Nadia ayu, seorang gadis yang bisa melihat 'mereka'
mereka yang biasa kalian sebut hantu, setan, jin, mahluk halus atau lain sebagai nya.
suara dari mereka, sentuhan bahkan hembusan nafas mereka, bisa di rasakan dengan jelas. Sejak mengalami kecelakaan itu, mengubah cara pandangannya terhadap dunia..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Ningsih vs Kunti merah
Udara di halaman belakang terasa aneh malam itu. Angin yang tadinya hangat mendadak menjadi dingin, menusuk sampai ke tulang. Lampu taman yang biasa menerangi halaman berkedip dua kali… lalu mati total, menyisakan cahaya bulan yang redup.
Aku berdiri di teras, Joan ada di sampingku, Wita dan Gilang di belakang kami. Kami baru saja selesai ngobrol santai setelah makan malam, tapi suasana berubah begitu cepat.
Suara tawa pelan, retak, seperti kaset rusak, terdengar dari tengah halaman. Perlahan, sosok itu muncul.
Kuntilanak merah.
Dia berdiri membelakangi kami, rambutnya panjang kusut sampai menutupi setengah punggung, tubuhnya kurus seperti tinggal kulit dan tulang. Kain merah lusuh yang menutupi tubuhnya berlumuran darah, menetes ke tanah satu per satu, meninggalkan bekas gelap. Bau amisnya langsung memenuhi udara, membuat perutku terasa mual.
“Gi… Gilang… aku beneran liat, kan?!” suara Wita pecah, nyaris histeris. Matanya membelalak, napasnya tersengal. “Itu… bukan mimpi kan?!”
Gilang langsung menarik Wita ke dalam pelukannya, mencoba menenangkannya meskipun wajahnya juga pucat. “Iya… kamu nggak salah liat. Aku di sini, tenang… aku nggak bakal ninggalin kamu.”
Joan bergerak lebih maju, tubuhnya jadi tameng di depanku. “Kamu mundur ke pintu, Nad. Aku nggak tau makhluk apa itu, tapi aku nggak biarin dia deketin kamu.”
Aku memegang lengan Joan erat, suaraku bergetar. “Aku… aku nggak mau ninggalin kamu di sini. Kalau dia nyerang, aku takut…”
Joan menoleh sekilas ke arahku, tatapannya tegas. “Kamu tenang aja. Selama aku ada, nggak ada yang bisa nyentuh kamu. Percaya sama aku.”
Tiba-tiba, sosok itu memutar kepalanya pelan-pelan. Lebih dari 180 derajat. Suara tulang leher yang berderak terdengar jelas. Matanya hitam legam, tak ada bola mata. Mulutnya robek sampai ke pipi, darah menetes sambil ia mengeluarkan suara serak seperti suara manusia yang dicekik.
Wita langsung berteriak histeris, wajahnya tertutup di dada Gilang. “Lang, aku nggak kuat… jangan biarin aku liat itu! Aku mau masuk!”
Gilang mendekapnya erat, mencoba menenangkannya. “Tenang… aku jagain kamu. Tarik napas… nggak bakal ada yang nyentuh kamu.”
Udara di sekitar mendadak bergetar. Dari sisi rumah, cahaya merah samar muncul. Suara langkah pelan tapi berat terdengar, dan kemudian sosok lain muncul: Ningsih.
Rambutnya panjang terurai, kain merahnya juga lusuh, tapi auranya berbeda. Matanya tajam, tatapannya penuh percaya diri. Untuk pertama kalinya, dia sengaja menampakkan wujudnya ke semua orang.
Joan refleks mundur setengah langkah, matanya membelalak. “Lo liat itu juga, Lang?!”
Gilang mengangguk kaku, masih memeluk Wita. “Iya… gila… mereka nampakin diri!”
Ningsih menatap kami sebentar, lalu senyum miring. Suaranya serak, tapi terdengar jelas.
“Tenang aja, manusia. Gue nggak ganggu lo semua. Tapi yang di situ…” ia menunjuk kuntilanak merah yang kini menatap tajam ke arahku, “…itu yang udah ngikutin Nadia kemaren.”
Wita menggigil di pelukan Gilang. “Gue… gue nggak mau ada di sini. Ini gila… sumpah…”
Aku menatap Ningsih, mencoba mengendalikan suaraku. “Lo bisa beresin dia sekarang? Jangan sampe rumah ini rusak.”
Ningsih menyeringai, aura merahnya semakin terang. “Beresin? Hah… gampang. Lo cuma diem dan liat gue kerja. Biar lo ngerti siapa yang lo ajak tinggal sebelah kamar.”
Joan menggenggam tanganku, tatapannya penuh kekhawatiran. “Kamu nggak harus liat kalau nggak kuat. Aku bisa nutupin mata kamu.”
Aku menggeleng pelan. “Aku harus liat. Aku nggak mau lagi cuma tau dari cerita. Aku mau ngerti siapa aja yang sebenernya jagain aku.”
Ningsih melangkah maju. Tanah bergetar pelan setiap dia melangkah. Angin di halaman mulai berputar, membawa bau besi dan darah. Dua sosok itu—Ningsih dan kuntilanak merah—berdiri saling berhadapan, auranya bikin udara jadi berat sampai susah napas.
Joan merapat ke arahku, tangannya masih menggenggam tanganku erat. “Kamu di belakang aku aja. Apa pun yang terjadi, jangan lepasin tangan aku.”
Aku hanya mengangguk pelan, mataku tak lepas dari dua makhluk itu yang siap bertarung di halaman belakang rumahku sendiri.
Untuk pertama kalinya, dunia yang selama ini cuma bisa aku liat, sekarang juga terlihat jelas oleh Joan, Gilang, dan Wita. Dan mereka semua bisa merasakan betapa nyatanya ancaman ini.
____
Angin di halaman belakang berputar kencang. Bau amis darah bercampur angin malam bikin suasana terasa berat. Dua sosok gaib berdiri berhadapan: kuntilanak merah yang sudah menerorku sejak pantai, dan Ningsih, penjaga tengil yang tinggal di samping kamarku.
Joan berdiri tepat di depanku, tubuhnya jadi tameng. Tangannya menggenggam tanganku erat, seolah takut aku lepas. Gilang duduk di teras sambil memeluk Wita yang sudah setengah menangis.
“Kamu mundur aja ke pintu, Nad. Aku nggak mau kamu kena apa-apa,” bisik Joan, nadanya pelan tapi tegas.
Aku menggeleng, meskipun lututku gemetar. “Aku nggak mau ninggalin kamu. Kalau aku pergi, aku takut kamu yang diserang. Aku… aku pengen ada di sini sama kamu.”
Joan melirik ke arahku, matanya dalam. “Kamu aman sama aku. Aku janji. Tapi jangan nekat. Kalau dia nyerang, aku bakal berdiri di depan kamu sampai habis-habisan.”
Di tengah halaman, kuntilanak merah itu bergerak. Rambutnya berkibar meski angin berhenti, kepalanya pelan-pelan berputar lebih dari 180 derajat. Tulang lehernya berderak. Matanya hitam legam, tak ada bola mata. Mulutnya sobek sampai pipi, darahnya menetes ke kain merah lusuhnya yang berlumuran darah.
Wita menjerit, menutup wajah di dada Gilang. “Gil, aku nggak kuat… tolong jangan biarin aku liat itu!”
Gilang mendekapnya erat, tangannya mengelus punggung Wita. “Aku di sini. Nggak apa-apa… aku jagain kamu. Tarik napas, ya?”
Tiba-tiba, cahaya merah samar muncul dari sisi rumah. Udara bergetar, seperti ada aliran energi asing. Dari balik kegelapan, Ningsih muncul. Rambutnya sama panjangnya, kainnya sama merahnya, tapi auranya jauh berbeda—lebih kuat, lebih percaya diri.
Joan memandanginya dengan mata terbelalak, tangannya refleks meremas tanganku. “Kamu… liat itu juga, kan? Itu… hantu yang biasa kamu omongin?”
Aku menoleh sebentar, meskipun mataku tetap pada Ningsih. “Iya… itu Ningsih. Aku sering liat dia. Dia… ya, bisa dibilang penjagaku.”
Joan menarik napas berat, jelas berusaha menerima kenyataan. “Kamu… nggak takut sama dia?”
Aku tersenyum tipis meski tegang. “Kadang… tapi dia nggak jahat. Dia malah sering nolongin aku.”
Ningsih berdiri tegak, menatap kuntilanak merah itu dengan tatapan malas. “Lo udah bikin cukup masalah. Balik ke tempat lo deh, sebelum gue bener-bener bikin lo nggak bisa jalan.”
Kuntilanak merah hanya mengeluarkan suara melengking panjang, rambutnya berkibar liar.
Ningsih mendecak, lalu nyibak rambutnya sendiri kayak model iklan shampoo. “Yaelah, gaya lo serem banget. Tapi bau amis lo itu loh… satu rumah pengen muntah!”
Dia melompat tinggi ke udara, muter dua kali kayak breakdance, lalu mendarat dengan jongkok dramatis. “Liat nggak? Gue nggak cuma bisa serem, gue bisa gaya juga!”
Joan melirik aku, alisnya terangkat. “Kamu… beneran udah biasa liat dia begini?”
Aku mengangguk pelan, setengah antara takut dan pengen ketawa. “Iya… Ningsih emang gini. Tengil banget. Tapi biasanya dia yang nyelametin aku.”
Kuntilanak merah melayang maju, kuku panjangnya terjulur tajam siap mencakar. Angin dingin menyapu kulitku, bikin napas jadi berat.
Ningsih bergeser santai, bahkan sempat nyeletuk, “Eh, kuku lo panjang banget. Lo perawatan di mana sih? Biar gue ikut next time.”
Gilang sampai nutup mulutnya, berbisik ke Joan. “Gue nggak tau mesti takut apa ketawa liat dia. Serius, Jo… ini hantu kan, bukan badut?”
Joan mendengus pendek, masih menatap ke depan. “Lo kira gue ngerti? Gue aja nggak percaya semua ini seminggu lalu!”
Pertarungan berlanjut. Ningsih melempar kain merahnya seperti cambuk, menghantam kuntilanak amis itu sampai tubuhnya terpental dan menabrak pohon di ujung halaman. Tanah bergetar pelan.
“Udah, lo nyerah apa mau gue bakar di sini? Gue nggak punya waktu main lama sama lo!” suara Ningsih serak tapi penuh dominasi.
Kuntilanak merah itu menjerit panjang, lalu akhirnya mundur dan melayang pergi, lenyap di balik pepohonan gelap.
Ningsih berbalik, senyumnya tengil. “Udah, beres. Lo semua aman. Gue nggak minta apa-apa kok… cuma tolong kasih gue akses ke kamar mandi kadang-kadang. Biar gue bisa nongkrong.”
Joan masih memelototinya, lalu menoleh ke aku. “Kamu… yakin… ini hantu? Soalnya… aku ngerasa kayak barusan nonton pertunjukan absurd.”
Aku menghela napas panjang. “Percaya sama aku, dia hantu. Cuma… ya, bukan tipe hantu yang normal.”
Ningsih cuma terkekeh, lalu menghilang dengan suara tawa kecilnya yang bergema, meninggalkan kami berempat yang masih shock campur bingung.
Joan menoleh lagi ke aku, tatapannya lembut tapi serius. “Kamu… beneran nggak apa-apa? Jantung kamu kenceng banget.”
Aku menatapnya, masih gemetar. “Aku nggak apa-apa… asal kamu di sini. Kamu jangan lepasin aku dulu.”
Joan menarikku ke dalam pelukannya, menunduk agar suaranya cuma terdengar di telingaku. “Aku nggak akan ninggalin kamu. Selama aku ada, nggak ada yang bisa nyentuh kamu, Nad.”
Aku mengangguk pelan, menutup mata sejenak sambil mendengarkan detak jantungnya yang konstan, satu-satunya hal yang bikin aku tenang setelah semua kegilaan malam ini.