Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.
Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.
Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Ketika Rencana Berbalik Arah
Damian membantu Sean duduk di kursi belakang, memastikan tubuh putranya tidak limbung. Jane ikut masuk, duduk di samping Sean, tangannya tidak henti mengusap punggung pria itu dengan cemas.
“Jane…” suara Sean lemah, “Ponselku…”
Damian yang berdiri di luar menatap anaknya tajam, “Kau masih sempat memikirkan ponselmu di kondisi seperti ini?” suaranya meninggi, antara marah dan panik. Tangannya sudah di pintu mobil, tapi tertahan ketika Jane menatapnya penuh makna.
“Tuan besar…” ucap Jane pelan, nadanya tenang tapi mengandung isyarat agar pria itu menahan emosi.
Damian menarik napas berat. “Baiklah. Biar aku saja.” Ia menutup pintu, lalu berbalik menuju rumah. Langkahnya cepat, cemas, dan tidak sempat menoleh lagi.
Senyum samar pun muncul di wajah Sean. Tatapan matanya dingin menatap punggung ayahnya yang menjauh. Dalam hati, ada rasa puas yang sulit disembunyikan.
“Bagaimana rasanya nanti, Ayah? Saat kekasihmu bukan lagi milikmu, melainkan bekas orang lain,” batin Sean.
Damian melangkah cepat kembali ke dalam rumah, meninggalkan Jane dan Sean di dalam mobil. Ia menapaki koridor panjang menuju kamar Sean dengan wajah serius. Begitu pintu kamar itu dibuka, ia langsung mencari benda yang dimaksud Sean.
Pandangannya kemudian jatuh pada nakas, di mana ponsel Sean tergeletak di atas sana, tepat di samping gelas kosong. Damian mendekat, lalu mengambilnya. Namun saat akan berbalik, matanya terkunci pada laci nakas yang sedikit terbuka. Ia menatapnya beberapa detik, sebelum akhirnya membungkuk dan menarik laci itu perlahan.
Di dalamnya, sebuah kaleng soda kosong dan obat antibiotik dengan tiga kapsul yang hilang. Dahi Damian mengernyit. Ia tahu, kombinasi obat seperti itu dengan minuman bersoda bisa memicu reaksi mirip keracunan makanan.
Pandangan Damian kemudian beralih ke meja di sisi ruangan. Di sana masih tersisa potongan ayam goreng yang sudah berubah warna. Ayam itu yang menurut kertas yang ditunjukkan Sean adalah Elena yang mengirimkannya.
Jantungnya berdegup pelan namun berat. Semua terasa janggal dan tidak masuk akal.
Ia mendongak menatap langit-langit, seolah mencari rekaman yang tidak pernah ada. Tidak ada satu pun CCTV di kamar-kamar rumah ini. Ia memang sengaja tidak memasangnya, karena ia pikir kamar adalah area pribadi. Tapi, sekarang keputusan itu terasa seperti kesalahan.
Ponselnya tiba-tiba bergetar di saku, membuat pikirannya buyar. Nama Elena tertera di layar. Namun sebelum ia sempat mengangkat, suara langkah mendekat. Jane muncul di ambang pintu dengan wajah cemas.
“Tuan, kenapa lama sekali? Tuan Sean sudah lemas,” ucapnya tergesa.
Damian menatapnya sejenak, lalu menekan tombol diam pada ponselnya dan memasukkannya kembali ke saku, “Aku akan segera keluar,” ucapnya tenang, meskipun pikirannya penuh tanda tanya.
Jane mengangguk lalu melangkah pergi.
Sementara itu, Damian kembali ke nakas, lalu memasukkan kaleng soda dan obat yang tersisa ke dalam saku jasnya. Hal-hal kecil ini harus diperiksa. Ia tidak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan. Terutama jika menyangkut Elena.
Setelah kembali ke mobil, Damian segera duduk di kursi kemudi.
“Ini ponselmu,” ucapnya tenang sambil menyerahkan benda itu pada pemiliknya.
Sean mengangguk lemah. Ia berusaha meraihnya, tapi tangan Jane lebih cepat darinya.
“Biar aku saja, Tuan. Jangan bermain ponsel dulu sebelum dokter memeriksamu,” ucap Jane lembut namun tegas, menyimpan ponsel itu ke dalam tas berisi barang bawaan Sean dengan raut khawatir.
Sean tidak bisa berbuat banyak, hanya menatap sejenak dengan tatapan tidak rela. Padahal, alasan sebenarnya ia ingin ponsel itu bukan sekadar untuk berkomunikasi, melainkan memastikan rencana Alan di hotel berjalan sebagaimana mestinya.
Tanpa membuang waktu, Damian segera menyalakan mesin mobil. Ia memasang sabuk pengaman, menekan pedal, dan membawa mobil itu melaju keluar halaman rumah.
Di sepanjang perjalanan, suasana sunyi menekan. Hanya deru mesin yang terdengar. Sesekali, Damian melirik spion tengah. Pandangannya jatuh pada Sean yang bersandar dengan mata terpejam, wajahnya pucat, seperti tidak menyimpan dosa apa pun.
Namun Damian tidak mudah percaya. Ia yakin anak itu sedang menyembunyikan sesuatu.
Ia menyandarkan siku ke pintu dan menyentuh bibirnya dengan jari. Matanya tetap tajam menatap jalanan yang gelap, tapi pikirannya berputar cepat, menyusun potongan yang tidak sejalan antara Elena, racun, dan Sean.
Tidak butuh waktu lama, mereka akhirnya tiba di rumah sakit. Damian segera turun dan membantu Sean keluar dari mobil, memapah tubuh lemas itu menuju kursi roda yang disiapkan perawat. Perawat tersebut kemudian mendorong Sean masuk ke ruang IGD, sementara Damian mengikuti dari belakang dengan langkah cepat. Jane baru menyusul beberapa detik kemudian, setelah mengambil tas yang ia bawa.
Di ruang tunggu, keduanya duduk dalam diam. Damian dengan wajah datar dan tatapan penuh pikir sementara Jane dengan kegelisahan yang sulit disembunyikan.
Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar dari ruang IGD. Jane langsung berdiri, sementara Damian berdiri dengan gerakan tenang, seolah yakin bahwa anak itu akan baik-baik saja.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Jane cepat.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawab dokter itu dengan nada menenangkan, “Dia mengalami peradangan pada lambung dan usus. Setelah dirawat beberapa hari, kondisinya akan stabil kembali.”
Jane mengembuskan napas lega.
“Tapi,” lanjut dokter itu, “Kalau boleh saya tahu, apa yang dia konsumsi sebelum gejalanya muncul?”
“Ayam goreng,” jawab Jane spontan.
“Ayam? Ayam basi?”
Jane melirik Damian dengan ragu, takut berkata lebih jauh.
Damian akhirnya mendekat, “Selain makanan, apakah ada hal lain yang bisa menimbulkan gejala seperti itu?”
Dokter menatapnya, sedikit bingung, “Maksud Tuan?”
“Jawab saja,” ucap Damian.
Dokter menghela napas, “Memang bisa juga disebabkan oleh hal lain. Misalnya, obat-obatan yang diminum bersamaan dengan minuman tertentu, atau penggunaan obat di luar dosis yang wajar. Intinya, tidak selalu karena makanan.”
Damian mengangguk pelan, “Baik. Terima kasih.”
“Sama-sama. Jika kondisinya sudah stabil, kami akan pindahkan ke ruang rawat inap.” Dokter itu pamit dan kembali masuk ke ruang IGD.
Jane kemudian menatap Damian tidak mengerti, “Tuan, apa maksudnya tadi? Apa Tuan mengira Tuan Muda berbohong soal keracunannya? Itu tidak mungkin. Tidak mungkin Tuan Muda rela menyakiti dirinya sendiri hanya demi mempermainkan Tuan. Saya melihat sendiri makanan itu diantar ke rumah.”
“Tapi apakah kau melihat sendiri dia memakannya?” tanya Damian dengan suara yang sedikit meninggi.
Jane terdiam.
“Ada banyak hal yang tidak kau ketahui, Jane. Kau melihatnya sebagai anak kecil yang polos. Padahal, dia lebih rumit daripada yang kau bayangkan,” lanjut Damian.
“Tuan…” suara Jane mulai bergetar, “Teganya Tuan berkata seperti itu kepada anak Tuan sendiri. Apa karena Nona Elena? Sekarang Tuan lebih membelanya daripada darah daging Tuan? Wanita itu yang meracuni Tuan Muda!” serunya dengan emosi, hampir lupa batas antara majikan dan pelayan.
“Percuma aku menjelaskan padamu, karena kau tidak akan mengerti. Aku pasti akan menemukan jawaban atas semua pertanyaanmu. Untuk sekarang, jaga dia baik-baik.”
Tanpa menunggu tanggapan, Damian berbalik dan melangkah keluar dari rumah sakit.
“Tuan!” panggil Jane, namun suaranya hanya menggema tanpa jawaban.
Begitu keluar dari rumah sakit, Damian langsung menuju mobilnya. Ia menyalakan mesin dan melajukan kendaraan secepat mungkin menuju hotel tempat pesta berlangsung. Di kepalanya hanya ada satu pikiran yaitu Elena.
Ia sadar telah meninggalkan wanita itu tanpa kabar. Elena pasti sedang kebingungan mencarinya.
Setibanya di hotel, Damian menyerahkan mobilnya pada petugas valet tanpa banyak bicara. Langkahnya cepat menembus lobi, langsung menuju lift dan menekan tombol menuju lantai ballroom.
Begitu pintu lift terbuka, ia melangkah keluar dengan napas memburu.
Langkah kakinya akhirnya melewati pintu ballroom. Di dalam sana, masih semeriah sebelumnya, penuh cahaya dan tawa para tamu. Ia kemudian segera menuju meja tempat ia dan Elena duduk. Tapi, meja itu sudah ditempati sepasang pria dan wanita asing yang asyik berbincang. Tidak ada tanda-tanda Elena di sana.
Damian kemudian berjalan cepat memutari ballroom, mencari sosok itu di antara kerumunan. Lalu langkahnya terhenti ketika melihat Kelly duduk di pojok ruangan bersama beberapa temannya. Ia pun segera menghampirinya.
“Bibi!” panggil Damian terburu-buru.
Kelly yang kaget langsung berdiri, “Ada apa, Damian? Wajahmu pucat sekali. Apa yang terjadi?”
“Bibi tahu di mana Elena?” tanyanya cepat.
“Elena?” Kelly mengernyit dan ikut menoleh ke sekitar, “Bukankah dia selalu bersamamu?”
Damian memijat pelipisnya keras, “Sial.” Ia hendak berbalik, namun lengannya ditahan Kelly.
“Damian, jelaskan dulu padaku apa yang sebenarnya terjadi.”
“Aku akan menjelaskannya nanti.” Damian melepaskan genggaman itu dengan lembut, lalu melangkah cepat meninggalkan ballroom.
Di ambang pintu, ia berpapasan dengan Alan yang baru saja datang.
“Damian! Kenapa kau bisa di sini?” seru Alan mencoba menahan, tapi Damian terus berlalu, seolah tidak melihatnya.
Alan mendecak kesal, menatap punggung Damian yang menjauh dengan langkah lebar.
“Sialan!” gumamnya, lalu buru-buru merogoh ponselnya, mencoba menghubungi John. Tapi panggilan itu tidak diangkat.
Ia mendengus pelan, tapi setelah mengingat sesuatu, ia langsung tersenyum miring, “Hm... jangan-jangan John sedang bersenang-senang sekarang?” ujarnya rendah, senyumnya makin lebar.
“Kalau Damian sampai memergoki kekasihnya sedang berhubungan dengan pria lain... pasti akan sangat menarik.”
Alan terkekeh pelan sebelum melangkah masuk ke dalam ballroom, seolah tidak terjadi apa-apa.
Di sisi lain, Damian yang sejak tadi sibuk menghubungi Elena tiba-tiba terhenti ketika notifikasi pesan masuk terdengar dari ponselnya. Nama Elena muncul di layar, membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Ia segera membukanya dan detik berikutnya, darahnya mendidih sempurna.
“Bajingan!”
Tinjunya menghantam dinding koridor, memantulkan suara keras yang menarik beberapa pandangan. Tanpa berpikir panjang, Damian langsung menuju lift, langkahnya berat namun cepat, nyaris berlari. Jemarinya mengepal di sisi tubuh, menahan luapan emosi yang hampir meledak.
Begitu pintu lift terbuka di lantai yang disebutkan Elena, ia segera melangkah keluar. Tatapannya menyapu deretan nomor kamar di sepanjang koridor hingga pandangannya berhenti pada pemandangan yang membuat napasnya berhenti sejenak. Di depannya, empat orang berdiri di depan salah satu kamar. Dua tamu hotel, satu petugas cleaning service, dan satu pria yang sangat ingin ia habisi saat itu juga.
Tanpa aba-aba, Damian menerobos mendekat, dan menarik kerah pria itu dengan kasar.
“BAJINGAN!”
Satu pukulan keras melayang.
Bug!
Tubuh John terhuyung lalu jatuh menghantam lantai, membuat ketiga orang di sana mundur ketakutan.
“Tu–Tuan Damian...” John gagap, suaranya bergetar.
“Iya, aku,” desis Damian, menarik lagi kerah pria itu, memaksanya berdiri, dan menghantamkannya ke dinding.
Bug!
Damian kembali memukul wajah John, hingga darah menetes dari bibirnya, begitupun wajahnya yang sudah merah lebam. Damian tidak berhenti, satu tangannya menekan leher John, tatapannya begitu tajam seperti akan menguliti pria itu hidup-hidup.
“Kenapa kau melakukan ini semua, hah!”
“S-saya bisa menjelaskan, Tuan! Saya mohon ampun!”
“Setelah terpojok baru kau minta ampun?” Damian mendesis tajam, suaranya serak karena menahan emosi, Mulai besok, jangan pernah datang lagi ke perusahaan! Aku memecatmu!”
Ia mendorong John hingga jatuh ke lantai lagi, lalu menendangnya hingga pria itu meringkuk kesakitan. Dalam pikirannya, hanya satu hal yang menahannya untuk tidak menghabisi John saat itu juga. Yaitu Elena. Ia sangat khawatir dengan keadaan wanita itu sekarang.
Damian menatap ketiga orang lainnya, “Apa yang terjadi di sini?”
“S-seorang wanita merebut kamar kami, bahkan mencuri kartu kamarnya,” jawab salah satu pasangan dengan gemetar.
Damian menoleh, menatap nomor kamar itu. Nomor yang sama dengan yang dikirim Elena.
“Kau bisa buka pintunya?” tanya Damian ke petugas cleaning service.
“Bisa, Tuan,” jawabnya cepat.
Dengan satu gesekan kartu, pintu kamar terbuka. Damian menoleh sebentar pada pemilik kamar.
“Aku akan meminjam kamar kalian. Soal biaya ganti, jangan khawatir.”
Kemudian menatap petugas cleaning service, “Bawa petugas keamanan untuk menahan bajingan itu. Aku akan membuat perhitungan dengannya.”
“Baik Tuan.”
Damian pun masuk ke kamar dan menutup pintunya rapat. Ia melangkah cepat dengan mata yang sibuk menelusuri setiap sudut ruangan. Hingga akhirnya terhenti di sisi ranjang. Di sana, Elena duduk di lantai dengan tubuh lemas dan basah kuyup.
“Elena!”
Damian segera berlutut di depannya, tangannya memegang kedua bahu wanita itu, “Kenapa tubuhmu basah seperti ini?!”
Elena mendongak perlahan, pandangan matanya masih buram. Tapi sosok Damian benar-benar jelas di matanya.
“Apa aku bermimpi?” bisiknya lirih. Tangan gemetarnya terangkat, menyentuh pipi Damian seolah memastikan kenyataan.
“Elena, sadarlah,” suara Damian bergetar, separuh karena khawatir dan separuh karena rasa bersalah.
Elena menggeleng lemah, “Aku... sudah tidak tahu harus bagaimana lagi, Om,” ucapnya pelan, lalu melingkarkan tangannya ke leher pria itu.
“Om, aku tidak kuat lagi... kumohon, bantu aku,” lanjutnya sambil menyembunyikan wajahnya di leher Damian.
Damian memejamkan mata, berusaha mengendalikan gejolak yang tiba-tiba muncul.
Elena melepaskan leher Damian lalu menatap pria itu dengan sayu, “Om, bantu aku,” ucap wanita itu lalu menyatukan bibirnya dengan bibir Damian.
Damian sedikit terkejut, tangannya mengepal penuh pertimbangan. Tapi pertahanannya terasa sia-sia, karena ia tetap membalas lumatan wanita itu. Ia merengkuh tubuh Elena dan semakin menempelkan tubuh mereka. Di tengah atmosfer panas itu, ia membimbing Elena berdiri dan melanjutkan aktivitas mereka di atas ranjang hotel.