Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.
Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.
Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.
Lantas, dapat kah Lania mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Cadangan
Pagi itu, cahaya matahari menembus langsung ke apartemen Adisty, tetapi tak mampu menghangatkan suasana. Telepon di tangannya baru saja dimatikan—kabar dari resepsionis kantor Sagara membuatnya kehilangan fokus.
Sagara tidak masuk kantor. Tidak ada pemberitahuan. Tidak ada alasan.
Adisty berdiri di tengah ruang tamu, mengenakan gaun santai berwarna krem, kaki telanjangnya mondar-mandir di atas karpet bulu abu-abu. Tangannya berkali-kali menyisir rambutnya ke belakang, mengigit pelan ujung kuku.
“Ke mana dia?” gumamnya pelan, kesal dan cemas campur aduk. Jadi apa yang Sagara lakukan saat ini.
Dia berjalan ke dapur, menuang segelas jus jeruk, belum sempat diminum, gelas itu sudah diletakkan begitu saja. Kembali, dia berjalan ke arah jendela, menatap pemandangan kota dari lantai tinggi. Mobil-mobil kecil bergerak seperti semut di bawah sana, tetapi pikirannya hanya terpusat pada satu orang.
Adisty lalu meraih ponselnya, mencoba menghubungi nomor Sagara. Nada sambung terdengar, sengaja tak dijawab. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Jelas-jelas terabaikan, dia menggeleng muram.
Rasa frustrasi memuncak, dia menendang kursi bar dapur sampai terguling. “Jangan-jangan dia… sama Lania?” pikirnya bersama napas yang memburu.
Pandangan Adisty lalu jatuh pada gaun yang tergeletak di sofa—gaun yang kemarin dia pilih bersama Tegar. Rencana tidak boleh gagal di tengah jalan.
Dengan langkah cepat, dia menuju meja, membuka laci paling bawah, mengeluarkan sebuah ponsel kecil dengan kartu SIM berbeda. Jemarinya mengetik pesan singkat pada seseorang yang selama ini jadi tangan kanannya.
“Cari tahu dia di mana. Sekarang.”
Pesan terkirim. Adisty duduk di tepi sofa, lututnya goyah. Dia benci perasaan ini—tidak tahu posisi Sagara, tidak bisa mengendalikan jalan cerita.
Dan entah kenapa, di sudut pikiran, ada rasa takut yang aneh, seolah-olah Sagara sedang mempermainkannya. Adisty menolak keras perlakuan semena-mena pria itu. Dia akan menemukan Sagara bagaimana pun.
Ponsel rahasia Adisty bergetar di atas meja kaca. tanpa buang waktu langsung meraihnya, nyaris menjatuhkan gelas jus jeruk yang baru disentuh. Inisial orang suruhannya terpampang di layar.
“Halo?” suaranya dingin dan cepat.
Suara berat di seberang menjawab, “Target terpantau di Semarang. Saat ini berada di sebuah hotel.”
Adisty terdiam sepersekian detik, jantungnya menghentak keras. “Hotel?” nadanya seketika berubah tajam. Duduk serampangan di atas kursi bar lainnya.
“Ya. Check-in berdua. Perempuan itu sepertinya istrinya. Informan saya bilang, mereka baru masuk hotel tengah malam.”
Geram oleh situasi yang terjadi, Adisty melangkah ke jendela, menatap kota di bawah sana, tetapi yang dilihat hanya bayangan Sagara bersama Lania di kamar hotel. Tangannya mengepal di sisi tubuh. “Kamar berapa?” tanyanya cepat.
“Lantai tujuh, nomor 714. Mau saya kirim foto-fotonya nanti.”
“Ya, kerjakan.”
Tak lama, notifikasi masuk. Adisty membuka foto itu—Sagara dan Lania tampak berdiri di balkon, Sagara memegang pinggiran pagar pembatas. Posisi mereka di foto itu tampak mesra, Lania berdiri tepat di depan Sagara, diapit lengan-lengan kokoh—hidung bersentuhan tanpa jarak.
Giginya terkatup rapat. “Terus awasi mereka. Jangan lepas pandangan sedetik pun. Aku mau laporan tiap jam.”
“Siap.” Sambungan terputus.
Adisty menatap layar ponselnya lama, napasnya naik turun. Di dalam kepalanya, dia sudah menyusun langkah. Jika bisa memanfaatkan momen ini, akan memelintir cerita—membuat Sagara terlihat seperti menginap di hotel bersama perempuan lain, tanpa semua orang tahu bahwa perempuan itu adalah istrinya.
Namun, itu tidak mungkin bagaimana dengan rencana sebelumnya—Sagara memintanya untuk mempersiapkan pernikahan, tetapi kini justru menghabiskan waktu berdua bersama Lania.
Kalau tersebar berita Sagara berselingkuh dengan wanita lain, bukan hanya Lania yang malu, dia juga akan dalam masalah.
Dia berjalan menuju kamar dan ke meja rias, meraih lipstik merah tua, mengoleskannya perlahan sambil menatap cermin. “Baiklah, Sagara… kau mau main di belakangku? Aku akan pastikan semua orang tahu… versiku. Kamu tidak tahu bahwa kejadian di hotel waktu itu direkam.”
Ketika membuka pintu apartemen, Adisty dibuat terkejut dengan kedatangan Tegar. Pria itu tampak lebih modis dalam balutan kaos polos hitam dan jaket parasut warna marun.
“Ayo!” katanya.
Alis Adisty hampir menyatu saat mengerutkan kening.
“Lupa?”
“Apa?” ucap Adisty bingung sesaat, hingga... “oh ya ampun, hari ini kita harus menemui beberapa wedding organizer.”
“Memang kamu udah rapi gini mau ke mana?”
“Semarang.”
“Semarang, ngapain?” tanya Tegar kaget tanpa ditutup-tutupi.
“Sagara dan Lania ada di sana, mereka seperti pergi bulan madu, Gaaarrr!” teriak Adisty bagai orang gila, sembari bersandar lemah pada tembok. “Aku akan menunjukkan video saat di luar kota, biar Lania tau!”
“Tenangkan dirimu, Dis. Anggap itu acara perpisahan Lania dan Sagara, bukankah Sagara bilang akan menikahi kamu?”
“Iya, tapi kenapa tidak datang menemuiku dan mempersiapkan pernikahan bersama? Kenapa, Gar?”
Tegar menatap Adisty lama, seakan mencoba menembus lapisan emosi yang bergulung-gulung di balik tatapan matanya. Napasnya berat, tapi ia tetap berusaha terdengar tenang.
“Karena dia… masih punya Lania,” jawab Tegar datar. Dia tidak sepenuhnya mendukung tindakan Adisty, tetapi juga tak bisa melihat wanita ini bersedih. “Kamu harus berhati-hati. Kalau gegabah, semua bisa berantakan.”
Adisty menggigit bibir, matanya berkaca-kaca tapi suaranya meninggi. “Aku sudah cukup pintar, Gar! Tapi lihat apa yang dia lakukan? Dia malah pergi berduaan ke luar kota dengan perempuan itu! Kamu mau aku diem aja?!”
“Justru sekarang kamu harus pura-pura tidak peduli. Biar dia lengah. Kalau kamu meledak-ledak, dia akan mundur,” papar Tegar sembari melangkah lebih dekat, menunduk sedikit agar sejajar dengan wajah Adisty.
Seketika, Adisty mengusap wajahnya kasar, lalu menghindari tatapan Tegar. Dia berjalan masuk mondar-mandir di ruang tamu apartemen. “Aku tidak mau menunggu. Aku mau Lania hancur sekarang.”
Tegar menarik napas dalam, lalu tersenyum tipis—senyum yang lebih mirip peringatan. “Kalau begitu, jangan cuma kirim video. Kita buat Lania percaya kalau Sagara bukan cuma pergi dalam rangka urusan bisnis … tapi juga pengkhianat yang disengaja.”
Tatapan berubah, seperti singa betina yang baru saja melihat mangsa. Adisty menghentikan langkah. “Kamu punya rencana, kan?”
Tegar hanya mengangkat bahu. “Aku selalu punya rencana cadangan.”
Mata Adisty menyipit, bibirnya perlahan melengkung. “Kalau begitu… kita mulai sekarang.”
“Tidak. Sekarang kita harus menemui wedding organizer.”
“Sagara berpesan, tidak usah terlalu mewah, Gar. Dia ingin mengadakan pesta pernikahan bersama keluarga inti aja.”
“Meski gitu, kita butuh ahlinya untuk mengatur acara,” jelas Tegar, menarik lembut lengan Adisty menuju pintu keluar, “setelahnya kita bisa party sebentar, biar tidak terlalu stres. Oke” Jari telunjuk dan jempol Tegar membentuk huruf 'O'.
,, membangun konflik dn dialog itu gk mudah loh 🤧🤧 tpi ini bagus 👍