Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.
hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.
selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33. Merubah Yang Tak Bisa Dirubah
Hujan lagi di Sabtu pagi, setelah semalaman juga hujan mengguyur deras. Membuat Karina malas beranjak dari peraduannya. Mengenakan baju tidur panjang lengkap dengan kaus kaki, membuatnya hangat dan nyaman terhindar dari udara dingin yang membersamai hujan sejak semalam. Sepertinya musim hujan tahun ini datang lebih cepat.
Karina meraih ponselnya dari atas meja di samping ranjangnya. Dengan mata yang baru sedikit terbuka, ia mengintip layar ponsel untuk melihat jam. 07.12 WIB.
Ah, masih terlalu pagi untuknya bangun di hari libur ini.
Ia letakan lagi ponsel itu di samping bantalnya, lalu kembali meringkuk ke dalam selimut. Berharap untuk bisa kembali terlelap.
Ah, ternyata tidak. Pikirannya kembali melayang-layang meskipun matanya terpejam. Perasaan aneh itu kembali datang. Perpaduan antara rasa takut dan khawatir. Entahlah, Karina sendiri tak bisa mengejawantahkan perasaan itu.
Bolak-balik Karina mengubah posisi tidurnya. Miring kanan, balik ke kiri. Tengkurap hingga terlentang. Matanya yang terpejam tak membuat isi kepalanya juga terdiam. Hingga akhirnya ia menyerah.
Diraihnya kembali ponsel itu dan mengaduk-aduk isinya. Mencari sesuatu yang bisa membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
Sejak ponselnya ditemukan setelah sakitnya, ia memang belum sempat memeriksa ponselnya.
Benar saja, ada banyak pesan yang tertumpuk belum ia buka. Karina memeriksa satu persatu. Bahkan chat whatsapp menumpuk sampai ribuan.
Karina meringis sendiri, sudah banyak informasi yang tentunya ia lewatkan.
Karina beralih ke daftar panggilan saat melihat tanda merah notifikasi di layarnya.
“Nomer siapa ini?”
Ia bergumam sendiri saat melihat sebuah nomor yang tidak ia kenal berada di daftar panggilan tak terjawab.
“7911?”
Angka terakhir nomer itu. Karin sejenak menatap langit-langit kamarnya, barangkali di sana ia menemukan jawaban pemilik nomer siapakah itu.
Lalu kembali menatap layar ponselnya.
“Hari senin kemarin? Berarti, pas gue sakit ya? Jamnya juga pas jam gue pulang sekolah. Siapa ya?"
Ia bergumam sendiri.
“Selamat pagi kak Karin.”
Suara lembut Putri mengagetkan Karina. Hampir saja ia melemparkan ponselnya karena kaget membuat Putri tertawa melihatnya.
“Bisa gak sih gak muncul mendadak gitu?!”
Karin merengut kesal namun akhirnya ia meringis tertawa juga.
“Gak tiba-tiba kok. Dari tadi Putri disitu. Kakak aja yang gak liatin Putri, asik liatin HP.”
Karin membuka selimutnya, meletakkan bantal pada sandaran ranjang lalu duduk bersandar pada bantal itu. Tangan dan matanya masih asik dengan ponselnya.
“Liatin apa sih kak?”
“Ini, ada panggilan tak terjawab kemarin. Siapa ya yang telpon?”
“Kenapa gak di telpon balik aja kak, tanyain itu siapa.”
Putri duduk mendekati Karin, bersila di atas kasur menghadap Karin yang matanya berbinar seketika.
“Walah… kenapa gak kepikiran dari tadi sih?”
Putri tertawa kecil, melihat Karin yang girang dan menekan tombol layar sentuh di ponselnya, menghubungi nomer yang sedari tadi Karin ributkan.
“Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi…”
“Yah, gak aktif Put nomernya.”
“Mungkin orang iseng aja itu kak.”
“Iya kali. Udah lah, tar kalau butuh juga telpon lagi.”
Karin meletakan ponselnya kembali ke atas meja.
“Put, kemarin mama mau daftarin aku sama Nia ke bimbel yang di samping sekolah itu. Untung mama mau dengerin aku buat cancel aja daftarnya. Kamu tau kan, aku ngalamin kecelakaan pas di depan gedung bimbel itu?”
“Trus mamanya kak Karin mau batalin daftarnya?”
“Belum sih, mama masih mau ngobrol dulu sama mamanya Nia. Tapi aku optimis bisa, kan aku sama Nia udah janjian mau ngerayu biar gak usah bimbel disana.”
Karin tersenyum senang, nampak lega karena ia bisa menghindar dari peristiwa kecelakaan itu. Setidaknya, dia merasa begitu. Ia turun dari kasurnya. Membuka jendela kamarnya dan sejenak menikmati sapaan udara pagi dari pinggiran Jakarta yang masih sejuk. Mengambil sisir lalu duduk menghadap cermin, menyisir rambutnya lalu mengikat dengan cepit rambut kelinci kesayangannya.
“Tapi kak, kakak tetap harus hati-hati. Meskipun kakak bisa menghindari tempat kejadian, bukan berati kakak bisa menghindari kejadiannya.”
Dalam sekejap mata Putri sudah berada disamping Karina. Duduk diatas jendela tepat di samping meja riasnya.
“Jadi maksud kamu, walaupun aku gak kecelakaan di sana, aku kecelakaan di tempat lain, gitu.”
Karin awas menatap Putri, wajahnya tegang menunggu jawaban.
“Bisa iya, bisa tidak.”
“Kok gitu. Jadi, iya apa tidak?”
Karin mulai kesal. Ia meletakan sisirnya ke atas meja dengan kasar.
“Ya, Putri juga gak bisa memastikan, kak. Intinya, kita bisa merubah sebuah keadaan. Tapi kita tidak akan bisa meniadakan sama sekali kejadian itu.”
“Ah kamu mah pagi-pagi bikin bad mood.”
Karin merengut kesal, lalu beranjak keluar kamarnya meninggalkan Putri yang merasa sedih karena membuat Karin kesal. Tapi mau bagaimanapun, tugas dia memang untuk memberikan Karina nasihat dan peringatan. Ia tidak bisa membantunya lebih dari itu.
***