Sebagai murid pindahan, Qiara Natasha lupa bahwa mencari tahu tentang 'isu pacaran' diantara Sangga Evans dan Adara Lathesia yang beredar di lingkungan asrama nusa bangsa, akan mengantarkannya pada sebuah masalah besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunny0065, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jawaban X dan Y
(1+L+0+V+3 plus n+@+7+@+$+h+@\= ...+...)
x/y\=?
Question: Gue suka Natasha. Tetapi, ada Sangga.
x/y\= Sangga winner.
Gibran mengangkat wajah, mengaku kalah bersaing dengan Sangga.
"Minum kopi apa?" tawar Sangga meski kondisi tubuhnya sedang tidak fit, tanggung jawabnya melayani pengunjung kafe tidak diabaikan.
"Gue belakangan. Dahulukan Kevin sama Dimas," kata Gibran.
"Nah, itu tau minggir sana, gue pesan duluan!" ujar Kevin menggeser pijakan ke depan.
"Pakai topi hitam makin cakep aja Lo, udah cocok jadi barista!" puji Kevin.
Sangga membetulkan topi di kepalanya dan menyeringai tipis.
"Gue americano kopi," pesan Kevin.
"Dimas?" lanjut Sangga.
"Entar aja ngikut Gibran. Gue mau merhatiin seberapa profesionalnya seorang Sangga Evans menguasai skill menyeduh kopi," sahut Dimas.
"Sialan."
Kevin dan Dimas tergelak tawa, sedangkan Gibran tersenyum tipis menutupi perasaan sedih hatinya.
Sangga mulai beratraksi, menunjukkan kebolehannya sebagai seorang barista.
Gibran mundur teratur menjauhi teman-temannya, mengendap-endap mencari Natasha dan menemukannya di dapur-tampak sibuk memasak.
"Lagi ngapain?" basa-basi Gibran.
Terlonjak kaget, Natasha hampir menjatuhkan serok berisi penuh gorengan pisang jika saja Gibran tidak cekatan maju menahan gagang serok di tangan.
Natasha mendongak, menatap Gibran yang sedang menatapnya juga hingga tak menyadari bahwa sudah tak ada jarak diantara mereka berdua.
Tersadar punggungnya menempel di dada bukan suaminya, Natasha membenarkan posisi berdiri.
Gibran menggaruk kepala, mendadak disergap canggung. "Boleh minta minum? Gue haus," ucapnya beralasan.
"Kamu enggak dikasih kopi sama Sangga?" tanya Natasha.
Gibran berdeham samar alasan klasiknya dicurigai.
"Dibikinin, cuma nunggu antrian Kevin dan Dimas sementara tenggorokan gue udah kering banget pengen dibasahi air. Gue pikir, daripada nunggu yang lama mending nyari ke sini, siapa tau dapat segelas air putih," jelas Gibran.
"Gitu. Mau minum dingin atau panas?" tawar Natasha.
"Dingin aja biar cepat segar," pilih Gibran.
Meniriskan pisang goreng agar minyaknya turun. Natasha mendekati kulkas mengambil poci kaca isi teh manis dan menaruhnya di meja makan lalu menuangkan air kedalam gelas berkaki panjang.
"Minum Gib," ucap Natasha.
"Boleh sekalian mencicip pisang gorengnya Gue laper," cengir Gibran.
"Ambil aja."
Mengambil sepotong pisang goreng dan memakannya, Gibran menghampiri meja, mengangkat gelas suguhan Natasha dan menyeruput teh manis.
"Udah pandai masak, cantik, baik, apalagi coba. Sangga beruntung banget dapatin Lo," celetuk Gibran.
Natasha mematri senyum, kembali lagi menghadap wajan panas berisi gorengan pisang setengah matang.
"Menurut pandanganmu, Alleta gimana?" cakap Natasha menganti topik pembicaraan.
"Kenapa melenceng ke dia? Pembahasan gue tentang Lo sama Sangga belum selesai," ralat Gibran.
"Aku dan Sangga enggak perlu diulik lagi. Semua orang tau gimana kisahku dengan dia, sekarang enggak menarik seperti pertama kali kita berdua saling mengenal. Kalaupun ada sekelumit penasaran dibenak orang lain, sebelum melontarkan tanya padaku, mereka lebih dulu udah tau jawabannya," tutur Natasha.
"Gue punya satu pertanyaan yang susah gue dapatkan jawabannya, apa Lo bisa jawab?" Gibran menggunakan kesempatan untuk menggali perasaannya lebih dalam.
"Apa yang ingin kamu tau?" tanya Natasha.
"Lo ingat percakapan belum rampung terakhir kita saat di kelas?" tembak Gibran.
"Aku lupa yang mana."
"Waktu Sangga menyerahkan secarik kertas. Sebelum itu, gue sempat debat sama Lo prihal sebuah pertanyaan tak terucap oleh gue, dan Lo maksa ingin tau dengan ngototnya bisa jawab pertanyaan gue," terang Gibran.
"Oh, ingat! Jadi, apa pertanyaannya?"
Perempuan itu selalu menggemaskan, Gibran memindai Natasha yang tumbuh langsing semampai, memakai gaun biru sebatas lutut.
"Semoga hubungan Lo dengan Sangga langgeng," ucap Gibran.
"Gib, bukannya mau nyambung obrolan lama?" tanya Natasha.
"Enggak jadi, udah lewat kedaluwarsa."
Habis mengatakan itu, Gibran pergi mengemas rasa sukanya terhadap Natasha, sudah tau sampai kapanpun perasaannya takkan terbalas lagi.
Natasha mematikan kompor, berlari mengejar Gibran untuk dimintai kelanjutan bahasan tahun lalu.
"Pembicaraan kita belum selesai, Gib!"
Seruan kencang Natasha mengejutkan perkumpulan tiga lelaki di salah satu meja dalam ruangan Kafe. Gibran mematung di ambang masuk ketika lengannya di cekal Natasha, menahan langkah.
Sangga tidak suka memergoki Natasha sembarang pegang cowok, baginya perlakuan seperti itu membuat hati tenangnya tersenggol panas.
"Besok kepulangan Adara. Gue akan menjemputnya, ada kemungkinan mengharuskan tinggal beberapa hari di rumah Bunda," ucap Sangga mengeraskan suara.
Pegangan Natasha pada tangan Gibran terlepas.
Apa katanya, Sangga berencana menemani Adara?