Deskripsi Novel: Batu Rang Bunian
"Batu Rang Bunian" adalah sebuah petualangan seru yang membongkar batas antara dunia kita yang penuh cicilan dan deadline dengan alam Bunian yang misterius, katanya penuh keindahan, tapi faktanya penuh drama.
Sinopsis Singkat:
Ketika seorang pemuda bernama Sutan secara tidak sengaja menemukan sebongkah batu aneh di dekat pohon beringin keramat—yang seharusnya ia hindari, tapi namanya juga anak muda, rasa penasaran lebih tinggi dari harga diri—ia pun terperosok ke dunia Bunian. Bukan, ini bukan Bunian yang cuma bisa menyanyi merdu dan menari indah. Ini adalah Bunian modern yang juga punya masalah birokrasi, tetangga cerewet, dan tuntutan untuk menjaga agar permata mereka tidak dicuri.
Sutan, yang di dunia asalnya hanya jago scroll media sosial, kini harus beradaptasi. Ia harus belajar etika Bunian (ternyata dilarang keras mengomentari jubah mereka yang berkilauan) sambil berusaha mencari jalan pulang. Belum lagi ia terlibat misi mustahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARJUANTO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: Hutan Bisikan dan Hukum Balik Alam 2
BAB 2: Hutan Bisikan dan Hukum Balik Alam
Bagian II: Jalan yang Menghilang
Raja Pualam memimpin dengan cepat. Jubah zamrudnya berkibar, kini sedikit robek dan berlumuran getah merah dari pepohonan yang meradang. Sutan, yang masih memegang erat Batu Rang Bunian, berusaha mengimbangi langkahnya, terengah-engah.
"Kita harus cepat!" desis Raja Pualam. "Gerbang menuju Ibukota, Pusaka Hening, tidak jauh dari sini. Tapi jalan ini… tidak stabil!"
Sutan merasakan apa yang dimaksud Pualam. Tanah di bawah kakinya terasa seperti karet yang kendor. Pemandangan di sekitarnya berputar aneh. Pohon-pohon seolah tumbuh dan bergerak dalam kecepatan tinggi, menciptakan ilusi visual yang memusingkan.
"Kenapa hutannya jadi seperti ini, Mas Pualam?" tanya Sutan, mencoba fokus. "Apakah semua Bunian hidup di tempat yang berputar-putar?"
"Ini bukan hal normal, Manusia! Ini adalah reaksi alamiah terhadap hilangnya jantung energi kami!" Pualam menoleh sekilas, matanya memancarkan ketakutan yang tersembunyi. "Alam Bunian sangat sensitif terhadap Keseimbangan. Ketika Permata itu hilang, Keseimbangan runtuh. Semua yang seharusnya diam kini bergerak. Semua yang harusnya harmonis kini berbalik. Ini adalah Hukum Balik Alam."
Mereka tiba di sebuah area terbuka kecil. Di tengahnya, berdiri sebuah monumen batu kuno yang tampak seperti menara jam yang membeku, tingginya sekitar enam meter.
"Ini dia! Gerbang menuju Pusaka Hening!" Pualam menunjuk menara itu.
Sutan melihat menara itu, tapi yang menarik perhatiannya adalah apa yang ada di sekitarnya. Monumen itu dikelilingi oleh kolam air yang hitam pekat. Airnya tidak memantulkan langit ungu; sebaliknya, kolam itu memantulkan kegelapan. Dan dari kolam itu, muncul tangan-tangan.
Tangan-tangan itu kurus, pucat, dan sangat panjang. Mereka mencuat dari air hitam seperti ranting mati, lalu melambai pelan, seolah meminta sesuatu.
"Apa itu?" bisik Sutan, suaranya tercekat.
Pualam menggertakkan giginya. "Mereka adalah Arwah Penunggu kolam. Biasanya, mereka tenang. Tapi kehancuran keseimbangan membangunkan mereka, dan mereka lapar."
"Lapar apa? Mereka tidak punya mulut!"
"Mereka lapar jiwa. Mereka ingin menarikmu ke dalam kolam, Sutan. Dan mereka sangat menyukai bau ketakutan manusia!"
Pualam mengacungkan pedangnya ke depan. "Kau harus lari, lurus ke monumen itu! Sentuh permukaannya, itu akan mengaktifkan gerbang. Aku akan menahan mereka sebentar!"
Sutan merasa lututnya gemetar. Ia melihat sekeliling. Tangan-tangan itu semakin banyak. Mereka mulai menghasilkan suara. Bukan bisikan di telinga seperti sebelumnya, tapi suara menampar air. Suara itu ritmis, semakin cepat, semakin keras, menciptakan simfoni teror.
Sutan merasakan dingin yang menusuk tulang, dan ia tahu itu bukan hanya dari udara. Itu adalah ketakutan murni yang merayap. Ia menoleh ke Raja Pualam.
"Tunggu! Aku membawa Permata yang mereka mau! Kalau aku memberikannya—"
"Tidak!" potong Pualam tegas. "Permata itu akan menjadi santapan mereka. Dan begitu mereka selesai, kau dan aku akan menjadi hidangan penutup! Jangan pernah lepaskan Batu Rang Bunian itu! Lari!"
Melawan Cengkeraman Arwah
Sutan menggenggam batu itu erat-erat. Cahaya biru itu terasa hangat di tangannya, seolah memberi energi yang melawan dinginnya rasa takut. Ia berlari.
Saat ia mendekati kolam, tangan-tangan pucat itu merangsek keluar dengan kecepatan mengerikan. Salah satu tangan berhasil menjangkau pergelangan kaki Sutan. Cengkeramannya sedingin es dan sekuat baja.
Sutan menjerit kesakitan. Ia terjatuh, pandangannya langsung ke air kolam yang memantulkan kekosongan.
Dari dalam kolam, puluhan wajah pucat dan tanpa mata samar-samar terlihat. Wajah-wajah itu tersenyum lebar, senyum yang bukan berarti bahagia, tapi berarti kemenangan.
"Ikutlah... bersama kami... di tempat ini..." bisik mereka dalam keheningan pikiran Sutan.
Ketakutan Sutan memuncak. Ia tahu ia akan ditarik ke dalam. Ia mengayunkan kakinya, mencoba melepaskan cengkeraman, tapi tangan itu semakin kuat.
"Sutan! Gunakan kekuatan Batu itu!" teriak Raja Pualam yang kini disibukkan oleh serangan Arwah lain.
Sutan menarik napas. Ia ingat saat ia mengayunkan batu itu dan membekukan pohon.
Fokus, Sutan! Jangan takut! Marah!
Ia memfokuskan semua kemarahannya—kemarahan pada utang kopi, pada Pak Leman, pada Bunian yang membuatnya harus berurusan dengan makhluk menyeramkan ini—pada Batu Rang Bunian.
Batu itu berdenyut. Dan kali ini, bukannya cahaya yang keluar, melainkan Gelombang Panas.
Panas itu bukan seperti api, melainkan seperti listrik tegangan tinggi. Gelombang panas itu menyebar dari tangan Sutan, langsung ke tangan pucat yang mencengkeram kakinya.
Tangan itu menjerit. Jeritan itu bukan suara, melainkan gelombang kejut yang membuat air kolam beriak hebat. Cengkeraman itu terlepas. Tangan itu kembali tertarik ke dalam air hitam, meninggalkan bekas merah dan melepuh di pergelangan kaki Sutan.
Sutan segera bangkit. Ia melompat ke sisi monumen. Tangannya yang memegang batu menyentuh batu dingin monumen itu.
Gerbang Pusaka Hening
Saat batu itu bersentuhan dengan monumen, energi yang tersimpan di dalamnya seolah mengenali frekuensi Batu Rang Bunian.
Menara jam yang membeku itu mulai bergetar. Retakan muncul di permukaannya, dan dari retakan itu, muncul cahaya keemasan yang stabil, berbeda dengan cahaya biru dari batu Sutan. Cahaya keemasan itu memancarkan rasa damai yang kontras dengan suasana horor di sekitarnya.
Sebuah celah terbuka di tengah monumen, membentuk bingkai pintu yang berputar pelan, memperlihatkan pemandangan kota di baliknya—sebuah kota yang terbuat dari kristal dan kabut keperakan.
"Sudah terbuka! Cepat, Sutan!" seru Pualam, yang baru saja berhasil memotong salah satu tangan Arwah.
Sutan berlari, menembus celah gerbang. Saat ia masuk, ia sempat melihat ke belakang. Raja Pualam mengikutinya, tapi sebelum ia sepenuhnya masuk, ia sempat melihat sesuatu yang lebih mengerikan.
Lindu Hening yang mereka temui sebelumnya, si pemangsa bayangan, kini muncul di tepi kolam. Ia tidak peduli dengan Pualam. Ia melihat kolam Arwah Penunggu. Dan yang paling mengerikan, Lindu Hening itu menyambut tangan-tangan Arwah itu. Mereka tidak bertarung. Mereka bersatu.
Tangan-tangan pucat dari kolam mulai melilit tubuh Lindu Hening, memberinya kulit baru, memberinya massa. Lindu Hening yang tadinya hanya bayangan kurus, kini berubah menjadi monster mengerikan yang terbuat dari bayangan padat, tangan-tangan pucat, dan air kolam yang menetes.
"Dia menyerap mereka! Ini jauh lebih buruk dari yang kukira!" jerit Pualam saat ia melompat masuk ke dalam celah, mendorong Sutan.
Dalam sekejap, gerbang itu tertutup dengan suara desisan yang memekakkan telinga.
Sutan dan Raja Pualam terhuyung-huyung di atas tanah yang solid. Mereka aman. Untuk sementara.
Di depan mereka terbentang Pusaka Hening, Ibukota Bunian. Kota itu memang indah, terbuat dari kristal dan kabut. Tapi ada yang salah. Jendela-jendela kristal yang seharusnya memancarkan cahaya periang, kini gelap dan pecah. Kabut keperakan itu tebal dan sunyi, seperti selimut kematian.
Pualam tidak buang waktu. Ia menatap Sutan dengan mata yang kini dipenuhi kepanikan dan harapan yang rapuh.
"Kau harus ikut aku. Kita harus menemui Ratu. Hanya Ratu yang tahu cara menenangkan alam kami... dan hanya Batu di tanganmu yang bisa memberinya waktu."
Ia menunjuk ke sebuah istana besar di kejauhan, yang menjulang seperti gunung es yang gelap.
"Tapi bersiaplah, Sutan. Jika di hutan kau bertemu dengan alam yang marah. Di kota ini, kau akan bertemu dengan Bunian yang marah."
Sutan menelan ludah. Ia hanya ingin utang kopinya lunas. Kini ia harus berhadapan dengan drama internal keluarga gaib. Ia menghela napas, mengencangkan genggamannya pada Batu Rang Bunian.