“Mutiara Setelah Luka”
Kenzo hidup dalam penyesalan paling gelap setelah kehilangan Amara—istrinya yang selama ini ia abaikan. Amara menghembuskan napas terakhir usai melahirkan putra mereka, Zavian, menyisakan luka yang menghantam kehidupan Kenzo tanpa ampun. Dalam ketidakstabilan emosi, Kenzo mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh dan kehilangan harapan untuk hidup.
Hidupnya berubah ketika Mutiara datang sebagai pengasuh Zavian anak nya. Gadis sederhana itu hadir membawa ketulusan dan cahaya yang perlahan meruntuhkan tembok dingin Kenzo. Dengan kesabaran, perhatian, dan kata-kata hangatnya, Mutiara menjadi satu-satunya alasan Kenzo mencoba bangkit dari lembah penyesalan.
Namun, mampukah hati yang dipenuhi luka dan rasa bersalah sedalam itu kembali percaya pada kehidupan?
Dan sanggupkah Mutiara menjadi cahaya baru yang menyembuhkan Kenzo—atau justru ikut tenggelam dalam luka masa lalunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4 HAMIL
Sudah sebulan berlalu sejak malam itu. Malam ketika hidup Amara berubah sepenuhnya. Ia tidak pernah membahasnya lagi dengan Kenzo.
Suaminya pun bertindak seolah tidak pernah terjadi apa pun. Kenzo tetap dingin, tetap menghindarinya, dan tetap berbicara kasar ketika terpaksa berinteraksi.
Amara memilih diam. Ia menjalani rutinitas harian seperti biasa—menyiapkan sarapan, menyiapkan pakaian kerja Kenzo, merapikan rumah bersama para asisten rumah tangga, lalu kembali mengurung diri di kamar ketika semuanya selesai.
Namun dalam dua minggu terakhir, tubuhnya mulai terasa aneh. Awalnya ia pikir stres atau kecapekan. Tapi gejala itu semakin sering datang.
Setiap pagi, Amara bangun dengan rasa mual yang sangat kuat. Ia beberapa kali berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perut.
Setelah itu tubuhnya menjadi lemas, kepala pusing, dan napasnya terasa berat.
Hari itu, gejala semakin parah. Setelah muntah, darah tiba-tiba mengalir dari hidungnya. Mimisan cukup banyak hingga membuatnya panik. Ia menatap cermin dengan wajah pucat.
“Apa orang hamil juga mimisan?” gumamnya dengan napas tersengal.
Ia mencoba menenangkan diri, tapi tubuhnya terasa tidak stabil. Akhirnya ia memutuskan untuk periksa ke dokter kandungan tanpa memberi tahu siapa pun.
---
Sesampainya di rumah sakit, Amara duduk di depan dokter kandungan dengan wajah pucat. Dokter, seorang wanita paruh baya bernama dr. Ratna, melihat Amara dengan seksama.
“Ada keluhan apa, Bu Amara?” tanya dokter dengan nada profesional.
Amara menarik napas pelan. “Saya… saya merasa mual dan muntah setiap pagi dalam dua minggu ini. Kepala pusing, tubuh lemas… tapi yang membuat saya bingung, saya sering mimisan. Hampir setiap hari. Apa itu normal kalau hamil?”
Dokter mengangguk kecil, lalu mencatat. “Kita periksa dulu ya, Bu.”
Proses pemeriksaan dilakukan dengan hati-hati. Setelah beberapa menit, dokter tersenyum tipis.
“Selamat, Bu Amara. Anda positif hamil.”
Amara terdiam. Hatinya campur aduk. Ia memang menduga, tapi mendengar langsung dari dokter tetap membuatnya terkejut. Ia tidak tahu harus merasa senang atau takut.
Namun senyum dokter itu tidak berlangsung lama. Wajahnya kemudian berubah serius.
“Tapi… saya perlu Anda melakukan pemeriksaan tambahan.”
Amara langsung tegang. “Pemeriksaan tambahan? Kenapa, Dok?”
“Ada beberapa hal yang membuat saya khawatir,” jawab dokter Ratna dengan suara hati-hati. “Anda bilang mengalami mimisan, pusing hebat, dan tubuh mudah lelah. Itu bisa saja gejala kehamilan, tapi ada beberapa tanda yang tidak biasa.”
Jantung Amara berdegup cepat. “Dokter… saya sakit apa?”
Dokter Ratna menghela napas panjang sebelum membuka hasil pemeriksaan darah yang baru saja keluar.
“Bu Amara… saya harus jujur. Anda tidak seharusnya hamil dalam kondisi ini.”
“Kondisi apa maksud dokter?”
Dokter menatapnya, wajahnya penuh empati namun tegas. “Anda mengidap penyakit yang sangat berbahaya jika dibiarkan. Dan kehamilan ini bisa memperburuk kondisi Anda.”
Amara cemas, menatap dokter tanpa berkedip. “Saya sakit apa, Dok?”
Setelah beberapa detik hening, dokter menjawab dengan suara pelan tetapi jelas.
“Bu Amara… Anda menderita kanker stadium akhir.”
Amara membeku. Kata-kata itu terasa seperti menghantam dadanya keras-keras. Tubuhnya lemas. Ia memegang perutnya sendiri, seolah ingin memastikan bahwa dirinya masih ada di dunia nyata.
“S… stadium akhir?” ulangnya dengan suara bergetar.
Dokter mengangguk. “Saya tahu ini berat. Tapi kondisi Anda sudah parah. Kami perlu tahu seberapa cepat perkembangan penyakitnya. Kehamilan Anda… dapat mempercepat penyebaran sel kanker.”
Amara memejamkan mata, mencoba memahami semuanya. Ia baru saja mengetahui bahwa dirinya hamil, tapi di waktu yang sama diberi tahu bahwa hidupnya dalam bahaya.
“Kalau saya melanjutkan kehamilan ini… apa yang terjadi?” tanya Amara dengan suara nyaris tak terdengar.
Dokter menghela napas kembali. “Kehamilan Anda berisiko sangat tinggi. Anda bisa kehilangan nyawa. Pilihan medis yang paling aman adalah menggugurkan kandungan.”
Amara langsung menggeleng pelan. “Tidak, Dok. Tidak mungkin. Ini… ini anak saya dan Kenzo.”
“Bu Amara, tolong pertimbangkan keselamatan Anda,” kata dokter lembut. “Tanpa kehamilan pun kondisi Anda sudah berat. Dengan kehamilan, risiko naik berkali-kali lipat.”
Amara menatap dokter dengan mata berkaca-kaca, tapi suaranya tegas.
“Saya… saya akan mempertahankan kandungan ini. Apa pun risikonya.”
Dokter terdiam beberapa detik, lalu berkata, “Saya sebagai dokter hanya bisa mengingatkan. Tapi keputusan tetap di tangan Anda.”
Amara menunduk, tangannya meremas ujung bajunya erat. “Ini mungkin satu-satunya kesempatan saya menjadi ibu. Saya tidak akan membiarkan kesempatan itu hilang.”
“Baik,” ujar dokter akhirnya. “Kalau begitu, saya akan bantu semampu saya untuk menjaga Anda dan bayi. Tapi saya harus tahu satu hal… apakah suami Anda sudah tahu tentang kondisi Anda ini?”
Amara langsung menggeleng cepat. “Tidak. Jangan beri tahu suami saya. Jangan beri tahu keluarganya atau pun keluarga saya.Mereka hanya perlu tahu bahwa saya hamil.”
“Bu Amara, ini penyakit yang sangat serius. Suami Anda perlu tahu.”
“Tidak, Dok.” Amara menggeleng lagi, lebih tegas. “Suami saya… dia tidak peduli pada saya. Jika dia tahu saya sakit, saya tidak mau merepotkan atau membebani siapa pun. Saya hanya ingin mereka tahu tentang kehamilan saya. Bukan penyakitnya.”
Dokter tampak ragu. “Tapi ini berbahaya…”
“Tidak apa-apa, Dok. Tolong jaga rahasia saya.”
Setelah beberapa saat berpikir, dokter akhirnya mengangguk, walau ia tampak berat. “Baik. Tapi Anda harus rutin kontrol. Saya akan atur jadwal pemeriksaan mingguan.”
Amara berdiri perlahan. Tubuhnya masih lemas karena shock. “Terima kasih, Dok.”
Sebelum keluar, dokter memanggilnya sekali lagi. “Bu Amara… kalau Anda merasa pusing berlebih atau mimisan yang tidak berhenti, segera kembali ke rumah sakit. Jangan tunda.”
Amara mengangguk pelan dan berjalan keluar ruangan.
Saat pintu tertutup di belakangnya, Amara berdiri di lorong rumah sakit sambil memegang perutnya.
“Maafkan Mama… tapi Mama akan menjaga kamu sampai akhir.”
Ia tidak tahu bagaimana ia akan menghadapi semua ini seorang diri.
Ia juga tidak tahu bagaimana reaksi Kenzo saat mendengar berita kehamilan ini.
Aku harus berjuang..
Demi anakku meski nyawa taruhan nya..
Haii selamat sore selamat membaca tinggalkan jejak kalian...
Like komen subscribe vote and hadiahnya
Terimakasih...