NovelToon NovelToon
Assalamualaikum, Pak KUA

Assalamualaikum, Pak KUA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa pedesaan / Dijodohkan Orang Tua / Pengantin Pengganti / Cintapertama
Popularitas:45.9k
Nilai: 5
Nama Author: Yulianti Azis

Di hari pernikahannya, Andi Alesha Azahra berusia 25 tahun, dighosting oleh calon suaminya, Reza, yang tidak muncul dan memilih menikahi sahabat Zahra, Andini, karena hamil dan alasan mereka beda suku.

Dipermalukan di depan para tamu, Zahra hampir runtuh, hingga ayahnya mengambil keputusan berani yaitu meminta Althaf berusia 29 tahun, petugas KUA yang menjadi penghulu hari itu, untuk menggantikan mempelai pria demi menjaga kehormatan keluarga.

Althaf yang awalnya ragu akhirnya menerima, karena pemuda itu juga memiliki hutang budi pada keluarga Zahra.

Bagaimanakah, kisah Zahra dan Althaf? Yuk kita simak. Yang gak suka silahkan skip!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kekesalan Zahra

Setelah semua urusan rumah sakit selesai, jenazah Pak Burhan dipindahkan ke mobil ambulans.

Althaf memastikan semuanya siap sebelum menutup pintu kendaraan itu pelan, seolah takut membangunkan ayahnya yang telah tertidur untuk selamanya.

Ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Zahra hanya berdiri di sampingnya, memegang tas kecil sambil mengamati wajah suaminya yang tampak terlalu jauh untuk disapa.

Ada sesuatu di dada Zahra yang ingin keluar; perasaan ingin menguatkan, ingin menhibur. Tapi ia tidak tahu bagaimana harus memulainya.

Mereka baru menikah tiga hari. Tiga hari yang penuh kebingungan, kecanggungan, dan pertemuan tanpa rencana. Zahra takut salah ucap, salah sentuh, salah langkah. Jadi ia memilih diam.

Keduanya memasuki taksi yang mengikuti ambulans dari belakang. Sepanjang perjalanan, hanya suara mesin mobil dan rintik hujan tipis yang terdengar menyentuh kaca.

Zahra melirik Althaf lagi. Pemuda itu duduk tegak, menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. Tangannya mengepal di pangkuan, tetapi tidak terlihat gemetar.

Zahra menggigit bibir. Akhirnya ia mengambil ponsel pelan-pelan dan menghubungi papanya.

Beberapa detik, sambungan tersambung.

“Pa … Zahra,” ucapnya lirih. “Om Burhan meninggal.”

Ada jeda hening sebelum suara Papa Sultan terdengar serak bercampur kaget.

“Innalillahi wa innailaihi rajiun.” Suara laki-laki paruh baya itu terdengar menurun, seolah menelan kenyataan pahit. “Kapan, Nak?”

“Barusan, Pa. Di rumah sakit.”

Zahra mendengar napas papa berat. Lalu suara kursi bergeser.

“Papa dan Mama, lagi di Singapura. Papa akan pulang secepatnya ke Sulawesi.”

“Iya Pa. hati-hati di jalan.”

“Iya, Nak.”

Telepon terputus.

Zahra menunduk, meremas ujung jaketnya. Ingin rasanya mengatakan sesuatu pada Althaf bahwa ia tidak sendiri, bahwa ia boleh bersandar tapi lidahnya kelu.

Hening kembali mendominasi taksi itu, seakan dunia menahan napas bersama mereka.

Setelah hampir dua jam, taksi memasuki sebuah gerbang desa kecil. Sebuah papan kayu bertuliskan “Desa Angin” tampak di sisi jalan.

Udara di dalam mobil terasa berubah lebih lembab, lebih segar. Pepohonan besar menaungi jalan desa, rumah-rumah kayu berdiri berjarak rapi. Meski telah banyak rumah batu.

Zahra memperhatikan dari jendela, penduduk mulai keluar rumah setelah mendengar sirine ambulans yang memasuki desa. Mereka saling menoleh, mulai berbisik-bisik.

Taksi menepi mengikuti ambulans yang berhenti di depan sebuah pagar kayu tua.

Althaf langsung membuka pintu. Ia tidak menoleh, hanya berkata pelan, “Turun, Zahra.”

Zahra mengangguk dan keluar. Udara desa yang lembut menyentuh kulitnya. Di depannya, berdiri sebuah rumah panggung besar dari kayu jati tua, kokoh, tradisional, namun cantik.

Pintu ambulans terbuka. Mak Mia turun lebih dulu, wajahnya bengkak, tubuhnya gemetar. Karel dan Khalisa turun menyusul, keduanya masih menangis keras.

Suara tangis mereka langsung menarik perhatian warga yang mulai berkumpul.

“Ya Allah.”

“Pak Burhan.”

“Innalillah .…”

Bisikan dan suara kaget warga memenuhi halaman rumah.

Zahra berdiri sedikit di belakang Althaf, melihat bagaimana pemuda itu dengan wajah tegar membantu petugas ambulans menurunkan tandu yang membawa jenazah sang ayah.

Tidak ada air mata yang jatuh dari matanya namun sorotnya kosong. Hancur dalam diam.

Mak Mia mendekat sambil meratap, “Burhan, kenapaki cepat sekali pergi tinggalkan ka?”

Khalisa langsung memeluk tubuh ibunya, menangis makin keras. Karel berdiri kaku, memandangi jenazah ayahnya dengan rahang mengeras.

Beberapa tetangga mendekat, mencoba menenangkan.

Zahra mengepalkan jemarinya. Hatinya seperti diremas.

Zahra mengembuskan napas pelan.

*

Siang itu, setelah matahari condong ke barat, suara talqin dan doa selesai berkumandang. Pak Burhan telah dimakamkan dengan layak, ditemani tangis keluarga dan haru warga desa.

Menjelang sore, halaman rumah panggung milik keluarga Burhan mulai ramai. Para bapak-bapak mulai duduk melingkar di dalam rumah, beberapa memegang mushaf, sebagian lainnya menunggu tahlilan dimulai kembali menjelang malam.

Di dapur dan ruang tengah, para ibu-ibu sibuk menata kue-kue sederhana , kue dadar, kue cucur, doko-doko cangkuning, bandang-bandang, dan air putih dalam gelas-gelas plastik.

Semuanya seadanya, meski Mak Mia masih bersedih ia tetap menyajikan makanan.

Zahra keluar dari kamar Althaf dengan pasmina warna lembut menutupi sebagian rambutnya yang masih terlihat. Ia tak terbiasa dengan suasana kampung seperti ini, tradisi padat, hierarki kuat, dan tatapan penuh tanya.

Namun ia memilih duduk di samping Mak Mia.

Mata sang meetua masih merah, suara sesenggukan sesekali lolos meski ia berusaha tersenyum pada tamu-tamu yang berdatangan.

Zahra menepuk tangannya perlahan.

“Mak, istirahat saja. Biar saya yang banfu.”

Mak Mia menggeleng lemah. “Ndak apa-apa, Nak.”

Zahra mengangguk, menahan sesak di dada.

Dari sisi lain ruang tengah, bisik-bisik mulai terdengar. Ibu-ibu mencolek lengan satu sama lain, memandang Zahra dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Lalu melihat Lisa lewat, mereka segera bertanya.

“Eh Lisa, siapa itu perempuan? Barusannya dilihat? Apa keluargamu dari jauh?” tanya seorang ibu bernama Mirna.

Khalisa menoleh malas. “Istrinya Kak Althaf.”

Tiga ibu di sebelahnya sontak terbelalak.

“Istri? Eh kapan menikah?”

“Kenapa ndag ada acaranya?”

“Jangan-jangan .…”

Sebelum pertanyaan bergulir seperti banjir bandang, Ibu RT, Dijah, tepuk tangan dan berkata lantang.

“Ibu-ibu! Ayo kumpulmi dulu! Pengajian mau mulai ini.”

Para ibu-ibu langsung bubar dan menuju tempat masing-masing.

Zahra ikut duduk sebentar, namun kemudian ia berbisik pada Khalisa. “Lisa, saya izin ke toilet dulu ya.”

“Iye Kak, saya antar. WC-nya di bawah.”

Mereka lewat tangga belakang karena rumah itu benar-benar sesak, Zahra menuruni tangga rumah panggung.

Zahra masuk ke toilet sederhana itu dan keluar beberapa menit kemudian. Setelah mencuci tangan, ia dan Lisa naik kembali ke atas.

Namun langkah mereka terhenti di tengah tangga. Karena terdengar suara tiga ibu-ibu yang duduk agak menyamping dari kerumunan sedang bergosip dengan suara cukup keras seolah ingin didengar.

“Eh … apa ji je ini makanan na? Tidak ada ga’ nasi? Tidak ada ayam?”

“Ih iya toh. Masa cuma kue begini?Setidaknya pesan ketring saja.”

“Astaga bikin malu-maluna. Miskin sekali jadi orang.”

Tawa kecil terdengar mengikuti.

Wajah Zahra langsung panas. Ia memandang Lisa dengan napas tersengal.

Lisa mengangkat bahu, wajahnya pasrah.

“Begitumi Kak. Mereka memang suka ma’gosip.”

Zahra mendengus. “Gosip sih gosip, tapi masa di acara duka? Tidak ada empati sama sekali.”

Sebelum Lisa bisa menghentikan, Zahra sudah melangkah cepat ke arah tiga ibu itu.

Ibu-ibu itu terdiam saat Zahra berdiri di hadapan mereka tatapan tajam, rahang tegang.

“Eh, Bu,” Zahra membuka suara dengan nada dingin, “Kalau mau makanan enak, beli saja sendiri. Ini acara tahlilan. Hargai tuan rumah sedikit.”

Mata salah satu ibu bernama Raodah langsung melotot. “Eh siapa ko? Berani-beraninya bicara sama saya begitu?”

Zahra menyilangkan tangan. “Tidak perlu tahu saya siapa. Yang jelas, kalau mau bergosip, mending keluar dari rumah ini.”

Beberapa ibu lain terdiam, saling pandang.

Mak Mia yang mendengar keributan kecil itu langsung bangkit masuk ke dalam dengan panik. “Zahra … sudah nak, sudah … jangan dibesarkan.”

Zahra tetap menatap ibu-ibu itu. Kemarahannya naik dengan cepat, apalagi melihat Mak Mia yang sudah cukup terpukul hari ini.

“Nanti kalau giliran ibu-ibu ini yang meninggal,” ujar Zahra dengan nada penuh sindiran, “kalian bikin pesta tujuh hari tujuh malam. Kalau perlu, undang dangdutan sekalian.”

Ruangan langsung sunyi. Ibu-ibu itu mendelik.

“Eh siapa ko kau? Ndak sopan sekali sama orang tua!”

Zahra mengangkat dagunya. “Yang tidak sopan itu yang menghin—”

Belum sempat Zahra menyelesaikan kalimatnya, sebuah tangan besar menggenggam pergelangan tangannya dan menariknya mundur.

Dia adalah Althaf.

Wajahnya dingin, tegang, tapi bukan marah pada warga melainkan pada situasi yang bisa membuat masalah semakin besar.

“Masuk ki,” katanya dengan suara dingin.

Zahra hampir protes, namun tatapan Althaf cukup untuk membuatnya menutup mulut. Pemuda itu menuntun setengah menyeretnya kembali ke kamar.

Pintu kamar ditutup pelan.

1
Alona Luna
ohhh juwet ternyata 😌
Alona Luna
kapok tuh si mirna🤣🤣
Mineaa
is the best lah Zahra.....
jadi garda terdepan untuk keluarga nya...
Zahra gitu lho no kaleng kaleng....
istri solehot mo di lawan.....😁💪🔥🔥🔥🔥🔥
zylla
Parah 🤣🤣🤣
Tiara Bella
dikampung aku namanya juwet tp dibekasi blm Nemu tuh juwet.....
zylla
Paksu cemburu 🤭
zylla
heh, pelakor munafik ini gak usah sok"an nasehatin Ara. 🤬
zylla
ide bagus, Ara 🤭
zylla
setuju sekaliii 🤭🤭🤭
zylla
gundulmu 🤣🤣🤣🤣
zylla
sebel 🤬🤬🤬
Dew666
👩‍❤️‍👩👩‍❤️‍👩👩‍❤️‍👩👩‍❤️‍👩
zylla
bodohnya udah gak ketolong lagi yaampun 😮‍💨
Dew666
Itu di desaku namanya duwet,,, uenak maknyuusss,, tapi skrg susah carinya 💐
zylla
Minta Pak Handoko dateng lagi, Ara. 🤭
Fia Ayu
Good job zabra, kasih faham mereka biar keluarga mak mia tak selalu di tindas😡
Andira Rahmawati
cppeng sama bunne makananku waktuku kecil....iiihhh jadi pengen sayang di jakarta nga ada yg jual..😍😍
✍️⃞⃟𝑹𝑨 Yulianti Azis: Di Sulsel saja kak udah langka sekalimi 😁
total 1 replies
mama_im
di aku namanya jamblang, kalo yg kecil itu huni. uuuuhhh mantap itu di rujak, walau ribet buangin bijinya sambil ngunyah 🤣🤣🤣
✍️⃞⃟𝑹𝑨 Yulianti Azis: Aku gak pernah rujak kak. Paling dikasih gula aja 🤣🤣. Sayang sekali udah langka
total 1 replies
Shee
yang rasanya asem, manis, sepet bukan c ya? dah lama g pernah makan itu jadi lupa-lupa inget🤭
✍️⃞⃟𝑹𝑨 Yulianti Azis: Iya kak. Bener banget. Author aja rindu makannya, sayang udah jarang banget
total 1 replies
Shee
duh dua manusia ini bukan nya sadar malah nambah kayanya🙄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!