pertemuan yang membuat jatuh hati perempuan yang belum pernah mendapatkan restu dari sang ayah dengan pacar-pacar terdahulunya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Laila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Di bulan yang sama, Hera berhasil menggaet penyanyi yang baru saja menyelesaikan pameran konser turnya untuk menjadi brand ambassador Hera. Seseorang yang dia rasa imagenya sangat pas dengan Hera.
“Oh? Lo jadi kerja sama sama Helga?” tanya Dona saat Maharani dan Miranda mengunjungi rumahnya. Dona meletakkan ponselnya dan menyantap makan siang mereka.
“He-em. Lo… gak apa-apa, kan, Kak? Atau gue cross the line?” tanya Maharani hati-hati.
Dona tertawa, dan berkata, “gak lah. Kenapa lo nanya gitu?”
“Ya kan, dia mantannya Abang Johnny.”
“Loh iya?” Miranda kaget, “kok lo gitu sih, Ra,” dia memukul punggung adiknya.
“Gue sama Helga baik, guys. Kami juga sering makan bareng kok kalo lagi ketemu jadwalnya.”
“Kok bisa?” tanya Miranda.
“Yaaa, karena emang baik-baik aja,” jawab Dona melihat Miranda dan Maharani bergantian, “dia mantan Jo, yes, tapi bukan berarti gue gak bisa berteman sama mantannya, kan?”
“Ya iya. Tapi kok bisa? Gue gak bisa deh deket sama mantan cowok gue,” ucap Miranda.
Dona melipat kedua tangannya di atas meja, “hhmm, karena gak perlu kesel atau cemburu. Menurut gue ya, dia orang yang pernah ada di masa lalu Jo, that’s a fact, tapi bukan berarti gue harus kesel atau cemburu kalo liat dia atau ketemu dia sampe gak bisa jadi temenan, kan?”
“Apa nih, aku denger nama aku di sebut-sebut,” kata Johnny yang datang dan langsung duduk di sebelah Dona.
“Kamu udah liat Helga jadi BA Hera?”
“Oh itu? Udah, aku udah liat pengumuman Hera soal itu,” jawab Johnny santai menyendok nasi. “Anyway, lo ke sini gak mau cerita apa gitu, Ra?” pancing Johnny.
“Apa? Si Ara abis ngapain dia?” tanya Dona penasaran.
“Lo tau rahasia apa, Bang?” tanya Miranda.
Johnny tertawa dan berkata, “tau tuh si Ara.”
“Kak Baskara udah cerita sama lo ya, Bang?”
“Ha? Apa sih?” Dona makin penasaran.
“Gue udah jadian sama Baskara,” ucap Maharani yang langsung di sambut riuh rendah kedua kakaknya. Pertanyaan kapan? Kok bisa? Keluar dari mulut kedua kakaknya dan Maharani pun menceritakan semuanya. Sejak pertemuan mereka di malam ulang tahun Baskara hingga akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih di awal bulan Juni ini.
Miranda dan Dona memberikan selamat pada adik mereka dan ikut senang mengingat bagaimana sendunya Maharani saat overthinking menyita otaknya.
“Tapi, Kak,” ucapnya terlihat sedih, “gimana kalo nantinya Ayah gak kasih restu lagi?” tanyanya menunduk. 3 hubungannya di masa lalu tidak ada yang mendapatkan restu dari sang Ayah.
“Kali ini Ayah pasti setuju,” ucap Miranda meyakinkan adiknya.
“Gue juga yakin,” kata Johnny membuat Maharani mengangkat kepalanya dengan wajah penuh tanya. “Om Andi keliatan seneng sama Baskara. Beberapa kali gue sama Baskara lunch bareng sama si Om.”
“Yaaa, kan bisa aja seneng secara personal atau karena kerjaan, Bang. Kalo buat jadi pacar gue ya belom tentu juga.”
“Lo kok jadi pesimis sih, Ra,” ucap Dona, “lo kepikiran apa?”
“Gue gak tau kriteria ayah yang gimana biar gue pacaran bisa dapet restu. Galih sama Aldo dulu juga dari keluarga berada, Ayah gak kasih restu. Caka yang dari keluarga biasa aja juga gak dapet restu berujung putus cuma pacaran gak sampe setengah taun dulu.”
“Ayah gak pernah mandang status sosial, Ra. Lo inget gak mantan gue yang dulu si Andre? Gue sama dia dulu dapet restu ayah. Lo juga tau dia dari keluarga yang biasa aja,” jedanya melihat raut wajah adiknya, “lo takut kalo Ayah gak kasih restu, cepet atau lambat lo bakal putus sama Baskara?”
Maharani menganggukkan kepalanya, “kayak udah hukum alam aja gitu, Kak.”
“Gue sama Andre juga ujungnya putus, kan?” ucap Miranda, “restu ayah emang penting, tapi bukan berarti itu jadi curse hubungan kita, Ra.”
“Jadi pada overthinking sendiri, mending lo kasih tau Om Andi, Ra,” kata Johnny.
“Iya. Jangan dibawa pusing sendiri, gak baik buat kesehatan lo, Ra,” tambah Dona.
...♥...
“Kenapa mukanya di tekuk gitu?” tanya Baskara sembari tangan kirinya menggenggam tangan Maharani dan tangan kanannya di stir mobil. Kemarin Maharani mengajak Baskara untuk mencoba bakso yang sedang viral di jagat maya. Tampilan dan rasa yang menggoda, membuatnya lapar meski baru saja menyelesaikan makan siangnya. Maka, di sinilah mereka. membelah jalanan ibu kota.
“Aku lagi kepikiran sesuatu sebenernya, Kak.”
“Apa tuh kalo aku boleh tau?” tanya Baskara lembut dan mengusap punggung tangan Maharani dengan ibu jarinya.
Kalimat itu sudah di ujung lidahnya, tapi Maharani tidak bisa mengeluarkannya. Dia merasa bimbang harus mengutarakan kegundahan hatinya atau tidak. Terlebih hubungan mereka yang masih seumur jagung. Dia tahu, Baskara tidak akan menganggapnya berlebihan, tapi rasanya, seperti terlalu dini untuk memikirkan hal itu.
“*It’s okay* sayang kalau gak bisa cerita,” ucap Baskara.
Maharani pun tersenyum lega memiliki pacar yang begitu pengertian. Rasa kelu di lidahnya seperti hilang.
“Tapi, kalau kamu udah siap buat cerita sama aku, aku akan selalu siap buat dengerin kamu,” katanya, “kamu bisa bagi beban kamu sedikit ke aku,” tambahnya kemudian mengelus punggung tangan kekasihnya.
Makan bakso di hari terik memang tidak pernah salah. Panas, pedas, gurih dan rasanya yang ternyata benar-benar bisa menggoyang lidah, terasa sangat memuaskan. Ditambah segelas es teh manis dingin yang mengguyur semua rasa panas dan pedas.
“Shopping yuk,” ajak Baskara setelah dia membayar dan masuk ke dalam mobil, menyusul Maharani yang sudah lebih dulu masuk.
“Tiba-tiba?” kekeh Maharani.
“Kamu gak ada yang lagi pengen di beli emangnya?” tanya Baskara menjalankan mobilnya.
“Heemmm, sebenernya ada sih. Ya udah deh,” ujarnya ceria.
“Ya udahnya kayak kepaksa tapi seneng,” ledek Baskara yang kemudian mendapat pukulan di pangkal lengannya.
Mereka menikmati keheningan diantara mereka dengan alunan musik yang menggema dari *speaker* mobil. Maharani yang memilih *playlist* mereka siang ini.
“Kak,” Baskara menanggapinya dengan ‘hhmm’, “aku tuh sebenernya kepikiran.”
“Kamu kepikiran apa, Sayang?”
“Maaf kalo ini kedengerannya nyebelin karena aku nyebut mantan aku.”
“Mantan kamu ada yang gangguin kamu?” tanya Baskara cepat.
Maharani menggelengkan kepalanya dan berkata, “Bukan. Jadi, aku ada pengalaman gak enak dalam hubungan aku sebelumnya,” Baskara melirik sedetik sebelum mengembalikan pandangannya ke jalanan, “dari dulu aku gak pernah dapet restu dari Ayah. Sama semua mantan aku, Kak.”
Hening sesaat sebelum Baskara akhirnya menangkap kegelisahan Maharani, “kamu takut kalo Ayah juga gak ngasih kita restu?” tanyanya memberhentikan mobil ketika lampu merah menyala, menatap mata Maharani yang terlihat layu. Gadis itu menganggukkan kepalanya dan meraih tangan Baskara. “Kamu gak usah khawatir, Sayang. Soal restu Pak Andi, biar aku yang mengusahakan. Kamu hanya perlu ada di sini,” Baskara membawa tangan Maharani di depan bibirnya dan mencium punggung tangan Maharani. “Jangan di pikirin ya,” tambahnya.
“Terus aku? Masa aku cuma diem aja?” bibir Maharani melengkung ke bawah.
Baskara terkekeh, “kamu cukup bahagia biar aku gampang bujuk Ayah kamu,” ucapnya ringan sambil tersenyum lebar.
Bukan hanya kalimat Baskara yang membuatnya tenang, tetapi pancaran rasa percaya, suara, sorot matanya, dan aura yang dipancarkan Baskara berhasil membuatnya merasa aman.
Siang hari itu, sepasang kekasih yang sedang dirundung rasa kasmaran, menghabiskan hari dengan perasaan riang dan senang. Senyum Maharani semakin lebar, saat dia selesai memilih lipstik prada yang dia inginkan.
“Makasih ya, Kak,” ucap Maharani melingkarkan tangannya pada tangan Baskara ketika pria itu selesai membayar lipstiknya tersebut. Baskara pun ikut tersenyum melihat wajah cerah Maharani.
“Sama-sama, Sayang,” ucapnya manis.
...♥
...