NovelToon NovelToon
MANTAN TENTARA BAYARAN: SEORANG MILIARDER 2

MANTAN TENTARA BAYARAN: SEORANG MILIARDER 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Mata-mata/Agen / Trauma masa lalu / Action / Crazy Rich/Konglomerat / Kaya Raya / Balas Dendam
Popularitas:11.9k
Nilai: 5
Nama Author: BRAXX

Setelah menumbangkan Tuan Tua, James mengira semuanya sudah selesai. Namun, di akhir hidupnya, pria itu justru mengungkapkan kebenaran yang tak pernah James duga.

Dalang di balik runtuhnya keluarga James bukanlah Tuan Tua, melainkan Keluarga Brook yang asli.

Pengakuan itu mengubah arah perjalanan James. Ia sadar ada musuh yang lebih besar—dan lebih dekat—yang harus ia hadapi.

Belum sempat ia menggali lebih jauh, kemunculan lelaki tua secara tiba-tiba:
Edwin Carter, penguasa Pulau Scarlett yang ternyata adalah ayah kandung Sophie.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SKY!!

Pearl Villa – Setelah Makan Malam, Ruang Keluarga

Rumah itu sunyi kecuali bunyi detak jam dan gesekan kepingan puzzle di atas meja. James duduk bersila di lantai, dengan hati-hati menyusun potongan-potongan puzzle, sementara Chloe dan Felix berdiri di sampingnya. Wajah kecil mereka bersinar penuh rasa ingin tahu, setengah memperhatikan James, setengah tenggelam dalam obrolan mereka sendiri.

“Kakak,” Felix tiba-tiba bersuara, mengayunkan kakinya saat duduk di sofa. “Tadi guru mengatakan bahwa ada superhero yang menyelamatkan dunia.”

Chloe menggelengkan kepala dengan sikap sok tahu. “Tidak, Felix. Dia adalah seorang perempuan. Bukan laki-laki.”

James tersenyum tipis tanpa mengangkat pandangan dari puzzle. “Kalian berdua mendengarnya dengan benar.”

Felix mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya membesar. “Aku juga mau menjadi superhero! Kak, bagaimana caranya aku bisa mendapatkan kekuatan super?”

Chloe mengernyitkan hidungnya. “Kekuatan super itu tidak nyata, Felix.”

James terkekeh melihat perdebatan itu, sambil memasukkan potongan puzzle ke tempatnya “Kalau kau benar-benar mau kekuatan super,” katanya dengan nada setengah bercanda, setengah serius, “kau harus belajar bertanggung jawab. Kau harus pintar, kuat… dan yang paling penting, makan sayur-sayuran yang sehat.”

Felix mengeluh dramatis, menjatuhkan tubuhnya ke sofa. “Tapi aku tidak suka wortel!”

Chloe cepat menyahut, menyilangkan tangan. “Dan aku tidak suka kubis.”

James menggelengkan kepala, berpura-pura kecewa. “Kalau begitu kalian akan tetap menjadi orang biasa, bukan superhero.”

Kedua anak kembar itu terkejut dengan ekspresi pura-pura ngeri.

“Tunggu, tunggu!” Felix duduk tegak, berpikir keras. “Apa ada cara lain? Seperti… mungkin aku digigit laba-laba? Atau aku bisa meminum ramuan, seperti di kartun-kartun!”

James berpura-pura berpikir, mengetuk dagunya. “Hmm… mungkin. Tapi aku yakin ramuan itu dibuat dari sayuran.”

“Membosankan!” Chloe berkata dengan desahan dramatis, menggelengkan kepalanya. “Lupakan kekuatan super. Aku akan bekerja saja. Kakak, maukah kau mempekerjakanku?”

James tertawa pelan, akhirnya menatapnya. “Tentu saja aku akan mempekerjakanmu. Tapi hanya kalau kau belajar dengan rajin.”

Chloe mengembungkan pipinya lalu mengangguk mantap. “Aku akan melakukannya, Kak.”

Sebelum Felix sempat membantah, suara mobil terdengar samar dari luar jendela. Telinga si kembar langsung terangkat.

James meletakkan satu keping puzzle lagi dan bersandar ke belakang. “Sepertinya Mama dan Ayah sudah pulang.”

“Aku yang akan membukakan pintu!” teriak Felix, sudah melompat turun dari sofa. Kaki kecilnya berlari cepat ke arah pintu masuk.

Dia menarik pintu dengan kedua tangannya. Julian dan Sophie berdiri di sana, mantel masih dikenakan, tampak sedikit lelah setelah seharian di Atelier namun langsung tersenyum saat melihatnya.

“Mama!” seru Felix, menarik tangan Sophie. “Bisa buatkan aku ramuan sayur? Aku mau menjadi superhero!”

Sophie berkedip, terkejut. “Apa?”

“Ramuan sayur!” ulang Felix dengan sungguh-sungguh.

Chloe berlari mendekat sambil tertawa kecil. “Iya, Mama! Dia bilang mau punya kekuatan.”

Pandangan Sophie melirik ke arah James yang masih duduk di ruang keluarga, dan semuanya langsung tersambung. Dia menyembunyikan senyumnya dan mengangguk. “Ohh, tentu saja. Mama akan membuatkannya.”

Mata Felix berbinar. “Tolong tambahan wortel juga didalamnya!”

Sophie membungkuk, mengusap rambutnya. “Tentu, sayang. Mama akan membuatkannya besok.”

“Terima kasih, Mama!” Felix memeluk pinggangnya erat.

Sophie melangkah masuk, matanya tertuju pada James. Dia masih duduk di lantai, membungkuk di atas puzzle, dengan hati-hati memasang beberapa keping terakhir puzzle. Sophie memiringkan kepala, tertawa dalam hati.

“Perlu Mama belikan mainan juga untukmu, Nak?” godanya.

James menatapnya dengan senyum tipis. “Benarkah? Belikan aku lebih banyak puzzle. Itu membuatku tetap fokus.”

Julian tertawa kecil sambil menggantungkan mantelnya. “Aku juga suka puzzle.”

Sophie memutar mata sambil tertawa pelan. “Kau juga? Sejak kapan kalian berdua menjadi seperti anak-anak?”

Felix berlari kembali ke dalam ruangan tepat saat James memasang kepingan terakhir ke tempatnya. Puzzle itu kini lengkap di atas meja—seorang superhero, jubahnya berkibar, berdiri tegak di depan latar kota yang dilukis.

“Akhirnya!” Felix mengangkat kedua tangannya. “Superhero!”

Semua mata tertuju pada puzzle itu.

Bertahun-tahun Lalu — Markas Hutan The Veil

Di sekitar api, para tentara bayaran bernyanyi dengan suara serak, cangkir saling beradu, sambil tertawa terbahak-bahak.

“Untuk Sky!” teriak seorang pria sambil mengangkat cangkir tinggi-tinggi. “Atas keberhasilan misi penyamarannya!”

“Tiga tahun, ya?” Sky tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Tiga tahun sejak aku melihat kalian seperti ini, orang tua. Aku merindukan ini.”

“Tua?” bentak tentara bayaran itu sambil membusungkan dada. “Aku masih muda!”

Kelompok itu kembali meledak dalam sorak-sorai mabuk. Kehangatan markas, wajah-wajah yang ia kenal, membuat Sky merasa seolah akhirnya pulang ke rumah.

Dari tengah kerumunan muncul Van, tegap dan tenang, “Hei, Sky. Lama tidak bertemu. Selamat atas misimu. Komandan menceritakan semuanya tentang keberanianmu.”

“Kau tidak pernah berubah, Van.” Sky tersenyum sinis. “Kudengar Komandan menjadikanmu wakil komandan.”

Van mengangkat bahu, hampir malu. “Tidak sepenuhnya. Wakil yang sebenarnya sedang… sibuk. Aku hanya menggantikannya sementara.”

Para pria kembali tertawa, musik dan bunyi cangkir kembali beradu.

Sky membiarkan dirinya menikmati pemandangan itu, sampai matanya menangkap seseorang yang seharusnya tidak ada di tempat itu—seorang anak kecil, tak lebih dari sepuluh tahun, duduk sendirian di atas batu, menatap bintang-bintang di langit.

Suaranya melembut. “Siapa anak itu?”

Van mengikuti arah pandangannya. “Dia? Kami menyelamatkannya dari jaringan perdagangan manusia. Dia kehilangan ingatannya. Kami mencoba mencari orang tuanya, tapi… tidak ada hasil. Dia sudah disini sejak saat itu.”

“Kenapa dia duduk di sana seperti itu?”

Seorang tentara bayaran lain mengangkat bahu. “Entahlah. Dia melakukannya setiap malam. Hanya duduk di sana, menatap langit seperti sedang mencari sesuatu. Tapi dia anak yang baik.”

Sky memiringkan kepalanya. “Siapa namanya?”

Van menghela napas. “Dia tidak ingat. Kami hanya memanggilnya ‘little bud.’”

Sky tertawa kecil. “Kalian ini… setidaknya berikan dia nama.”

Dia meminta izin meninggalkan api unggun lalu berjalan mendekati anak itu.

“Hai, little bud,” dia menyapa dengan lembut.

Anak itu menoleh. “Hai.”

“Apa yang sedang kau lihat?” tanya Sky.

“Hydra.”

Sky berkedip. “Apa?”

Dia mengangkat tangan, menunjuk ke langit. “Konstelasi bintang itu. Hydra. Bentuknya seperti ular. Tahukah kau itu menutupi tiga persen langit?”

Sky mendekat, mengikuti arah jarinya. Ia menyipitkan mata, lalu terkejut pelan. “Wah. Kau benar. Bagian itu—mirip seperti kepala ular.”

“Ya.” Suaranya melembut, tapi pandangannya tidak berpaling. “Paling jelas terlihat di April.”

Sky tersenyum tipis. “Kalau begitu kita beruntung. Terima kasih sudah menunjukkannya padaku.”

Untuk pertama kalinya, bibir anak itu bergerak membentuk senyum paling kecil.

Sky merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah permata kecil yang biasa ia simpan sebagai jimat. Dia menyodorkannya. “Ini. Kau boleh memilikinya.”

Anak itu memegangnya dengan hati-hati. “Apakah ini… berlian?”

“Aku tidak tahu,” jawab Sky jujur.

“Terima kasih,” bisiknya. Dia kembali mengangkat pandangannya kearah Sky. “Siapa namamu, Nona?”

Sky tertawa kecil. “Nona? Belum pernah ada yang memanggilku begitu sebelumnya. Namaku Sky.”

Anak laki-laki itu menengadahkan kepala, matanya kembali ke bintang-bintang diatas. “Sky…”

“Mereka bilang kau tidak punya nama,” lanjut Sky lembut. “Bagaimana kalau aku memberimu satu nama?”

“Kau bisa memanggilku apa saja. Aku memang benar-benar tidak memiliki identitas.”

Sky menatapnya, suaranya lembut namun tegas. “Kai. Aku akan memanggilmu Kai. Nama itu berima dengan namaku—Sky dan Kai.”

Anak itu menatapnya lama, lalu mengangguk. “Terima kasih.”

James tersentak terbangun, napas pendek, matanya tertuju pada cahaya pagi yang menembus tirai.

“Lagi,” gumamnya, mengusap dahinya. Mimpi itu masih tertinggal—api unggun, senyum Sky, bintang-bintang.

Dia bangun, melepas kaus tidurnya, lalu meregangkan tubuh. Otot-ototnya menegang, bekas luka bergeser mengikuti gerakan. Seperti biasa, waktunya berolahraga.

Tiga Hari Kemudian — Crescent Bay

Sudah tiga hari sejak insiden Atropos. Kepanikan yang sempat mencekik dunia perlahan menjadi kenangan. Pasar kembali berdenyut, para pedagang berteriak seperti biasa, dan orang-orang terus beraktifitas seperti biasanya.

James duduk di kantornya, bersandar di kursi dengan ponsel menempel di telinganya.

“Bos,” suara Paula terdengar, tegas namun diwarnai tawa, “Kyle menghilang. Dalam tiga hari terakhir dia tidak menghubungi satu pun orang. Tidak ada panggilan, tidak ada kunjungan. Seolah-olah dia tidak mempercayai siapa pun lagi.”

Bibir James melengkung tipis. “Itu pukulan besar baginya. Di mana dia bersembunyi?”

“Di rumah pantai pribadinya, jauh dari Citadel. Kami masih mengawasi area itu.”

“Bagus.” James mendesah pelan, mengetuk mejanya sekali dengan jarinya. “Aku harap dia muncul di pertemuan keluarga bulan depan. Kalau tidak, itu tidak akan menyenangkan."

Hening sejenak, lalu Paula tertawa kecil. “Kau jahat, Bos.”

“Aku bisa jahat pada musuh,” jawab James datar. Suaranya menjadi dingin. “Ini urusan pribadi. Balas dendamnya masih tertunda.”

Nada Paula mengeras penuh kesetiaan. “Kami akan memberinya balasan yang pantas, Bos.”

James mengangguk pada dirinya sendiri. “Baik. Siapkan tempat tinggal untuk Van. Dia akan datang ke Crescent Bay.”

“Aku akan mengurusnya. Aku akan mengirim detailnya ke Jasmine.”

“Terima kasih,” kata James, mengakhiri panggilan.

Bandara Internasional Crescent Bay

Bandara hidup dengan kekacauan khasnya—turis menyeret koper berat, kru penerbangan melangkah beriringan, pebisnis terburu-buru dengan ponsel menempel di telinganya.

Melalui kerumunan itu berjalan Komandan Van. Van mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor.

“Aku sudah sampai,” katanya singkat.

Di seberang telepon, suara James terdengar. “Aku sudah mengirimkan penjemputan.”

“Baiklah,” jawab Van, menutup panggilan. Dia menyelipkan ponsel kembali ke saku mantel, matanya menyapu kerumunan yang sibuk.

1
Noer Asiah Cahyono
lanjutkan thor
MELBOURNE: selagi nunggu bab terbaru cerita ini
mending baca dulu cerita terbaruku
dengan judul SISTEM BALAS DENDAM
atau bisa langsung cek di profil aku
total 1 replies
Naga Hitam
the web
Naga Hitam
kamuka?
Naga Hitam
menarik
Rocky
Karya yang luar biasa menarik.
Semangat buat Author..
Noer Asiah Cahyono
keren Thor, aku baru baca novel yg cerita nya perfect, mudah di baca tapi bikin deg2an🥰
MELBOURNE: makasihh🙏🙏
total 1 replies
Crisanto
hallo Author ko menghilang trussss,lama muncul cuman up 1 Bab..🤦🙏
Crisanto: semangat Thor 🙏🙏
total 2 replies
Crisanto
Authornya Lagi Sibuk..Harap ngerti 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!