjual barang.”

Mendengar itu, kedua prajurit tertawa kecil.

“Pegunungan? Hah. Jadi kau anak gunung yang baru turun? Tidak tahu aturan, lalu berharap bisa seenaknya masuk kota besar?”

“Orang sepertimu biasanya hanya pembuat masalah. Pergi saja sebelum aku benar-benar melemparmu keluar gerbang.”

Mereka mendorong gagang tombak sedikit, seakan menekannya pada dada Xu Hao. Namun tubuh Xu Hao tetap tegap, tak bergeming. Sorot matanya yang dingin membuat kedua prajurit itu sejenak kehilangan kata-kata.

Tiba-tiba, langkah berat terdengar dari belakang. Seorang pria berpakaian penjaga, namun dengan zirah yang lebih lengkap dan lambang emas di dada, berjalan mendekat. Wajahnya tegas, alis tebal, dan sorot matanya tajam. Jelas tingkatannya lebih tinggi dari dua prajurit biasa itu.

“Apa yang terjadi di sini?” tanyanya dengan suara berat.

Kedua prajurit segera berdiri lebih tegak.

“Komandan! Orang ini mencoba masuk tanpa izin. Mengaku dari pegunungan dan tidak tahu peraturan kota. Kami pikir—”

Namun sebelum kalimat itu selesai, pria berzirah emas itu menatap Xu Hao dalam-dalam. Sorot matanya seperti pisau yang mampu menembus hati seseorang. Xu Hao menatap balik tanpa gentar. Sejenak suasana tegang, hingga akhirnya pria itu menghela napas pendek.

“Biarkan dia masuk. Kota Fengyu tidak menolak pendatang. Selama dia tidak membuat keributan, keberadaannya bukan masalah.”

Kedua prajurit saling pandang, jelas tidak setuju.

“Tapi Komandan...”

Tatapan tajam pria itu langsung menusuk mereka. Seolah hanya dengan pandangan, ia menekan keberanian mereka hingga habis. Kedua prajurit pun menelan ludah, lalu mengangguk cepat.

“Ba… baik, Komandan.”

Dengan itu, Xu Hao akhirnya diperbolehkan masuk. Ia melangkah melewati gerbang besar, memasuki hiruk pikuk kota Fengyu. Sorak pedagang, bau makanan panggang, suara alat musik jalanan, dan percakapan ramai langsung memenuhi telinganya.

Xu Hao melangkah perlahan, matanya mengamati setiap sudut. Dalam hatinya ia berbisik, “Langkah pertama… aku harus menjual tanaman spiritual ini. Setelah itu, aku akan membeli pedang terbang. Dengan begitu, jalanku tidak lagi akan terhambat.”

1
Nanik S
Ditunggu upnya tor 🙏🙏🙏
Nanik S
Huo... nekat benar memberi pelajaran pada Pria Tu
Nanik S
apakah mereka bertiga akan masuk bersama
Nanik S
Huo memang Urakan.... memang benar yang lebih Tua harus dipanggil senior
Nanik S
Lha Dau Jiwa sudah dijual
YAKARO: itu cuma tanaman obat kak. bukan jiwa beneran
total 1 replies
Nanik S
Inti Jiwa...
Nanik S
Lanjutkan makin seru Tor
Nanik S
Lanjutkan Tor
Nanik S
Makan Banyak... seperti balas dendam saja Huo
Nanik S
Pil Jangan dijual kasihkan Paman Cuyo saja
Nanik S
Mau dijual dipasar tanaman Langkanya
Nanik S
Lanjutkan
Nanik S
Ceritanya bagus... seorang diri penuh perjuangan
Nanik S
Cerdik demi menyelamatkan diri
Nanik S
Baru keren... seritanya mulai Hidup
YAKARO: Yap, Thanks you/Smile/
total 1 replies
Nanik S
Mungkin karena Xu Hai telah byk mengalami yang hampir merebut nyawanya
Ismaeni
ganti judul yaa thor?
YAKARO: enggak. Hidup Bersama Duka itu awalnya judul pertama pas masih satu bab, terus di ubah jadi Immortality Though Suffering. malah sekarang di ganti sama pihak Noveltoon ke semula.
total 1 replies
Nanik S
Xu Hai... jangan hanya jadi Penonton
Nanik S
Sebenarnya siapa Pak Tua yang menyelamatkan Hao
YAKARO: Hmm, saya juga penasaran/Proud/
total 1 replies
Nanik S
untung ada yang menolong Xu Hai
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!