Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Tugas Kakak Ipar
“Mmm, tempat Kak Arjun bukanlah di sini. Aku tidak tahu alasan apa yang membuat Kak Arjun tiba-tiba datang ke sini. Tolong ... jangan buat masalah kita semakin runyam dengan tingkah Kak Arjun yang tak biasa. Pulanglah, jangan perhatian padaku. Aku tidak membutuhkannya.”
Arjuna tak menjawab. Ia hanya memandangi wajah Lidya yang memucat, lalu perlahan melepaskan genggaman tangannya.
“Istirahatlah,” ucapnya pelan. “Kamu jangan terlalu overthinking kenapa aku bisa ke sini. Aku tadi mengantarkan titipan dari Eliza buat Mama. Dan Mama bilang kamu lagi sakit.” Lagi dan lagi Arjuna berdusta.
Saat Arjuna melangkah keluar kamar, pandangannya masih terbayang wajah Lidya yang lemah—dan kalimatnya barusan terus terngiang.
Jangan perhatian padaku, aku tidak membutuhkannya.
Dan untuk pertama kalinya malam itu, Arjuna menyadari bahwa jarak di antara mereka bukan hanya salah — tapi juga semakin sulit untuk dijaga.
Dari lantai bawah, Mama Riri memanggil lagi, tapi Arjuna belum bergerak. Ia berdiri di tengah tangga, memandang ke arah kamar di atas dengan tatapan kosong. Entah bagaimana, perasaan bersalah dan sesuatu yang lain—yang tak boleh ia rasakan—mulai menyatu menjadi satu hal berbahaya di dadanya.
Dan di kamar atas, Lidya menggigil dalam tidurnya. Di antara demam dan mimpinya yang kacau, ia seakan mendengar suara itu lagi.
Suara Arjuna memanggil namanya.
***
Beberapa menit kemudian.
“Ma, aku panggil dokter aja, ya.”
Suara Arjuna terdengar rendah namun mantap di antara heningnya kamar. Ia berdiri di sisi ranjang, menatap Lidya yang masih terbaring dengan wajah pucat.
Mama Riri menoleh cepat, kaget. “Dokter? Nggak usah repot, Arjun. Mama bisa—”
“Biar aku yang urus, Ma.” Nada Arjuna tenang, tapi matanya tajam dan serius. “Dokter keluargaku bisa datang cepat. Nggak apa-apa, ya, Ma?”
Mama Riri sempat ragu, tapi melihat wajah Arjuna yang bersungguh-sungguh, akhirnya ia mengangguk. “Ya sudah, kalau kamu maunya begitu.”
Arjuna segera melangkah keluar kamar, mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
“Dok, tolong ke rumah mertuaku, sekarang. Adik istri saya demam tinggi. Saya kirim alamatnya.”
Suara di seberang menjawab cepat, “Baik, Tuan Arjuna. Saya berangkat sekarang.”
Begitu sambungan terputus, Arjuna menarik napas panjang. Tangannya dingin, entah kenapa. Mungkin karena udara AC, atau karena jantungnya berdetak tak karuan sejak tadi.
Setengah jam kemudian, bel rumah berbunyi.
Dokter Rinto datang membawa tas medis kecil, disambut oleh Arjuna di teras. “Malam, Dok. Terima kasih sudah cepat datang.”
“Sama-sama, Tuan. Mana pasiennya?”
“Di atas. Adik ipar saya,” jawab Arjuna sambil menuntun dokter menaiki tangga.
Saat mereka masuk ke kamar, Lidya masih terbaring. Wajahnya sedikit memerah, keringat membasahi pelipis. Mama Riri berdiri di sisi ranjang dengan handuk di tangan.
“Ini, Dok. Anak saya,” ucapnya cepat.
Dokter Rinto mendekat, menyalakan senter kecil dan memeriksa suhu tubuh Lidya, lalu meraba denyut nadinya. “Panasnya memang cukup tinggi,” gumamnya. “Tapi tidak ada gejala lain yang berbahaya. Mungkin kelelahan berat atau kurang tidur.”
Ia menatap Arjuna sekilas. “Dia baru pulang dari perjalanan jauh?”
“Ya,” jawab Arjuna singkat. “Tadi pagi dari Yogya.”
Dokter mengangguk pelan. “Wajar kalau tubuhnya drop. Ini saya kasih obat penurun panas dan vitamin penguat daya tahan. Kalau besok belum turun, baru kita cek darahnya.”
Mama Riri tampak lega. “Syukurlah bukan apa-apa. Terima kasih, Dok.”
Sementara Arjuna berdiri di dekat jendela, tangan dimasukkan ke saku, pandangannya tak lepas dari Lidya. Dalam diamnya yang dingin, ada sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan — rasa cemas yang menekan di dada.
Lidya membuka mata perlahan. Pandangannya bertemu sekilas dengan Arjuna.
“Kak.” Suaranya pelan, serak. “Maaf, udah ngerepotin.”
Arjuna menatapnya sebentar. “Nggak usah minta maaf. Istirahat aja.”
Nada suaranya datar, tapi jemarinya tampak mengepal halus di samping tubuhnya — tanda ia sedang menahan sesuatu.
Lidya mencoba tersenyum, namun wajahnya tetap lemah. “Terima kasih udah panggil dokter.”
“Sudah tugas kakak ipar,” jawab Arjuna dingin, berusaha menjaga jarak dengan kata-kata formal yang terasa kaku bahkan di telinganya sendiri.
Mama Riri menoleh pada Arjuna. “Kamu minum dulu, Arjun. Mama buatkan teh.”
Arjuna tersenyum sopan. “Nggak usah repot, Ma. Aku juga harus pulang. Eliza belum tahu kalau aku ke sini.”
“Oh, begitu,” ujar Mama Riri sedikit terkejut. “Ya sudah, hati-hati di jalan, ya. Sampaikan salam buat Eliza.”
Arjuna mengangguk, lalu menatap sekali lagi ke arah ranjang. Lidya sudah memejamkan mata lagi, napasnya sedikit lebih teratur.
Namun di balik keheningan itu, Arjuna tahu — sesuatu di dalam dirinya sudah berubah.
Ia tak seharusnya merasa lega seperti ini.
Ia tak seharusnya begitu khawatir.
Tapi kenyataan, justru itulah yang terjadi.
***
Keesokan paginya.
Matahari baru naik ketika suara bel terdengar di mansion keluarga Adiwongso. Dari arah dapur, suara Eliza terdengar setengah malas, “Siapa sih pagi-pagi gini udah bertamu?”
Tak lama, Dini — salah satu maid — datang tergopoh. “Bu, tamunya Ibu Hanum, Nyonya Besar.”
Eliza mendengus pelan. Ia melirik ke arah ruang tamu, memasang senyum tipis yang jelas dipaksakan. “Suruh masuk aja, Din.”
Mama Hanum melangkah masuk dengan langkah anggun. Di tangannya ada dua kotak besar berisi makanan — nasi uduk dan sate ayam kesukaan Arjuna.
“Assalamu’alaikum,” sapanya cerah. “Pagi-pagi Mama kangen sama anak.”
Arjuna yang baru turun dari lantai atas langsung tersenyum, “Wa’alaikum salam, Ma. Wah, bawa apa nih?”
“Ini sarapan buat kalian. Mama masak sendiri,” jawabnya bangga.
Eliza tertawa kecil, pura-pura hangat. “Wah, Makasih, Ma. Harum banget. Padahal, Bik Surti udah masak buat kami di sini, Ma.” Namun matanya dingin, terselip rasa kesal yang tak bisa ia sembunyikan. Setiap kali Mama Hanum datang, selalu saja ada pembahasan yang membuatnya tak nyaman.
Mereka bertiga duduk di meja makan. Aroma nasi uduk dan sate memenuhi ruangan. Arjuna tampak menikmati dengan lahap, seolah pagi itu berjalan normal.
Namun di sela-sela sendok yang baru diletakkan, Mama Hanum berkata santai, “Mama kemarin ngobrol sama Bu Retno, dokter kandungan di RS Brawijaya. Katanya sekarang banyak program bayi tabung yang berhasil. Kamu tahu kan, Mama udah lama merindukan kehadiran cucu, keturunan keluarga Adiwongso.”
Eliza menghentikan gerakan tangannya. Napasnya perlahan, tapi matanya menegang.
“Ma … kita udah pernah bahas ini,” katanya pelan.
Mama Hanum tersenyum lembut tapi tegas. “Iya, tapi udah empat tahun, El. Masa kalian nggak juga dikasih kabar gembira? Arjuna, kamu setuju kan kalau Mama bantu carikan dokter terbaik?”
Bersambung ... ✍️
kamu pikir dengan smua yg kamu lakukan smua beres? tidak kaaan? justru kamu makin g bisa tenang karena g d sangka2 ucapan Lidya kebuktian, walaupun smua nya datang dengan kebetulan 🤭
semangat MOMMY GHINA, bikin Arjuna g bisa tenang dn g bisa tidur..item2 tuh d bawah mata,,biar panda ada temen nya 🤣
maka nya Juun kamu jangan sok2an smua bisa d selesaikan dengan uang..smua bisa selesai hanya dengan menjaga jarak dn menjauh,,klo udh begini..siapa yg panas cobaaa?? 🤣🤣🤣🤣
hareudaaaang !!!!!
air mana...aiiiiiirr 🤣🤣🤣
gimana Juun,,hati amaaan??? 🤣
aman dong tentu nya yaaaa,,kan Lidya cuma adik ipar...d tambah lg udh d transfer 2 M utk kehidupan Lidya k depan nya kaaan?
awas lhoo tuh hati jangan sampe mencelos ketika liat keakraban Lidya ama Farel..!!!
jangan sampe ada goresan d hati y Juun liat Lidya dn Farel pelukan,,karena Lidya kan HANYA ADIK IIIIPAR 🤭
ayoo lid semangat ketawa2 aja terus jgn melow2 berkepanjangan
etapi knp aku berharap Lidya nantinya sm Arjun yak, apa gegara Eliza nyebelin.. 🤣
kira2 lidya akan pergi kemana ya....hmmm...penasaran nih mom....😄