Jika ada yang meniru cerita dan penggambaran dalam novel ini, maka dia plagiat!
Kali ini Author mengangkat ilmu hitam dari Suku Melayu, kita akan berkeliling nusantara, Yuk, kepoin semua karya Author...
"Jangan makan dan minum sembarangan, jika kau tak ingin mati secara mengenaskan. Dia menyusup dalam diam, membunuh secara perlahan."
Kisah delapan mahasiswa yang melakukan KKN didesa Pahang. Bahkan desa itu belum pernah mereka dengar sebelumnya.
Beberapa warga mengingatkan, agar mereka jangan makan suguhan sembarangan, jika tak ingin mati.mengenaskan...
Apa yang menjadi misteri dari desa tersebut?
Apakah kedelapan Mahasiswa itu dapat selamat?
ikuti kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lelah
Yayuk dan juga Yuli berjalan menuju mushola. Suasana terlihat cukup sepi. namun , saat mereka melintasi sebuah rumah panggung yang berukuran cukup besar, seorang pria tua dengan uban yang hampir memenuhi rambutnya, terlihat sedang memperhatikan keduanya.
Yuli dan Yayuk menganggukkan kepalanya. "Pagi, Pak." sapa keduanya. Namun, pria itu hanya menatap.dingin. Tidak terlihat sebuah keramahan diraut wajahnya.
Kedua mahasiswa itu hanya saling pandang, merasa sangat sungkan, ketika sapaan mereka tidak terbalas dengan ramah.
Keduanya berjalan menyusuri desa. Terlihat beberapa para wanita yang berkerudung sedang berbelanja pada sebuah warung kecil, dan mereka tersenyum ramah. Sangat berbeda dengan pria tua tersebut.
Mereka tiba didepan mushola. Lalu mulai membuat kegiatan dan merapikan tempat ibadah yang sudah sangat terbengkalai itu.
Hal itu menandakan, jika mushola itu tidak pernah digunakan sama sekali.
Seorang pria sepuh datang menghampiri mereka. Ia menatap kegiatan keduanya dari jarak yang cukup dekat. Yayuk menghampirinya. "Pagi, Pak. Kami ijin untuk memakai musholanya, ya, Pak. Soalnya ada kegiatan untuk mengajar anak-anak sini sekitar dua bulan saja," ucapnya dengan sangat sopan. Ia takut membuat ketersinggungan pria itu.
Pria bernama Hasyim itu hanya mengulas senyum ramah. Dulu mushola ini pernah hidup. Ada banyak para ulama lahir disini, tetapi mereka pergi ke kota, memilih menjadi tenaga pengajar dipesantren dan juga madrasah." ucapnya dengan raut wajah kesedihan.
"Mereka tak pernah kembali. Desa ini kembali sepi, seolah kehilangan cahayanya," keluh pria tersebut.
Yayuk dan juga Yuli saling pandang. Keduanya merasakan apa yang menjadi ketakutan dari pria itu. Ia takut, jika cahaya agama akan menghilang dari generasi berikutnya.
"Apakah tidak ada yang mau tinggal disini untuk generasi mudanya, Pak?" tanya Yuli hati-hati.
Pria itu duduk dilantai mushola, dan tarikan nafasnya terdengar sangat berat. Ada beban perasaan yang sedang disimpannya sejak lama.
"Mereka tidak ingin tinggal dikampung ini. Selain tudak berpenghasilan sebagai pendakwah, mereka ingin merubah hidup dan tidak hanya berkutat dikampung halamannya." ia menarik kembali nafasnya yang terasa berat.
"Namun, ilmu mereka juga dibutuhkan disini, bukan tentang sekedar masalah ekonomi, tapi juga sebuah kepedulian. Bukankah Allah sendiri menjanjikan, jika Kamu menolong agamanya, maka ia akan membuka pintu rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka." pria itu menatap keduanya, dengan sebuah harapan yang hampir sirna.
"Semoga suatu kelak ada generasi muda yang mengabdikan dirinya untuk desa ini, ya. Pak. Agar mushola ini hidup kembali," ucapnya dengan memberikan harapan pada sang pria.
"Jangan panggil saya bapak. Panggil saja Atok Hasyim." ucapanya dengan tenang. Ia terlihat sangat ramah, berbeda dengan pria tua yang tadi mereka temui diawal.
"Atok permisi pulang, rumah saya yang ada didekat pohon kelapa itu." tunjuknya pada sebuah rumah yang sudah semi permanen. Dimana dinding bagian bawahnya sudah terbuat dari batu, dan setengahnya dari papan kelapa.
"Malam nanti Atok ada buat acara kirim doa untuk almarhum istri saya, kalian datang, ya. Beri tahu teman yang lainnya." ia beranjak dari tempatnya, dan berdiri dengan tarikan nafas yang terasa berat.
"Iya, Tok. Insya Allah kami datang. Kalau boleh tahu, acaranya selepas apa, ya?" Yayuk mempertanyakan waktu undangannya.
"Oh, iya. Saya lupa. Selepas isya acaranya," ia menegaskan undangannya. Lalu berpamitan untuk pergi.
"Gimana, Nih? Apakah kita datang? Mau ditolak segan, diiyain takut kena...," Yuli menghentikan ucapannya, dan memilih diam saat melihat Kiky yang berjalan dengan langkah lemahnya.
Tak berselang lama. Kiky tiba didalam mushola. Ia menyapa keduanya dengan senyum yang sangat tipis, seolah ada beban masalah yang sedang dihadapinya.
"Ki, kamu sehat?" tanya Yayuk dengan nada hati-hati. Ia merasa khawatir saat melihat wajah pucat sahabat mereka.
"Gak apa-apa, Kok." ia tersenyum datar. Lalu menurunkan tas ranselnya. Ia mengeluarkan beberpa lembar kertas HVS yang sudah dicetaknya dengan berbagai gambar dan bentuk. Hal itu akan digunakan untuk media pembelajaran nantinya.
Yayuk dan Yuli memandanginya. Ada rasa janggal dengan sikap Kiky. Bukankah ia gadis yang ceria? Lalu mengapa tiba-tiba pendiam?
"Ki? Kamu beneran tidak apa-apa? Kalau sakit istirahat dirumah saja, untuk masalah ini, biar kami yang urus," ujar Yayuk. Ia seperti melihat, jika gadis itu seperti sangat lemah.
"Gak apa-apa, kok. Aku masih kuat."jawabnya dengan berusaha tersenyum, terlihat dipaksakan.
Yuli dan Yayuk akhirnya mengalah. Mungkin benar, jika Kiky dalam keadaan baik-baik saja. Keduanya melanjutkan pekerjaan mereka, seperti membuat papan tulis dan sebagainya.
Sedangkan untuk Kiky, ia terlihat masih sibuk menempelkan beberapa gambar penting. Seperti tata cara berwudhu, tata cara shalat, dan sebagainya.
Dimenit berikutnya. Ia merasakan punggungnya sangat sakit. Lalu rasa lelah yang cukup kuat, dan dadanya terasa sangat sesak.
Ia berhenti sejenak, lalu melirik ke arah dua rekannya yang sibuk dengan pekerjaannya.
Ia menghampiri keduanya. " Kak, aku pulang duluan, ya. Kepalaku sedikit pusing," ucapnya dengan menahan sesak didadanya. Ia seolah kesulitan untuk bernafas.
Yayuk melihat wajah Kiky benar-benar pucat. Ia merasa sangat khawatir.
"Kamu sakit, ya? Kita ke dokter, ya?" saran Yuli dengan perasaan yang was was.
"Gak, Kak... Alu cuma kecapean saja." ujarnya. Lalu berjalan dengan langkah yang lemah. Setiap perjalanan dua puluh meter, ia berhenti sejenak, lalu mengambil nafasnya dengan beratt, kemudian melanjutkan lagi perjalananya.
Sementara itu, Yudi, Fitri dan Emy sudah tiba ditempat Atok Adi. Mereka disambut ramah oleh beliau, apalagi menjadi penyewa rumahnya.
"Tok, apakah ada lagi yang me jadi ketua adat dikampung ini?" Yudi dengan sopan. Ia harua mencatatatnya juga.
"Ada, Atok Hasyim, rumahnya dekat mushola" tunjuknya ke arah luar.
Yudi mengikuti arah telunjuk tersebut, dan hanya ujung atap mushola yang terlihat.
"Kalau atok yang sering pakai sarung kotak-kota dan berpakaian hitam itu, apakah termasuk sesepuh disini juga?" tanya Yudi dengan rasa penasaran. Sebab malam tadi tak mendapatkan senyum balasan.
Tiba-tiba saja pria itu menatap dingin pada sang pemuda. "Jangan.pernah berurusan dengannya. Dan usahakan untuk menghindar saja," sarannya pada para pemuda dan pemudi itu.
"Memangnya kenapa dengan atok itu?" Fitri menjejalkan pertanyaan tersebut, karena ia cukup penasaran.
"Saya tidak dapat jelaskan secara gamblang. Namun ada rumor ia memiliki ilmu Racun Santau, dan siapa yang terkena racunnya, maka bersiaplah untuk muntah darah," pria itu menjelaskan sedikitnya saja.
Ketiganya kembali tercengang. Mereka sudah mendengar cerita itu dari Darmasi barusan.
Dan saat sekarang, mereka mendengar pria sepuh itu sendiri yang bercerita. Hal itu membuat mereka meyakini, jika racun santau itu benar adanya.
knp bisa seoerti itu sih ya kk siti
ada penjelasnya ga yaaa
hiiiiii
tambahin lagi dong ka interaksi darmadi sama andana entah kenapa jiwa mak comblang ku meronta saat mereka bersama
ada apa ini knp bisa jd begitu
hemmm ... beneran nih ya... kebangetan...