Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Pertanyaan itu selalu muncul di benak Hanin setelah kejadian Satya, kakaknya menciumnya tiba-tiba untuk pertama kali.
Sayangnya pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Sebuah kebenaran yang terungkap, membuat hubungan persaudaraan mereka yang indah mulai memudar. Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin demi menghindarinya.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meluluhkan Gadis Manja
Sepertinya ada yang tengah melamunkan kakak?” ucap Satya percaya diri.
Hanin menarik tangan Satya menyingkir dari wajahnya. Pemuda itu kini duduk berjongkok di hadapan Hanin dengan sebuah boneka Doraemon di tangannya.
“Maafkan kakak, Hani,” ucap Satya penuh harap.
“Kenapa minta maaf, memang Kak Satya salah apa?” pura-pura Hanin bertanya sambil memasang wajah jutek.
“Kakak juga tidak tahu, tapi sepertinya ada yang marah dengan kakak pagi hari ini,” ungkap Satya.
Hanin terdiam tanpa tahu harus mengatakan apa. Dirinya memang marah karena Satya tak sekalipun menemaninya di rumah sakit. Satya yang peka seharusnya pun tahu adiknya butuh teman dan semangat. Namun, bukannya datang Satya menghilang semenjak kecelakaan itu, tapi Hanin tidak ingin menjelaskan apa yang dirasakannya saat ini.
“Hani sadar, Kak Satya pasti malu sekarang memiliki adik yang cacat. Hani tahu diri Kak,” ungkapnya tiba-tiba.
Satya membungkam mulut Hanin dengan telapak tangannya, mencegah Hanin mengatakan yang semakin membuat dirinya merasa bersalah.
“Jangan katakan itu lagi, Hani.” Sembari memeluk Hanin dengan sangat erat. Ada nada penuh penyesalan dari ucapan Satya saat dia menceritakan alasan ke tidak hadiran dirinya dan menghilang. “Semua ini salah Kak Satya, kakak tidak bisa menjagamu. Kakak tidak sanggup melihat keadaanmu seperti ini,” ungkap Satya, lalu menarik tubuhnya melepas pelukannya.
Sepasang mata yang dingin itu tampak memerah dan berkaca-kaca. Belum pernah sekalipun Hanin melihat keadaan itu dari Satya yang selama ini tenang meskipun sedih, atau marah. ‘Benarkah dia sesedih itu sampai tak ingin melihatnya?’
Hanin merangkum wajah Satya dan mengusapnya lembut.
“Hani tidak marah, Kak, Hani hanya kesal Kak Satya tidak temani Hani di rumah sakit. Hani merasa sendirian di sana, Kak.” Hanin berusaha tersenyum, sembari mengacak-acak rambut Satya sengaja membuat Satya kesal jika diperlakukan seperti itu.
Satya membalas Hanin dengan menggelitiki pinggangnya.
Melihat keduanya baikkan, Miranda tersenyum senang. Dia bahkan tidak ingin mengganggu suasana itu dan kembali ke kamarnya. Dia merasa yakin setelah ini Satya akan menjaga Hanin dengan sebaik-baiknya.
Satya mendorong kursi roda membawa Hanin mengelilingi halaman rumah besar itu dan berakhir di ruang makan, di mana Mbok Indung telah menyiapkan makanan untuk makan malam. Namun, karena merasa lapar Satya mulai makan tanpa menunggu Elvan terlebih dahulu.
Hanin dengan sikapnya yang manja pun minta disuapi. Hanin sangat senang hingga dia makan banyak tak biasanya sore itu.
Satya mengantar Hanin ke kamarnya.
“Ini masih sore, Kak, Hani belum mengantuk. Kak Satya mau kan temani Hani di sini?”
“Kak Satya ada tugas sekolah, kakak akan datang lagi nanti.” Satya berlalu.
“Kak, kumohon ...!” rengek Hanin.
“Baiklah, kakak akan temani Hani di sini sambil belajar, tapi janji tidak akan mengganggu kakak ya?”
“Janji,” jawab Hanin sembari menunjukkan jari kelingkingnya. Satya membalas dengan mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari Hanin. Setelah itu dia pergi ke kamarnya mengambil buku-buku pelajaran.
Hanin benar-benar menepati janjinya dengan tidak mengganggu Satya. Dia pun menyibukkan sendiri dengan membaca buku pelajaran miliknya. Melihat keseriusan Satya saat mengerjakan tugas Hanin terpikirkan untuk membuatkan Satya kopi. Diam-diam dia pun pergi ke dapur dan meminta Mbok Indung membuatkannya.
“Biar saya bawa sendiri, Bi,” ujar Hanin usai kopi itu dibuat.
“Hati-hati, Non.” Mbok Indung mengingatkan.
Hanin meletakkan kopi itu di meja yang langsung Satya minum lantaran mulai mengantuk, membuat kedua matanya sedikit terbuka, setelah itu melanjutkan belajarnya.
Waktu bergulir tak terasa, jam di dinding di kamar itu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Satya masih serius dengan tugas-tugasnya yang cukup banyak. Sampai-sampai Satya tak menyadari Hanin tertidur di kursi roda. Satya menyadari itu ketika Miranda datang.
“Satya tolong mama ya, nanti pindahkan Hani ke tempat tidur, kasihan dia.”
“Iya, Mah.”
“Apa perlu bantuan mama atau papa?”
“Tidak, Mah, Mama istirahat saja. Ini juga Satya sudah kelar tugasnya.”
“Ok, selamat malam.” Miranda melambaikan tangan dan meninggalkan kamar itu sembari menutup pintu.
Satya merapikan buku-bukunya memasukkannya ke dalam tas. Sebelum pergi dia menghampiri Hanin.
‘Adik kecilku yang malang, Kakak janji akan selalu ada untukmu,’ ucapnya dalam hati sembari membopong tubuh Hanin dan memindahkannya ke tempat tidur. Menyelimuti tubuh gadis itu supaya hangat.
Satya berlalu bersiap untuk pergi. Namun, langkahnya terhenti saat dia ingat sesuatu.
‘Kenapa tadi membiarkan mama pergi, bukankah seharusnya mama tidur di sini dan menjaga Hani. Kalau aku membangunkan mama saat ini, aku khawatir akan mengganggu mereka. Jika Hani butuh sesuatu tengah malam dia belum bisa melakukannya sendiri.’
Satya kebingungan. Mondar-mandir di kamar itu beberapa saat sambil memikirkan apa yang harus dia lakukan. Jika meninggalkan Hanin sendirian, kasihan juga. Jika tidur di kamar itu rasanya sudah berbeda. Terakhir Satya ingat dia tidur di kamar Hanin saat usianya empat belas tahun, itu pun karena ketiduran saat dirinya bermain ponsel.
Satya tak punya pilihan lain, dia akhirnya memutuskan tidur di kamar Hanin malam itu.
Miranda merasa beruntung memiliki Satya, yang benar-benar bertanggungjawab dan dapat diandalkan untuk menjaga dan merawat Hanin saat dirinya tak ada.
Semenjak Hanin cedera, Satya mengurangi kegiatannya di luar sekolah dan lebih banyak menemani Hanin di rumah, dari membantu mempersiapkan saat Hanin mandi, makan, menemani jalan-jalan keluar rumah. Mengajarkan Hanin berjalan hingga mengantar pergi ke rumah sakit untuk terapi dan cek kesehatan.
•••
Saat itu tepat satu bulan Hanin dengan kondisi kakinya yang cedera, dan dia harus kembali masuk sekolah, dengan diantar sopir.
Hari itu tentu saja berbeda, Satya berangkat sekolah bersama dengan Hanin yang masih membutuhkan kursi roda. Sebenarnya Hanin sudah merasa jauh lebih baik. Namun, dia masih takut saat harus mencoba berjalan tanpa kursi roda.
Tiba di tempat parkir seperti biasa Satya membopong Hanin dari mobil duduk di kursi roda. Sopir meninggalkan mereka setelahnya.
“Kak apakah semuanya akan baik-baik saja? Hani takut, Kak.” Hanin mulai merasakan cemas, sampai memegang erat lengan Satya. Keadaan itu menjadi pertama kalinya dari seorang Hanin yang biasa ceria dan penuh percaya diri serta seorang gadis yang tak kenal rasa takut, saat itu tampak lemah dan minder.
Hanin yang biasanya tersenyum ceria menyapa Pak Juan, hari itu pun tampak berbeda. Hanin hanya mengulas senyum tanpa mengatakan apa pun pada pria itu, membuat Juan merasakan perbedaan sikap Hanin.
“Ada kakak bersamamu tidak akan ada yang berani mengganggumu.” Satya berusaha membesarkan hati Hanin, karena tidak mudah dalam posisi Hanin saat ini. Dia pastikan tidak akan ada yang berani mengganggu apa lagi menghina Hanin.
Sebenarnya Satya pun tidak tahu kemungkinan seperti apa yang akan terjadi di hari pertama Hanin masuk sekolah. Namun, dia telah bertekad tidak akan membuat siapa pun menyakiti hati adiknya. Dirinya yang bersalah telah menyebabkan Hanin duduk di kursi roda.
Motor sport warna merah berhenti mendadak di hadapan Satya dan Hanin seakan sengaja menghadang langkah mereka. Pengendara motor itu membuka helmnya, dia tidak lain adalah Awan.