Damian, duda muda yang masih perjaka, dikenal dingin dan sulit didekati. Hidupnya tenang… sampai seorang cewek cantik, centil, dan jahil hadir kembali mengusik kesehariannya. Dengan senyum manis dan tingkah 'cegil'-nya, ia terus menguji batas kesabaran Damian.
Tapi, sampai kapan pria itu bisa bertahan tanpa jatuh ke dalam pesonanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecewa
[BEBERAPA HARI KEMUDIAN]
"Dami... apa kamu sibuk?" tanya Bella, dari sambungan telepon.
Damian melirik ke arah pintu kamar mandi, memastikan Aletha masih di dalam sana. "Ya, lumayan sibuk. Ada apa?"
"Aku baru kembali dari rumah sakit kemarin. Aku nunggu kamu datang menjenguk, tapi kamu gak pernah datang. Apa kamu marah?"
"Aku gak marah. Gak ada alasan juga untuk aku marah sama kamu. Hanya saja, aku memang sibuk," jawab Damian datar.
"Apa kamu... gak bisa datang kemari?"
"Untuk apa?"
"Emm... Aku kangen, Dami."
Damian terdiam selama beberapa saat. Bella masih saja mengatakan itu padanya, padahal setelah tahu Aletha cemburu, ia meminta Bella agar tak menghubunginya lagi. Tapi Bella... dia tetap saja menghubungi Damian bahkan tak ragu mengatakan rindu padanya.
Damian menghela napas pendek dan berkata, "Bella... aku sudah bilang kalau... aku gak bisa menemui kami lagi. Dan aku sudah meminta kamu untuk tidak menghubungi aku lagi. Kenapa kamu masih melakukannya?"
"Aku sudah menikah lagi, Bel... Aku ingin menghargai perasaan istriku. Bisakah kamu menghormati keputusanku?" Damian menahan rasa jengkelnya.
"Tapi aku gak akan macam-macam, Dami... Aku hanya ingin kamu datang dan menemani aku sebagai teman, gak lebih. Aku gak berniat merebut kamu dari Aletha, percayalah..."
"Ya, aku tahu. Aku juga gak memikirkan sejauh itu. Tapi tetap saja, aku gak bisa, Bella. Aku gak mau menyakiti Aletha, hanya karena aku selalu lebih peduli kamu daripada dirinya."
"Dami... aku cuma ingin mencoba untuk bisa menyukai pria. Aku ingin jadi wanita yang normal. Kenapa kamu gak mau membantuku?" Bella mulai terisak.
"Kalau kamu mau mencoba menyukai laki-laki dan menjadi wanita yang normal, kamu bisa cari laki-laki lain. Yang jelas, masih single dan tidak memiliki istri. Jangan aku... karena aku sudah menikah."
"Tapi Dami..."
Klik.
Damian memutus sambungan teleponnya sepihak, tanpa menunggu Bella menyelesaikan kalimatnya.
Ia sudah cukup kesal. Bella selalu menghubungi setiap hari, namun selalu ia abaikan. Damian hanya tidak mau, Aletha merasa dirinya masih memiliki rasa pada wanita itu.
Damian menyimpan ponselnya dan duduk di tepi ranjang, mengurut kepalanya yang terasa sedikit pusing akibat memikirkan Bella yang selalu mengganggu.
Tak lama berselang, pintu kamar mandi terbuka, spontan Damian menoleh. Aletha keluar dari kamar mandi dengan memakai piyama lengkap dan rambutnya digulung memakai handuk kecil, pertanda ia baru saja keramas.
Seulas senyum terukir di bibir Damian. Jelas menunjukkan bahwa ia senang melihat istrinya sudah selesai menstruasi.
Aletha menoleh pada Damian dan tersenyum malu. Damian balas tersenyum dan menunggu dengan tak sabar di tempatnya. Aletha berjalan mendekat, kemudian berdiri di hadapan suaminya.
"Kamu kelihatannya baru habis keramas. Apa haidnya udah selesai?" tanya Damian, terlihat senang.
Aletha mengangguk pelan. "Udah selesai, udah mandi juga, tapi..."
Damian menarik tangan Aletha, hingga wanita itu duduk di pangkuannya. Damian kemudian tanpa aba-aba langsung mendaratkan ciuman di bibir Aletha, seolah sangat tak sabar untuk mendapatkan haknya yang selama ini tertahan.
Aletha berusaha melepaskan diri, tapi tangan Damian masuk ke dalam piyamanya dan mengusap punggung Aletha lembut. Napas pria itu juga mulai terdengar memburu, pertanda nafsu Damian tidak bisa ditahan lagi.
Damian menurunkan kecupannya, bergeser ke leher Aletha. Namun sebelum bibirnya sempat menyentuh kulit istrinya, Aletha buru-buru mendorong dada Damian hingga pria itu terbaring di atas ranjang.
Damian menatapnya dengan napas terengah, keningnya berkerut tak paham. "Kenapa, Al? katanya, aku boleh membuktikan kalau aku bukan gay setelah kamu selesai haid."
Aletha menggigit bibir, tampak canggung. "Iya, tapi... aku... aku gak bisa, Dam."
"Kenapa gak bisa? Kamu bilang tadi udah selesai, kan? Jangan cari alasan lagi, Al. Aku sangat menunggu malam ini tiba sejak malam itu," suara Damian mulai terdengar tak sabar.
Aletha menunduk. Dengan ragu ia berkata, "Tadi memang udah selesai... makanya aku keramas. Tapi baru aja... mendadak datang lagi. Jadi aku belum benar-benar selesai."
Aletha nyengir, tapi sebenarnya ia sangat malu, seolah memberikan harapan palsu pada Damian.
"Bokong," sahut Damian, tak percaya. "Kamu sengaja kan ngomong kayak gitu, biar aku nggak minta hak aku malam ini?"
Aletha dengan cepat menggeleng. "Nggak gitu, aku serius. Haidnya belum benar-benar selesai. Namanya juga baru beberapa hari, kan biasanya aku haid itu 6 sampai 7 hari."
"Kamu gak bohong?"
"Sama sekali nggak, Dam. Ngapain aku bohong? Kan, aku yang dari dulu suka sama kamu. Gak mungkin aku bohong cuma buat menghindari kamu meminta hak, dan aku juga udah jelas gak bakal nolak."
Damian terdiam sesaat, matanya menutup rapat, lalu ia mendengus kesal. Ia membalikkan tubuhnya begitu saja, lalu menelungkup di ranjang. Tangannya meraih bantal dan memukulinya berkali-kali, sebagai penyaluran emosinya yang tertahan.
"Arrrghhh... kenapa harus sekarang?!" gumamnya frustasi.
"Shit! Sial, sial, sial!" Ia terus mengumpat, kekesalannya membuat Damian ingin marah-marah.
Aletha hanya bisa menatapnya dengan wajah bersalah, tapi juga merasa lucu melihat tingkah Damian saat ini. Ia tahu Damian begitu menantikan momen itu, tetapi tubuhnya tak mendukung. Perlahan Aletha menyentuh punggung suaminya, mencoba menenangkan.
"Dami... maafin aku, ya," ucapnya lembut.
Damian tak menjawab, masih menelungkup dengan punggung tegang. Namun genggaman tangan Aletha di punggungnya sedikit demi sedikit membuat emosi itu mereda.
"Aku juga nggak nyangka kalau bakalan kayak gini jadinya. Padahal, tadi aku sudah seneng banget loh karena haidnya udah berhenti, eh malah ada lagi darahnya," ujar Aletha, berusaha membuat suaminya itu tenang.
Damian masih diam, masih berusaha meredakan emosinya supaya tak menyakiti Aletha. Ia tahu, Aletha tak salah, semua terjadi karena memang kehendak Tuhan. Tapi tetap saja, Damian kesal.
"Dam..." Aletha mengusap punggung Damian dengan lembut. Ia takut Damian marah dan kecewa berat.
Damian menghela napas, lalu berbalik dan menatap Aletha dalam posisi telentang. "Udah, gak apa-apa. Bukan salah kamu juga," ucapnya, datar.
"Tapi kalau kamunya kayak gini, aku juga jadi nggak tenang," jawab Aletha. "Aku ngerasa bersalah."
"Mau gimana lagi? Meskipun aku sangat ingin, tapi aku nggak bisa memaksa kamu, karena memang yang jadi penghalang saat ini adalah sesuatu yang gak bisa dilanggar."
Aletha menatap mata suaminya. "Maaf..."
Damian bangkit, duduk dan mengacak rambutnya seolah frustasi. "Kalau gitu, aku mau keluar dulu. Mau cari udara segar."
Damian turun dari ranjangnya dan hendak pergi, tapi Aletha menahan tangan pria itu.
"Mau ke mana?"
"Mau ke bar," jawabnya datar.
"Mau minum-minum?"
"Aku bukan pecandu alkohol. Aku bahkan gak pernah minum-minuman keras. Aku ke sana cuma buat cari hiburan aja, mungkin aku bisa melupakan kejadian ini dengan kebisingan di sana." Damian menatap istrinya sekilas, lalu berbalik hendak melangkah keluar.
Aletha buru-buru menggenggam tangannya lebih erat. "Kalau gitu... aku ikut."
Damian menoleh cepat. "Ngapain kamu ikut? Bar bukan tempat yang cocok buat kamu, Al. Kamu itu gadis rumahan, gak akan suka di tempat kayak gitu."
"Kata siapa? Aku pernah masuk bar kok, beberapa kali. Kamu aja yang gak tahu," sahut Aletha, berbohong.
Dirinya bahkan tak pernah tahu seperti apa sebenarnya suasana di dalam bar selain yang pernah ia lihat di film-film.
"Gak usah bohong," ucap Damian, "aku tahu kamu gak pernah masuk tempat begituan. Kamu kira aku bodoh? Aku sangat tahu siapa kamu, Aletha." Damian bersikap seolah-olah paling tahu Aletha dalam hidupnya.
Aletha mendesah pelan, pasrah ketahuan bohong, tapi matanya memohon. "Oke, aku bohong. Tapi, aku gak mau kamu pergi sendirian. Aku tahu kamu kecewa sama aku. Aku cuma gak mau kamu malah tambah kesal sendirian di sana. Biar aku bisa nemenin."
Damian menghela napas panjang, lalu menunduk, jelas menimbang-nimbang. "Al..." suaranya pelan, "Aku ke sana cuma buat ngilangin suntuk, bukan buat cari cewek lain yang bisa menghibur aku. Lagian, kamu baru aja keramas dan udah pakai piyama, masa harus ganti baju lagi malam-malam begini?"
"Lebih baik kamu tidur, biar kamu juga gak bosan saat aku pergi," tambahnya.
"Nggak mau, Dam," tolak Aletha. "Aku tetap mau ikut!"
Kali ini, Aletha memaksa dengan tegas.
Damian mendesah. Aletha menyebalkan di situasi seperti ini. Namun ia juga tak mau meninggalkan Aletha sendirian dalam perasaan bersalah.
Aletha menatapnya dengan tatapan bersalah bercampur manja. "Boleh ya?"
"Kalau boleh, aku mau ganti baju dan dandan sebentar aja. Please, Dam... jangan tinggalin aku sendirian di rumah. Aku bakal ngerasa makin bersalah."
Damian terdiam. Rasa ingin menolak masih ada, tapi melihat wajah istrinya yang benar-benar tampak bersalah sekaligus takut ditinggal, membuatnya luluh. Ia menghela napas pasrah. "Ya sudah... boleh."
Seketika senyum lebar merekah di wajah Aletha. "Beneran?!" serunya dengan mata berbinar.
Damian mengangguk kecil, meski wajahnya masih muram. "Iya. Cepetan ganti baju, jangan lama, atau aku tinggalin."
"Oke!"
Aletha nyaris melompat kegirangan. Ia buru-buru masuk ke ruang ganti dengan langkah ringan, senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Dalam hati, ia bersyukur Damian mau mengajaknya serta, meski awalnya ditolak.
Damian hanya bisa menggeleng sambil tersenyum tipis melihat tingkah istrinya itu. Meski hatinya masih kecewa, setidaknya Aletha berhasil sedikit mencairkan suasana.
Damian juga gegas bersiap. Ia hanya mengenakan celana jeans, kaos pendek dan jaket kulit. Ia berdandan kasual, enggan terlalu mencolok.
Aletha keluar dari ruang ganti dengan dandanan sederhana, namun tetap cantik di mata Damian. Ia mengenakan celana jeans ketat warna hitam, atasan putih dengan jaket tipis berwarna krem, dan rambut yang masih sedikit basah ia biarkan tergerai. Wajahnya hanya diberi polesan tipis, sekadar lipstik dan bedak, tapi senyum lebarnya membuat aura Aletha tampak begitu cerah.
"Udah siap!" katanya riang, sambil berputar kecil di hadapan suaminya.
Damian menghela napas, separuh kesal, separuh takjub. "Aku bilang jangan lama, Al. Ini udah lebih dari sepuluh menit."
"Tapi lihat dong," Aletha tersenyum lebar, "aku kan harus tampil sedikit keren biar gak kelihatan norak kalau masuk bar."
Damian menatap istrinya dari atas sampai bawah, lalu mendengus pelan. "Kamu gak perlu repot. Mau keren atau enggak, tetap aja kamu kelihatan kayak gadis baik-baik yang nyasar ke tempat salah."
Aletha manyun, tangannya menyilang di dada. "Halah, yang penting aku ikut nemenin kamu. Aku gak peduli kalau kelihatan nyasar sekalipun."
Melihat wajah istrinya yang merajuk, Damian akhirnya tersenyum tipis. Ia meraih tangan Aletha, menggenggamnya erat. "Ya sudah, ayo sebelum aku berubah pikiran."
Aletha langsung menegakkan tubuh, senyumnya kembali merekah. "Siap, Bos!"
Mereka keluar rumah bersama. Damian menuntun Aletha menuju mobilnya, lalu membukakan pintu untuk istrinya sebelum ia sendiri masuk ke kursi kemudi.
*****
Di perjalanan, suasana sempat hening. Hanya suara mesin mobil dan musik pelan dari radio yang terdengar. Aletha sesekali melirik Damian, tampak masih muram meski lebih tenang dibanding tadi.
"Dam..." Aletha akhirnya membuka suara. "Kamu masih marah ya sama aku?"
Damian menoleh sebentar lalu kembali menatap jalan. "Aku gak marah, Al. Aku cuma kecewa. Bedanya jauh."
Aletha menggigit bibir, lalu mendekatkan tangannya untuk menggenggam lengan Damian. "Aku bener-bener gak bermaksud bikin kamu kecewa. Aku juga pengen kok... cuma ya, keadaannya gak mendukung."
Damian mendesah panjang, lalu menoleh sekilas ke arah Aletha. "Aku tahu. Makanya aku gak marah. Cuma... rasanya kayak udah lama banget aku nahan, dan waktu kesempatan itu datang, malah hilang lagi."
Aletha menunduk, lalu tersenyum kecil. "Kalau gitu, nanti setelah benar-benar selesai... aku janji gak bakal nolak kamu lagi."
Damian terdiam beberapa saat, lalu sudut bibirnya terangkat tipis. "Jangan sampai janji ini jadi PHP lagi."
Aletha tertawa pelan. "Aku serius, Dam. Beneran."
Suasana di dalam mobil mulai mencair. Meski masih ada sisa kekecewaan, Damian merasa hatinya sedikit lebih ringan karena Aletha menunjukkan ketulusan.
_________
Tak lama kemudian, mobil mereka berhenti di depan sebuah bar cukup terkenal di pusat kota. Lampu neon warna-warni menyala terang, musik berdentum dari dalam, dan suasana malam itu ramai dengan orang-orang yang keluar masuk.
Aletha menelan ludah, agak gugup melihat suasana nyata bar yang ternyata jauh lebih riuh daripada yang ia bayangkan dari film-film. Damian melirik istrinya sekilas, menyadari kegugupannya.
"Ayo," ucap Damian singkat, lalu turun dari mobil. Ia menghampiri sisi Aletha, membukakan pintu, dan menggenggam tangan istrinya erat.
"Pegangan terus sama aku. Kalau ada yang macam-macam, biar aku yang urus," katanya tegas.
Aletha menatap suaminya, senyum kecil mengembang. "Oke, Dam."
Mereka pun melangkah masuk ke dalam bar, menembus keramaian dan dentuman musik yang memekakkan telinga.
BERSAMBUNG...
ini si Bella kok nggak kapok kapok sih, padahal udah ditolak Damian tapi Damian kurang tegas juga sama Bella
harusnya Damian lebih tegas kalo perlu nomer Bella diblokir
padahal Damian sudah menemukan pelabuhannya
selesaikan dulu masa lalumu dam
kamu harus menggunakannya cara yang lebih licik tapi elegan untuk menjaga Damian yang sudah jadi milikmu