NovelToon NovelToon
DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Mafia / Romansa / Enemy to Lovers / Roman-Angst Mafia
Popularitas:402
Nilai: 5
Nama Author: Aruna Kim

Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11

Satu bulan kemudian......

Moskow hari itu seolah membeku dalam keheningan yang megah. Langitnya abu-abu, dan salju jatuh perlahan seperti serpihan kaca dari surga.

Hari itu, seluruh mansion Dragunov berubah menjadi panggung pernikahan yang menakjubkan: aula utama dihiasi bunga mawar putih, kristal yang menggantung dari langit-langit, dan cahaya lilin yang bergetar lembut di antara bayangan dinding batu tua.

Apollo berdiri di ruang pribadinya, di depan cermin antik yang besar.Ia mengenakan jas hitam dengan krah tinggi khas Dragunov. Kemudian, sebuah bross lambang kehormatan tersemat di dadanya simbol keluarga Dragunov.

Rambutnya tersisir rapi, tapi wajahnya tetap memancarkan aura keras dan dingin seperti biasa.Di tangannya, sebatang pena perak tergeletak di atas meja. Ia menatap pena itu lama, seolah ingin menulis sesuatu tapi tidak tahu harus mulai dari mana.

“Sudah waktunya, Tuan.”

Johan berdiri di pintu, rapi seperti bayangan yang setia.

Apollo hanya mengangguk. Tak ada emosi di wajahnya. Ia menatap pantulan dirinya sekali lagi, memandang mata kelamnya yang tidak menunjukkan apa pun.Lalu ia berbalik, melangkah keluar.

Musik lembut memenuhi aula besar itu. Semua tamu berdiri, kepala mereka menoleh bersamaan ketika pintu utama terbuka.Dari balik cahaya lembut chandelier, seorang wanita muncul.

Lyora.

Langkahnya pelan, nyaris tak bersuara di atas lantai Gaunnya tampak putih di bawah cahaya kristal chandelier, padahal Apollo tahu warna aslinya merah muda lembut warna yang dipilih Lyora sendiri.

Ia tahu karena diam-diam memesan khusus pada desainer agar warnanya diubah dengan teknik pencahayaan.Gaun itu tampak seperti salju, tapi jika cahaya meredup sedikit, bayangan merah muda samar muncul dari lipatan satin, seolah rahasia yang hanya dimengerti oleh mereka berdua.

Apollo menatapnya dalam diam.Ia tahu Lyora tak suka warna itu karena baginya, putih adalah simbol kehilangan. Ia pernah berkata, “Putih bukan tentang kemurnian, tapi tentang sesuatu yang telah pergi, meninggalkan ruang kosong.”

Namun hari ini, ia mengenakannya juga.Veil tipis menutupi kepala Lyora, turun sampai menutupi bagian bawah wajahnya.Yang tampak hanya matanya, mata tenang yang seperti menyimpan ribuan kalimat yang tak lagi perlu diucapkan. Ketika pandangan mereka bertemu, waktu seperti berhenti sesaat.

Apollo bisa merasakan dadanya berdetak kencang.Entah kenapa, setiap kali melihat Lyora dalam diam seperti itu, ia merasa kalah.

Bukan karena ia mencintai wanita itu ,tapi karena Lyora tidak pernah benar-benar mencoba membencinya. Ia hanya… menerima.

Musik berhenti.Lyora kini berdiri di hadapan nya, di bawah altar. Cahaya chandelier jatuh di atas rambut dan gaunnya, membuatnya tampak seperti mimpi yang terlalu jauh dijangkau.

Penghulu mulai membaca doa.

Kata-kata mengalun panjang, tapi Apollo hanya mendengar napasnya sendiri. Dunia di sekitarnya mengabur, hanya ada Lyora, hanya ada jarak beberapa sentimeter antara mereka, dan tatapan itu.

Saat tiba waktunya cincin pernikahan diserahkan, tangan Lyora sedikit bergetar. Ia menatap cincin di telapak tangan Apollo, lalu menatap pria itu.Sorot matanya mengatakan, “Kau tidak harus melakukannya jika hatimu di tempat lain.”

Apollo menahan napas.Tangannya perlahan menggenggam tangan Lyora, dingin dan ringan seperti salju di luar.Ia menatap cincin itu lama, sebelum akhirnya memasangkannya di jari manis Lyora.

“Sekarang kau tak bisa melepaskannya lagi,” ucap Apollo pelan, suara itu nyaris seperti ancaman yang dibungkus ketenangan.

Lyora menatapnya di balik veil, lalu menjawab lirih, hampir seperti doa yang patah,“Bahkan jika aku tak pernah memakainya dengan hati.”

Dentuman lembut orkestra kembali mengalun. Para tamu bertepuk tangan.

Bagi mereka, itu adalah momen sakral, pernikahan agung keluarga Dragunov yang dipenuhi keindahan dan kemegahan.

Namun bagi Apollo, setiap tepuk tangan itu terdengar seperti gema kosong.Ia menatap Lyora yang menunduk di sampingnya, dan di dalam hatinya muncul perasaan aneh, sebuah kesadaran pahit .

Bahwa ia tidak sedang menikahi seorang wanita, tapi sedang menandatangani perjanjian dengan masa lalu yang belum selesai.Saat ia memegang tangan Lyora untuk berjalan menuruni altar, ia merasakan jari wanita itu menggigil halus. Mungkin karena dingin. Atau mungkin karena sesuatu yang lebih dalam dari itu , sesuatu yang tak bisa dihangatkan oleh api mana pun.

Dan di luar jendela, salju masih turun.

Putih, sunyi, menutupi setiap warna yang tersisa. Seindah dusta yang kini mereka kenakan bersama.

...****************...

Sementara di tengah hiruk pikuk pesta pernikahan itu, di bawah gemerlap lampu gantung kristal, denting gelas sampanye, dan tawa para tamu yang memuji keanggunan pasangan Dragunov, tidak ada satu pun yang menoleh ke atas.

Di balkon megah yang mengelilingi aula, di antara tirai beludru dan bayangan lampu, berdirilah seorang wanita bertopeng rubah silver. Gaun hitamnya berkilau samar tertimpa cahaya lilin, dan rambut panjangnya tersapu angin dari jendela terbuka di belakangnya.

Tatapannya tajam, menusuk ke arah altar tempat Apollo dan Lyora berdiri menerima ucapan selamat dari tamu kehormatan.

Namun di balik dinginnya sorot mata itu, ada sesuatu yang jauh lebih rumit. Sebuah campuran antara kehilangan, dendam, dan kerinduan yang disembunyikan rapat-rapat di balik topeng perak itu.

Tangannya menggenggam pagar balkon perlahan, seolah menahan sesuatu agar tidak pecah. Lalu bibirnya bergerak, berbisik pelan, nyaris tak terdengar di tengah riuh orkestra:

“Selamat atas pernikahanmu, Apollo Axelion Dragunov.”

Cahaya lampu menyorot wajahnya sejenak, cukup untuk memperlihatkan kilatan emosi. Dan sebelum siapa pun menyadarinya, wanita itu berbalik, melangkah perlahan menuju pintu balkon yang gelap, langkahnya senyap seperti bayangan.

Pintu itu tertutup pelan.Dan di bawah sana, pesta tetap berlanjut, seolah tidak ada yang berubah, seolah masa lalu tidak sedang menatap mereka dari kegelapan.

Musik berganti menjadi lebih riang. Aula besar kini dipenuhi cahaya keemasan dan suara gelas bersulang. Lyora berjalan dengan gaun putihnya yang berkilau lembut di bawah lampu chandelier, tersenyum pada tamu-tamu yang datang menghampiri.

Ia tampak tenang, namun di balik senyum itu, matanya sesekali menatap sekeliling, seolah mencari sesuatu… atau seseorang.

Apollo berdiri di sampingnya, setelan hitam nya mencerminkan sosok penguasa yang karismatik dan tak terbaca. Setiap kali seseorang menyalami mereka, Lyora menunduk sopan, sementara Apollo hanya mengangguk singkat, wajahnya nyaris tanpa ekspresi.

Eliot dan Johan mengawasi dari kejauhan, berdiri di dekat meja tamu kehormatan.

“Dia tampak bahagia,” gumam Johan pelan.

“Tidak. Dia tampak seperti seseorang yang sedang menahan napas,” jawab Eliot, menatap Lyora lekat-lekat.

......................

Malam itu, mansion Dragunov berubah sunyi.

Pesta telah usai, para tamu telah pergi, dan hanya sisa lilin di lorong utama yang masih menyala, menyisakan aroma mawar putih dan wine yang samar.

Di lantai atas, pintu kamar pengantin terbuka perlahan. Apollo masuk lebih dulu, jas hitam nya kini sedikit kusut, dasinya terlepas longgar. Langkahnya berat tapi tenang, seperti seseorang yang tahu apa yang akan ia lakukan dan juga apa yang tidak akan ia lakukan.

Lyora menyusul dari belakang. Gaun pengantin nya kini berganti menjadi dress malam berwarna lembut, rambutnya terurai di bawah cahaya lampu kamar yang redup. Ia tampak seperti mimpi yang seharusnya indah, tapi di mata Apollo… hanya menjadi simbol dari sesuatu yang ia tak ingin percayai: cinta.

Apollo berdiri di dekat jendela besar. Tirai bergoyang diterpa angin malam. Tanpa menoleh, ia berkata pelan, “Aku tidak akan menyentuhmu malam ini. Tunggu saja selama sepuluh tahun.”

Kata-kata itu dingin, tapi juga terasa seperti perjanjian yang diucapkan dengan seluruh beban masa lalu.

Lyora menatap punggungnya lama, sebelum akhirnya tersenyum kecil. Senyum yang anehnya... bukan getir, bukan juga pahit.

Ia hanya melangkah pelan mendekat, berdiri di sisi tempat tidur, lalu menjawab lembut,

“Kenapa sepuluh tahun?”

Apollo menoleh sedikit, tatapannya tajam namun kosong.Ia tak menjawab, hanya menatapnya, seperti sedang menimbang apakah gadis di depannya benar-benar mengerti arti dari batas yang baru saja ia buat.

Lyora melangkah lebih dekat. Dalam jarak satu lengan, matanya menatap lurus ke mata Apollo, mata biru gelap yang menyimpan badai. “Sepuluh tahun , seratus tahun… sepuluh ribu pun aku tak masalah,” katanya lirih. “Jika itu mampu menjagamu dari luka yang kau takutkan.”

Kata-kata itu membuat udara di antara mereka seakan membeku.Apollo menahan napas sejenak, antara heran dan terguncang oleh ketenangan suara Lyora.

Namun, seperti biasanya, ia memilih untuk tidak menanggapinya.Pria itu hanya berjalan melewati Lyora, mengambil gelas di meja, lalu meneguknya perlahan. “Tidurlah,” katanya singkat, nada suaranya seperti pintu baja yang menutup rapat.

Lyora duduk di tepi ranjang, memandangi punggungnya dalam diam. Cahaya lampu menyorot wajahnya setengah, memperlihat kan senyum kecil yang sulit ditebak , antara ketulusan atau… rahasia yang terpendam.

Ia kemudian menatap cincin di jarinya, mengusap permukaannya lembut. “Aku akan menunggumu… bahkan jika kau tak pernah datang.”

Di luar, salju mulai turun lagi, menempel di kaca jendela.Apollo berdiri memunggunginya, menatap langit gelap yang tak berbintang.

Namun jika seseorang cukup peka malam itu mereka mungkin akan melihat sesuatu di mata Apollo: secercah bayangan masa lalu yang belum hilang… dan rasa takut yang tak mau dia akui, bahkan pada dirinya sendiri.

1
tefa(♡u♡)
Thor, aku tunggu cerita selanjutnya, kasih kabar dong.
Aruna Kim: siap !. update menunggu
total 1 replies
shookiebu👽
Aduh, abis baca ini pengen kencan sama tokoh di cerita deh. 😂😂
<|^BeLly^|>
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!