Nico Melviano, dia merasa dirinya pria bodoh membuang waktu bertahun-tahun menunggu cinta berbalas. Tapi ternyata salah, wanita itu tidak pantas untuk ditunggu.
Cut Sucita Yasmin, gadis Aceh berdarah Arab. Hanya bisa menangis pilu saat calon suaminya membatalkan pernikahan yang akan digelar 2 minggu lagi hanya karena dirinya cacat, karena insiden tertabrak saat di Medan. Sucita memilih meninggalkan Banda Aceh karena selalu terbayang kenangan manis bersama kekasih yang berakhir patah hati.
Takdir mempertemukan Nico dengan Suci dan mengikat keduanya dalam sebuah akad nikah. Untuk sementara, pernikahannya terpaksa disembunyikan karena cinta keduanya terhalang oleh obsesi seorang perempuan yang menginginkan Nico.
Bagaimana perjalanan rumah tangga keduanya yang juga mengalami berbagai ujian? Cus lanjut baca.
Cover by Pinterest
Edit by Me
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Minggu Kita
Hembusan angin malam yang menerpa, tak mampu memberi kesejukan pada hati yang galau. Cintanya yang tulus untuk Suci terganjal beban rasa bersalah insiden kecelakaan waktu itu.
"Kamu jangan pesimis, Bro. Kecelakaan itu terjadi tanpa sengaja, dan kamu pun sudah bertanggung jawab.Came on! Datangi Suci, dia pasti menunggumu."
Malik tidak akan membiarkan Nico terpuruk kembali. Ia akan ikut membantu memperjuangkan cinta sahabatnya itu. "Gini ya, kamu jalani saja seperti air mengalir. Pasrahkan saja semuanya pada Tuhan. Kalau dia ditakdirkan menjadi jodohmu, dia pasti akan menerima kejujuranmu. Simpel kan?"
Nico memandang Malik dengan memicingkan mata. Setelah dipikir-pikir, benar juga apa yang dikatakannya. Ya, sebaiknya jalani saja dulu, tak harus mellow begini. Seketika, semangat dan asanya kembali bangkit. Ia melirik jam yang melingkar di tangannya, pukul 20.30. "Ini sudah malam, gak mungkin aku kembali ke rumahnya sekarang."
"Kalau gak mungkin, kasih kabar kek, minta maaf kalau malam ini gak jadi datang karena ada halangan,--" sahut Malik memberi masukan. Ia hanya geleng-geleng kepala melihat sahabatnya jadi lemot.
"Kamu benar." Nico menjentikkan jarinya. Pikirannya yang dipenuhi dengan satu nama beserta bayangan wajahnya, membuat Nico mendadak stupid.
Senyumnya kembali terbit selepas mengirimkan pesan kepada Suci, dan lima menit kemudian mendapat balasan.
"Besok aku akan ke rumahnya." Nico berbicara pada dirinya sendiri. Mata yang tadi redup dan sendu kini kembali berbinar. "Dingin, Bro. Balik yuk!" Nico melemparkan kunci mobilnya yang langsung ditangkap Malik. Malik hanya bisa menggerutu, siapa suruh nongkrong di fly over, sudah dingin ditambah pegal karena terus berdiri.
"Hm, kamu harus bayar mahal, ideku sudah mengembalikan percaya diri lo." Malik mengarahkakn mobil ke pusat kota menuju sebuah Restoran Timur Tengah.
Mereka masuk ke dalam restoran yang menyajikan menu khas Turki. Interiornya sangat mewah dengan lampu-lampu kristal yang tergantung indah, seolah berada di ruang makan istana Sultan.
"Silakan Tuan Malik, makan sepuasnya!" Nico menantang Malik yang terperangah dengan banyak hidangan yang tersaji di meja. Kuzu Incik Hunkar Begendi, menjadi menu utama yang mereka pesan. Hidangan lezat kaki kambing yang dibakar di atas wood - fire, dibakarnya semalaman sehingga teksturnya empuk dan tentunya mahal.
****
Suci akhirnya bisa tidur nyenyak setelah mendapat pesan dari Nico. Setidaknya dirinya tidak gelisah terus menatap jam di dinding menunggu kedatangan Nico. Rafa, dirinya pamit setelah setengah jam bertamu di rumah Suci. Ia berharap Suci mau memikirkan kembali permintaannya untuk merajut kembali hubungan.
"Assalamualaikum,--" suara Nico mengagetkan Suci yang sedang memindahkan anak tanaman ke pot yang baru. Ia tidak tahu kedatangan Nico karena berjongkok membelakangi jalan, juga tak menyangka akan datang pagi.
"Waalaikumsalam. Eh, aku kira mau datang siang,-" Suci nampak salah tingkah karena dirinya hanya memakai baju rumahan dengan tangan yang belepotan tanah. Untung aku sudah mandi subuh, batinnya.
"Aku sudah gak sabar pengen ketemu kamu, karena tadi malam gak jadi." Nico yang masih berdiri berhadapan, menatap Suci yang memalingkan wajah karena tersipu.
Suci mengajak Nico masuk dan duduk di ruang tamu. "Mas Nico, aku tinggal dulu sebentar ya, mau cuci tangan dan ganti baju dulu." Suci meninggalkan Nico dengan rasa deg degan yang tiba-tiba hadir. "Ya Allah, apa aku benar-benar sudah menyukainya." Suci meraba dadanya yang memang terasa berdegup lebih kencang.
Candra datang menhampiri Nico setelah diberi tahu oleh Suci. "Apa kabar, Pak Nico?" Candra menjabat tangan Nico yang langsung berdiri saat Candra datang.
"Please, panggil Nico saja Bro, mau di kantor atau di luar. Bukankah kita seusia?" Nico selalu menegur Candra setiap memanggilnya 'Pak' saat di kantor. Apalagi sekarang dirinya sebagai tamu di rumah Candra.
"Ah iya, Nico. Maaf aku selalu kebiasaan, hehe." CAndra terkekeh mendapat teguran Nico.
"Mungkin esok lusa aku akan memangilmu Abang, kalau aku jadi adik iparmu,--" Nico tersenyum simpul menatap Candra.
"Kamu beneran serius dengan Suci?" Kali ini Candra menatap tajam Nico. Ia seolah ingin mengorek kebenaran dari sorot mata coklat tamu di hadapannya itu.
Nico mengangguk kuat. "Aku telah menemui Umi, untuk meminta izin mendekati putrinya. Tinggal bagaimana Suci mau menerimaku atau tidak."
Obrolan terhenti saat Suci datang membawa tiga gelas teh hangat serta cake keju dan menyimpannya di meja. "Silakan kalian ngobrol, aku tinggal ke atas dulu ya," Candra mengambil gelas miliknya. Ia sengaja meningalkan mereka berdua agar leluasa berbincang.
"Ehm. Maaf ya tadi malam gak jadi datang, tiba-tiba ada urusan pekerjaan." Nico memiih tidak jujur kalau dia sebenarnya sudah sampai, hanya saja keduluan mantannya. Ia tidak ingin merusak suasana saat ini, ia hanya ingin membahas 'Aku dan Kamu'.
"Iya Mas gak apa-apa, aku memang khawatir takut terjadi sesuatu di jalan. Untung Mas Nico ngasih kabar, jadi aku bisa tidur deh."
"Oh ya, jadi kamu mengkhawatirkan aku? Khawatir itu tanda apa ya,--" Nico mencondongkan tubuhnya, dengan tangan menopang dagu menatap Suci lebih dekat yang duduk di sebrang meja.
Suci merasa deg degan lagi mendapat tatapan lembut dan intens dari Nico. Padahal tadi jantungnya sudah berhasil normal, kini berpacu kencang lagi. "Apaan sih Mas Nico,--" Suci memalingkan wajah tersipunya ke sembarang arah.
"Aku sangat suka menatap wajah cantikmu merona." Nico membatin senang. Ia terkekeh melihat Suci yang kembali tersipu karenanya.
Hari ini menjadi titik awal pendekatan keduanya. Obrolan santai mengalir ringan, membahas segala hal termasuk isu politik juga berita terkini. Suci pun sudah bisa lebih rileks berhdapan dengan Nico.
"Hm. Mas Nico, soal pertanyaan waktu itu., boleh aku menjawabnya sekarang?"
Suasana yang awalnya santai, kini terasa horor untuk Nico. Ia akan mendengar jawaban dari Suci sekarang.
"Iya Suci. Katakan saja!" Nico mendadak menahan nafas saat mata keduanya saling bersitatap.
"Aku,--" Suci menundukkan kepalanya, ia merasa gugup untuk berucap.
Demi apapun, Nico merasa tubuhnya panas dingin dan tegang menunggu Suci yang belum menyelesaikan kalimatnya.
Suci mengangkat kembali wajahnya, menatap lurus wajah tampan berjambang tipis di depannya. " Aku juga menyukai mas Nico!"
Nico tersenyum lega mendengar perkataan Suci yang membuat hatinya basah. Andaikan boleh, ingin sekali Nico memeluknya meluapkan rasa bahagia dirinya. "Terima kasih Sucita, kamu sudah menyukaiku, semoga seiring waktu berubah menjadi cinta. Tak apa, biar aku dulu yang mencintaimu," ujar Nico dengan tersenyum lebar.
Suci hanya membalas dengan senyuman manisnya. Diteguknya teh yang tinggal setengahnya lagi, sudah dingin karena lama didiamkan. Ia pun merasa lega setelah membuat keputusan yang sudah dipikirkan sejak semalam.
"Nikah yuk!"
Dan Suci pun tersedak dibuatnya.
Cocok sih...pengusaha emas dan pengusaha hotel 😍