"Bang Akbar, aku hamil!" ucap Dea di sambungan telepon beberapa Minggu lalu.
Setelah hari pengakuan itu, Akbar menghilang bagai di telan bumi. Hingga Dea harus datang ke kesatuan kekasihnya untuk meminta pertanggungjawaban.
Bukannya mendapatkan perlindungan, Dea malah mendapatkan hal yang kurang menyenangkan.
"Kalau memang kamu perempuan baik-baik, sudah pasti tidak akan hamil di luar nikah, mba Dea," ucap Devan dengan nada mengejek.
Devan adalah Komandan Batalion di mana Akbar berdinas.
Semenjak itu, Kata-kata pedas Devan selalu terngiang di telinga Dea dan menjadi tamparan keras baginya. Kini ia percaya bahwa tidak ada cinta yang benar-benar menjadikannya 'rumah', ia hanyalah sebuah 'produk' yang harus diperbaiki.
Siapa sangka, orang yang pernah melontarkan hinaan dengan kata-kata pedas, kini sangat bergantung padanya. Devan terus mengejar cinta Dealova.
Akankah Dealova menerima cinta Devan dan hidup bahagia?
Ikuti perjalanan Cinta Dealova dan Devan hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : Wang 'Macho'
Tatto Artist
Pagi masih berembun saat Dea sudah memulai aktifitasnya. Ia membereskan kamar apartemen yang dipinjamkan Akbar. Lelaki itu memenuhi janjinya, akan memberikan Dea perlindungan dan juga tempat tinggal. Sesekali beberapa orang suruhan Akbar datang untuk membawakan kebutuhan Dea selama di Jakarta.
Dea bersyukur masih banyak orang yang perduli padanya. Di setiap kesulitan yang ia hadapi, Tuhan selalu menghadirkan orang-orang baik yang bersedia menjadi tameng untuknya dan menjadi tempatnya bersandar.
Waktu menunjukkan pukul 05.30 WIB. Dea harus bergegas meninggalkan apartemen untuk melakukan interview di tempat Gym milik Wang. Hari itu, wajah Dea lebih berwarna. Semangat dan harapan terpancar di manik matanya yang indah. Senyuman tipis selalu menghiasi bibirnya.
Setelah melakukan transit di beberapa halte Busway, Dea sudah ada di depan tempat gym yang berada di gedung tinggi sebuah perkantoran. Jantungnya berdegup kencang, sedikit grogi dan insecure dengan tempat gym yang ia tuju. Satu lantai berukuran 500meter diisi full alat-alat fitnes terbaik dan berkualitas internasional.
Dea berdecak kagum dengan kemewahan yang ditonjolkan tempat gym tersebut. Sekaya apa sosok Wang yang ia kenal berpenampilan cuek dan terkesan urakan itu.
Setelah menunggu hampir tiga puluh menit, Dea akhirnya diijinkan masuk ke ruang kantor sang pemilik tempat Gym, Nawang/Wang. Ia masuk setelah Wang mempersilahkannya. Saat pintu terbuka, seorang wanita cantik berpenampilan seksi dan minim bahan masih merapihkan pakaiannya sebelum akhirnya meninggalkan Wang dan Dea berdua.
"Sorry menunggu lama, sayang... Silahkan duduk." ucap Wang sambil merapihkan mejanya yang berantakan.
Sepertinya baru saja terjadi pertempuran hebat di sana.
Dea duduk dengan memangku tangannya di atas paha. Duduknya tegak dengan senyum percaya diri. Nawang meliriknya sekilas, beberapa kali Nawang mengusap wajahnya dengan kasar. Seperti ada sesuatu yang sedang ia pikirkan dan kendalikan di dalam dirinya.
"Dea... "panggil Wang dengan suara lirih. "Bisakah... Kamu tidak tersenyum? Aku merasa terganggu," ucapnya gelisah.
Dea menarik kembali sudut bibirnya, ia memasang wajah serius dan menatap wajah Wang dengan lekat. Namun, gestur tubuh Dea yang membuat jantung Nawang berdegup kencang. Garis tubuh Dea sangat menarik, seksi meskipun bertubuh kurus, wajahnya yang mungil namun sangat serasi dan presisi setiap 'ornamen' yang ada di wajah Dea.
Nawang menunduk, mengambil napas begitu dalam. Membiarkan Dea diam dengan wajah kebingungan. Tidak berapa lama, Nawang menghembuskan napasnya perlahan, lalu menghubungi seseorang melalui pesawat interkom.
"Bella, tolong ke ruanganku." Nawang berdiri, lalu berbalik menatap pemandangan di luar jendela ruang kerjanya, memunggungi Dea yang kebingungan.
Pintu bergeser, Bella pun masuk. Wanita seksi yang tadi Dea lihat, ternyata assisten pribadi Nawang. Dea tersenyum canggung saat Bella memindai tubuhnya dari atas hingga ke bawah. Gadis itu mendekati Nawang dengan gayanya yang centil, ia bergelayut manja di lengan kekar milik Wang.
Body Nawang memang sangat macho, kulitnya putih, matanya sipit dengan hidung yang kecil dan tinggi. Membuat Wang sangat mirip oppa Korea, Park Hyung Sik versi cewek. Wang dan Bella saling berbisik. Mereka terlihat sangat mesra, membuat kehadiran Dea di sana seakan salah waktu dan tempat.
"Wang, jika belum siap aku temui... Aku akan menunggu di luar," sela Dea dengan nada gugup.
"Dea... " panggilnya. "Bella akan mengantarmu berkeliling melihat ruangan pilates dan yoga. Aku masih ada pekerjaan. Untuk membicarakan kontrak kerja dan lainnya aku akan hubungi kamu by phone." Tanpa menunggu Dea menjawab, Wang segera melangkahkan kakinya meninggalkan ruang kerjanya.
"Mari mba Dea, ikuti aku," ajak Bella dengan suara lembut.
Sepanjang koridor, Bella dengan teliti menjelaskan fungsi ruangan dan alat-alat yang tersedia di tempat gym milik Wang. Bella tidak hanya pintar dan sabar tapi ia juga sangat profesional dalam menggunakan alat-alat canggih tersebut.
"Mba Dea, Wang itu orangnya sangat detail. Ia tidak menerima kesalahan sekecil apapun. Alat-alat yang ada di sini baginya adalah anak kandungnya, sangat ia jaga dan perhatikan. Maka ia pun ingin semua karyawan, trainer yang direkrut olehnya memperlakukan semua yang ada di sini sama sepertinya," tutur Bella.
"Ini ruang yoga khusus perempuan. Member kita sudah tiga ratus enam puluh lima dengan jadwal beragam. Kami memiliki tiga orang instruktur yoga tetap, lima orang trainer, terkadang mengundang praktisi yoga terkenal. Biasanya setiap bulan member akan menunggu jadwal dari Anjasmara."
"Untuk masa percobaan, selama satu bulan kamu akan dibimbing oleh Miss Reina. Instruktur utama kami, beliau yang akan menilai kinerja kamu. Kuharap kamu bisa bekerjasama dengan baik dengan Miss Reina yang terkenal galak," sindir Bella di depan Miss Reina yang ada di sampingnya.
"Gue cipok juga lu!" balas Reina dengan wajah sewot.
"Bella, apa aku sudah pasti di terima? tidak ada test atau interview?" tanya Dea heran. Bella mengangguk dengan tatapan menggoda.
"yess ... !" jawabnya sambil mencolek dagu Dea dengan lembut.
"Rencana Wang, kedepannya ia akan menyewa satu lantai lagi khusus sanggar senam, pilates dan yoga. Jadi kami membutuhkan banyak trainer untuk merekrut banyak member exclusive," lanjutnya lagi.
"The Foundry fitness adalah usaha Wang yang ke lima. Sebelumnya ia memiliki usaha lain, usaha pertamanya Core and Canvas Tatto Artist . Wang lebih sering berkantor di sana. Usaha lainnya diskotik dan club malam... " tutur Bella dengan detail menceritakan bagaimana Wang menjalankan usahanya.
"Sebentar Bella, boleh aku bertanya?" sela Dea. Bella mengangguk sopan. "Dari semua usaha yang Wang bangun, ini bukan usaha kecil. Semua usahanya membutuhkan modal yang fantastis. Sementara usia Wang masih terbilang masih sangat muda. Apa dia anak orang kaya?" tanya Dea penasaran.
Bella menunduk sebentar sambil tersenyum samar. Lalu ia menatap Dea dengan tatapan yang sulit dimengerti.
"Lebih baik kamu tidak bertanya padaku, tanyakan langsung padanya. Kulihat, dia sangat tertarik padamu. Dia tidak pernah memperlakukan calon karyawannya seperti ia memperlakukan kamu. Dia sangat ingin kamu tahu segalanya tentangnya, dan di sinilah aku bertugas menjelaskan semua usaha miliknya dan harapannya ke depan. Bersyukurlah... " ucap Bella sambil mengelus lengan Dea dengan lembut.
Dea mengernyitkan keningnya begitu dalam. Bagi Dea, semakin dalam mengenal Wang, semua terasa misteri. Kebingungan menggelayuti pikirannya.
"Apa kamu berminat melihat Core and Canvas? Wang sedang ada di sana. Ada klien VVIP yang meminta dibuatkan tatto. Mungkin... Kamu butuh penjelasan kapan akan mulai bekerja," ajak Bella.
"Emh... Apa tidak apa-apa aku ke sana?" tanya Dea ragu-ragu.
"Ayolah!" ajak Bella lagi yang sudah lebih dulu berjalan.
Tatapan penuh arti
Mobil Ranger 4X4 berwarna hitam glossy sudah terparkir di depan gedung dua tingkat yang bertuliskan Core and Canvas Tattoos. Bangunan yang terkesan vintage namun interiornya sangat mewah dan macho di dominasi warna hitam putih dan abu-abu. Ada dua kamar khusus VVIP, dua kamar VIP dan lima kamar biasa.
Ruang tunggu yang disediakan juga sangat cozy dan mewah. Saat Dea datang, di ruang tunggu sudah di penuhi anak-anak remaja berusia belasan tahun. Mereka asik bercengkrama sambil memilih gambar tatto non permanen. Dea pun mengamati satu persatu gambar tatto yang terpampang di dinding.
Langkah kaki mendekati Dea dari arah belakang, "Hai!" sapa Wang dengan wajah canggung.
Dea menoleh sedikit, "Eh? Hai Wang," jawab Dea seraya memutar tubuhnya menghadap Wang.
"Bagaimana? Apa kamu berminat bekerja denganku? Apa Bella sudah menjelaskan fasilitas apa yang akan kamu dapatkan setelah menjadi karyawanku?" tanya Nawang sambil menatap ujung sepatunya.
Sungguh, Dea sangat heran dengan sikap Wang yang terlihat malu-malu dan tidak berani bertatapan langsung dengan matanya. Dea tersenyum tipis melihat tingkah Wang yang terlihat grogi. Seharusnya dia lah yang grogi dan insecure berhadapan langsung dengan CEO tempatnya bekerja nanti. Tapi justru yang terjadi kebalikannya. Wang seakan takut Dea mengurungkan niatnya bergabung dengan usaha yang Wang bangun.
"Wang... bolehkah aku mencoba menjadi tattooist di sini. Aku suka menggambar dengan media tubuh, kaca, latte art," ucap Dea hati-hati
"Sudah kuduga, kamu adalah my soul," gumam Nawang dengan suara sangat pelan.
Tatapan mata Nawang mengisyaratkan kekaguman, pengharapan dan sebuah perlindungan yang tanpa batas akan Wang berikan pada Dea.
Menjelang senja, Dea sudah berada di halte busway menuju pulang. Dea menyandarkan tubuhnya di tiang penyangga halte sambil menunggu busway ke arah Sudirman. Tatapannya kosong menatap kemacetan ibukota.
Mobil-mobil stuck, antrian mengular, motor saling salip di sela mobil-mobil yang terdiam, berebut mencari posisi dengan debar kerinduan akan keheningan kamar bagi para jomblo atau kehangatan keluarga yang menunggu di rumah. Bunyi klakson bersahutan seakan menyuarakan kekesalan dan kesabaran yang kian menipis.
Di antara mobil yang berbaris ditengah kemacetan itu, ada sosok yang masih menggemakan nama seorang gadis yang sangat ia rindukan. Tatapan matanya kosong lurus ke luar jendela mobil mewahnya.
Dari ratusan orang yang sedang berdesakan di halte busway. Ada sosok gadis yang selama ini ia cari.
Matanya tertuju pada sosok itu.
Ia mengucek berulang kali mata lelahnya. Hingga dengan tanpa sadar ia menurunkan kaca mobil di bagian penumpang.
"Dea!" panggilnya dengan suara keras.
berarti dea tidak hamil diluar nikah.
🌹untuk Akbar