Sebagai murid pindahan, Qiara Natasha lupa bahwa mencari tahu tentang 'isu pacaran' diantara Sangga Evans dan Adara Lathesia yang beredar di lingkungan asrama nusa bangsa, akan mengantarkannya pada sebuah masalah besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunny0065, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ungkap Rasa
"Pada kesempatan hari ini, terimakasih kepada Bapak terhormat Aksan telah menunjuk saya sebagai panitia pembawa acara pesta pemotongan tali pita. Pertama-tama, mari kita panjatkan puji—syukur kehadirat Tuhan pencipta alam semesta yang memberikan nikmat tiada tara kepada kami berupa kesehatan hingga kita dapat berkumpul di bawah langit kota Jakarta!" Panitia mengucap pembukaan.
"Selanjutnya para hadirin tamu undangan, dimohon perhatiannya, langsung saja kita persilakan waktu dan tempat kepada Bapak Aksan menaiki panggung untuk peresmian Sarasa Coffe!" seru panitia.
Pak Aksan naik ke atas panggung yang letaknya di tengah halaman Cafe, lalu menerima sebuah mic disodorkan panitia.
"Terimakasih kepada teman-teman yang saya hormati dan sayangi sudah memenuhi permintaan kami untuk bersama-sama memeriahkan pesta. Seperti kita lihat, kafe di seberang sana akan dikelola oleh menantu saya bernama Sangga," tutur Pak Aksan.
Pandangan semua tamu tersita ke arah pemuda berpakaian formal, menggandeng perempuan cantik bergaun putih seraya meniti undakan tangga bersama-sama dan berhenti di teras kafe, menghadap garis tali pita.
"Silakan Den." Pelayan berbaju formal mengangkat nampan berlapis kain putih.
Sangga berbisik di telinga kanan Natasha. "Kita potong sama-sama."
Natasha mengangguk senyum, mengambil gunting berhias pita mengarahkannya ke objek hendak di putus. Sangga memegang punggung tangan Natasha, menunggu hitungan mundur diserukan Pak Aksan.
"Hitung mundur tiga sampai satu!" komando panitia.
"Tiga!" mulai Pak Aksan.
"Dua!" hitung hadirin.
"Satu!"
Huff!
Pemutusan tali berjalan lancar. Tiupan terompet, hamburan kelopak bunga mawar serta pelepasan puluhan balon mewarnai kemeriahan acara.
"Sarasa Coffe resmi dibuka!" lantang Pak Aksan.
"Musik!" teriak Panitia.
Juru pemilih musik mengotak-atik keyboard laptop, memutar instrumen. "Groove—Drew Banga."
Alunan santai keras mendengung berasal dari dua biji sound di atas panggung mendukung kehangatan suasana.
"Mau dansa?" tawar Sangga mengulurkan tangan.
Senyum Natasha mengembang lebar, menggenggam tangan Sangga dengan satu tangannya tersimpan di pundak.
Sangga meraih pinggang Natasha, bergerak pelan mengikuti irama musik.
"Jangan kalah romantis dengan pasangan muda di ujung situ, mari ikut berdansa!" intrupsi Pak Aksan semakin girang menikmati pesta.
Ajakan berbuah manis, orang-orang di bawah panggung berhamburan mencari teman dansa, Pak Aksan tersenyum bangga menyaksikan hajat kecilnya berjalan sesuai harapan.
"Berputar," bisik Sangga.
Laksana penari handal, Natasha berputar tanpa melepas tautan jemari, menarik tubuh ke belakang kemudian menabrak dada bidang Sangga dengan sepasang tangan melingkari leher suaminya.
Tatapan keduanya bertemu, Sangga melirik situasi lalu mencium terang-terangan bibir Natasha.
*
"Buruan Pak, tolong putri saya!" panik Bu Liza.
Pak Satpam mengecek denyut nadi pergelangan tangan perempuan bersimbah darah.
"Nadinya lemah, lebih baik kita larikan ke rumah sakit terdekat saja agar pasien segera mendapat pertolongan tepat!" usul Pak Satpam.
"Asrama memiliki tenaga medis, ke mana dokter Aga serta rekan-rekannya?" marah Bu Liza.
"Dokter Aga dapat panggilan ke rumah sakit biasa beliau tugas, Bu. Rekan-rekannya pada pergi liburan menikmati waktu cuti sebelum minggu depan asrama kembali di buka melanjutkan kegiatan belajar semester dua," jelas Pak Satpam.
Bu Liza mengerang frustasi, menatap khawatir putri kesayangannya ditemukan tergeletak pingsan di lantai kamar mandi dengan darah mengalir dari bekas sayatan.
Saran penjaga pintu gerbang asrama diterima Bu Liza, putrinya dilarikan ke RS terdekat.
1 jam menunggu dalam kekhawatiran, Bu Liza dan Pak Satpam akhirnya bangkit dari kursi besi tersedia depan ruang rawat pasien, ketika dokter pria yang menangani Adara membuka pintu.
"Dokter, bagaimana kadan putri saya?" tanya Bu Liza.
"Bisa kita bicarakan di ruang tertutup? Saya ingin memberitahukan kondisi sesungguhnya putri ibu."
"Jika saya tinggal, bagaimana dengan Adara? Bukankah pasien harus berada dalam pantauan tim medis selama dua puluh empat jam," bantah Bu Liza.
"Ada partner saya di ruangan itu, tugasnya mengawasi perkembangan pasien."
Melalui pintu berkaca bening, Bu Liza mengintip ruang rawat putrinya, tampak seorang wanita berseragam putih sedang mengecek alat pembaca detak jantung pasien.
"Ibu pergi saja saya pastikan Adara aman," ucap Pak Satpam.
"Terjadi apa-apa dengan Adara cepat panggil saya," pesan Bu Liza.
"Baik, Bu."
Lantas Bu Liza dan dokter meninggalkan unit gawat darurat, berpindah tempat menuju gedung utama rumah sakit Sinar Abadi.
"Tidak perlu sembunyi sejauh ini, Dokter bisa mengatakan banyak hal di sana secara langsung pada saya," ujar Bu Liza.
Dokter mempersilakan Bu Liza duduk lalu mengeluarkan note kecil dan sebuah pena dari laci meja.
"Profesi saya dan Ibu jelas berbeda, kita sama-sama memegang kode etik, setiap individu diwajibkan menjaga privasi antar sesama. Saya menghormati pasien, tidak mungkin memberitahukan keadaannya ke sembarang orang dan di sembarang tempat," tutur dokter tetap bersikap profesional.
Bu Liza membuang kegusaran dan berkata, "Saya mau tau gimana kondisi Adara."
"Tahan pada penjelasan, ada beberapa pertanyaan ingin saya ketahui jawabannya langsung dari ibu. Sebelumnya, apa Adara pernah memeriksakan diri ke rumah sakit?"
"Belum pernah, tapi menemui seorang psikiater sudah satu kali, itupun waktu Adara kelas sepuluh," jawab Bu Liza.
"Adara mengkonsumsi obat anti depresan?"
"Saya tidak menyukai topik ini! Katakan, seperti apa kondisi Adara?" geram Bu Liza.
"Baik, simak penjelasannya, menurut hasil pemeriksaan Adara mengidap penyakit hipertensi tahap dua. Obat anti depresan disebutkan saya adalah pereda syaraf tegang otak saat pikiran pasien tertekan. Pemicu hilangnya keseimbangan pola makan dan gaya hidup sehat menyebabkan pasien mengalami penurunan berat badan secara drastis. Bila dibiarkan terus-menerus terjebak dalam beban pikirannya, besar kemungkinan penyakit jantung, ginjal, dan kelumpuhan total bisa menyerang pasien."
"Hipertensi, penyakit mematikan urutan kesekian setelah kanker, tidak sedikit para pengidap hipertensi di usia tua atau muda, berujung pada merenggang nyawa karena menyepelekan pantangan sudah diketahui. Ibu menginginkan kesembuhan Adara? Perhatikan asupan gizinya, pola makannya teratur, suasana hatinya terjaga bagus, mulai kurangi menyantap sajian berlemak dan perbanyak minum air putih."
"Dehidrasi dialami Adara menguras semua cairan dalam tubuhnya, terlebih sayatan cutter di lengannya membuat kondisinya semakin lemah," demikian penjelasan dokter.
Naluri seorang ibu tak pernah menyalahi, kepergian Sangga selama ini meninggalkan rumah sangat mempengaruhi kondisi kesehatan Adara.
"Apakah putri saya dianjurkan rawat jalan di sini, Dok?" wajah Bu Liza berubah murung.
"Dua sampai tiga hari sebaiknya kami rawat dulu putri Ibu, setelah kondisinya stabil saya sarankan pasien rawat jalan di rumah."
Perbincangan selesai, Bu Liza keluar ruangan dengan lunglai, tenaganya habis terkuras mencemaskan kondisi Adara.
*
"Surat pengunduran Sangga dan Natasha?"
"Jangan dibaca Adara!" bunda merebut selembar kertas.
"Surat ini pasti bohong, Mas Sangga enggak ninggalin aku? Natasha enggak putus sekolah demi Mas Sangga?"
Kesulitan memberi jawaban, air mata ditahan Bu Liza merebak. Adara menggeleng keras, isakan bundanya cukup menjelaskan kebenaran pahit sedang matia-matian ditepisnya.
"Kenapa Bunda membiarkan Mas Sangga pergi ninggalin aku! Kenapa tidak dicegah? Kenapa Natasha dibiarkan ikut ke mana Mas Sangga pergi! Bunda enggak sayang aku! Bunda tega membiarkan sumber kebahagiaanku dicuri cewek lain!" teriak Adara.
"Bunda sudah berusaha menahan kepergian Mas Sangga, namun dia ngotot! Bunda mesti gimana lagi menggenggam Sangga untuk bertahan di rumah ini? Bunda stres memikirkan hubungan diantara kalian berdua, kamu itu adiknya Sangga tidak sepantasnya menyukai berlebihan! Kapan kamu mengerti arti adik dan kakak," isak Bu Liza.
"Bunda mirip semua orang yang aku temui, mengira aku sakit jiwa!" pekik Adara mendorong tanpa segan bahu bundanya.
Bu Liza tersungkur.
Adara lari mendobrak pintu kamar saudaranya, tercengang hebat tidak mendapati Sangga.
Air mata Adara mencuat netes, ditengah kepanikan itu segera mengecek kolong ranjang, menyibak tirai kaca, membuka jendela berpintu dua, mencari di kamar mandi, kosong.
"Enggak mungkin, enggak mungkin aku ditinggal pergi!" histeris Adara.
Mengedarkan mata mencari tempat belum di cek, lemari pakaian. Adara menarik kasar gagang pintunya, menelan ludah semakin panik melihat susunan baju Sangga berantakan.
"Ini enggak mungkin!"
Adara mengeluarkan semua pakaian milik saudaranya dan menemukan kotak beludru merah tersembunyi di sudut lemari.
Tangan gemetar Adara mengambil benda merah mungil tersebut, membukanya perlahan dan mendapati cincin polos bermaterial emas.
"Cincin untuk siapa? Kenapa Sangga enggak bilang-bilang punya simpanan benda cantik ini," monolog Adara dengan nafas tercekat.
Semenjak mengetahui kepergian Sangga, Adara mengunci mulut enggan berinteraksi dengan siapapun.
'Milik siapa?'
'Untuk siapa?'
'Kenapa aku enggak dikasih tau?'
''Lalu nasibku gimana?'
Kalut.