“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Laila baru saja dimutasi ke wilayah pelosok. Dia menempati rumah dinas bekas bidan Juleha.
Belum ada dua puluh empat jam, hal aneh sudah menghampiri – membuat bulu kuduk merinding, dan dirinya kesulitan tidur.
Rintihan kesakitan menghantuinya, meminta tolong. Bukan cuma satu suara, tetapi beriringan.
Laila ketakutan, namun rasa penasarannya membumbung tinggi, dan suara itu mengoyak jiwa sosialnya.
Apa yang akan dilakukan oleh Laila? Memilih mengabaikan, atau maju mengungkap tabir misterius?
Siapa sebenarnya sosok bidan Laila?
Tanpa Laila tahu, sesungguhnya sesuatu mengerikan – menantinya di ujung jalan.
***
Instagram Author ~ Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong : 02
Tiba-tiba pintu belakang dapur Laila tertutup rapat dengan sendirinya, sehingga tidak ada cahaya lampu yang keluar.
Laila berjongkok, meringkuk dibalik pohon pisang yang tidak begitu rimbun – detak jantungnya bertalu-talu. Ia yakin akan tertangkap basah oleh cahaya senter.
Hueg.
Bau bangkai menyengat, menguar rasa asam seperti besi berkarat, dan juga amis darah campur nanah menusuk hidung. Wajah tertunduk nya mulai mendongak, langsung saja dia nyaris menjerit kencang kala ….
Sosok yang tadi mencuri perhatian Laila, kini berdiri mengambang tak menjejak tanah. Jarak mereka terlalu dekat. Wajahnya tak lagi bersembunyi – sebelah matanya hampir keluar dari rongga, dari kening hingga hidung nyaris terbelah tiga, memperlihatkan daging putih kemerahan, mulutnya mencapai telinga.
Klek.
Pintu belakang rumah Ida dibuka, sinar lampu pijar menyorot pohon jeruk purut – Santo terlihat bertelanjang dada dan hanya mengenakan sarung kotak-kotak, tangannya menggenggam senter mengarahkan ke tanaman singkong, berpindah ke halaman rumah dinas bidan baru kelurahan Sumberejo.
Laila menunduk dalam, keringat dingin membasahi kening, pelipis. Badannya bergetar hebat. Dia ketakutan, tetapi anggota geraknya seolah terkunci, sama sekali tidak berguna, kaku.
‘Uyut – tolong! Laila takut,’ batinnya merapalkan mantra ampuh. Setiap kali dirinya dalam bahaya, kesulitan, maka ia akan menyebut nama ibu dari nenek dari ayahnya.
Namun, kali ini berbeda. Laila tak dapat merasakan kehadiran sang pelindung melainkan sesuatu berbau amis, terasa sangat dingin hingga ia menggigil – mendekapnya.
“Tak ada siapa-siapa! Mungkin Musang hendak memangsa Ayam.” Santo kembali mengarahkan senternya – menyorot serumpun pohon pisang. Tidak ada apapun, hanya terdapat pelepah segar dan kering. Kemudian dia masuk ke dalam rumah.
Huh huh huh
Deru napas Laila terdengar nyaring, dadanya naik turun. Dia masih senantiasa menunduk, tak bernyali mendongak – takut melihat sosok mengerikan tadi. Setelah menunggu sekian menit, akhirnya keberaniannya terkumpul.
Saat wajahnya terangkat, tidak ada wujud berjubah kotor penuh darah, pun kala menoleh – lampu dapur rumah Ida sudah padam.
“Belum ada dua puluh empat jam aku disini, mengapa sudah disuguhi penampakan makhluk halus. Ada apa rupanya ini? Tak mungkin kehadirannya tanpa maksud, apalagi dia bisa menembus pelindung dari Uyut.” Jemari dinginnya meraba pinggang – yang mana terdapat benang tujuh warna dipilin jadi satu mengikat besi dingin bertuliskan mantra aksara Nusantara.
Meskipun masih cemas dan kakinya lemas – Laila berusaha berdiri, tangannya bertumpu pada pohon pisang masih kecil. Perlahan dan menjaga langkah agar tidak menimbulkan suara, dia kembali masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu dapur, lalu masuk ke dalam kamar mandi mencuci kaki.
***
Sisa malam itu dihabiskan oleh Laila dengan berbalik badan ke kiri - kanan di atas tempat tidur. Dia tak lagi bisa tertidur, matanya tak kunjung mengantuk.
Tepat pukul tiga pagi, sayup-sayup suara beberapa jam lalu kembali terdengar. Awalnya samar, lalu satu rintihan terdengar jelas diiringi ketukan jendela ber gorden hijau polos.
“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga batang tenggorokan ku! Tolong!”
Tok!
Tok!
Terdengar jendela kaca nako tersusun diketuk – lalu seperti digoyang hingga berbunyi bergetar.
“Pergi! Pergi!” Laila menutup telinga, ia duduk bersandar pada ranjang besi. Kakinya menekuk, kedua tangan menutup telinga.
Namun, suara-suara sarat kesakitan menyayat hati sekaligus menghantarkan rasa takut yang menjalar hingga ubun-ubun itu masih terus memenuhi gendang telinganya.
“Siapa kalian? Mau apa?!” tanyanya lirih dengan air mata berderai. Ia seperti kembali pada masa sulit sebelum memakai jimat.
Angin sejuk menerpa kulit lengan yang tidak tertutup baju, menghantarkan rasa tenang, membuat hati seketika tenteram.
“Uyut.” Ia melihat sekeliling pada kamar tak seberapa luas – netranya bertumbuk dengan sosok transparan, si pemilik senyum teduh.
"Jangan takut, Laila. Mereka hanya meminta tolong, bukan ingin mencelakai mu. Jadilah pemberani, lawan rasa takut demi memberikan keadilan. Supaya arwah penasaran itu tak lagi tersiksa."
“Bagaimana caranya, Yut? Laila baru saja pindah kesini. Belum mengetahui seluk beluk desa dan juga tak mengenal siapa-siapa selain tetangga rumah,” ragu-ragu ia mengutarakan, tidak yakin dapat membantu. Sementara dirinya sendiri termasuk orang penakut tetapi memiliki rasa penasaran membumbung tinggi.
"Ikuti kata hatimu. Biasakan mata awam mu melihat wujud mereka, jangan menolak apalagi mengusir. Nanti – kau akan menemukan cara serta jalannya."
Kemudian sosok tua, rambut sepenuhnya putih digelung rapi itu – sirna bersama sapuan angin menerpa wajah Laila.
‘Ikuti kata hati? Sementara aku sendiri sering melakukan kesalahan akibat terlalu ceroboh, selalu lupa menggunakan logika, langsung bertindak!’ batinnya menggerutu.
Laila kembali berbaring, kali ini matanya mulai sayu. Rasa kantuk menghampiri – tak lama kemudian dia terlelap di atas tilam yang sebelumnya milik bidan terdahulu.
.
.
Suara ayam jantan berkokok saling bersahutan-sahutan, tak lama kemudian terdengar adzan subuh terdengar sayup-sayup berkumandang.
Laila membuka kelopak mata, mengerjap menyesuaikan penglihatan yang silau oleh lampu kamar tidak dimatikan.
“Semalam itu mimpi atau nyata, ya?” tanyanya pada diri sendiri, pelan-pelan dia duduk.
“Auch … badanku seperti dipukuli orang sekampung.” Netranya menatap lengan terbuka. “Hah, apa ini?!”
Bidan berumur 25 tahun itu terkejut, mendapati lengannya membiru membentuk bulatan tak sempurna. “Berarti nyata. Lantas aku harus apa?”
Dia usap lembut bekas seperti efek menghantam benda keras. Kalau kata orang tuanya – akibat dicubit setan.
Laila beranjak dari tempat tidur. Kepalanya sedikit pusing sehingga langkahnya terlihat oleng, sampai ia berjalan sambil berpegangan pada dinding tembok bercat putih, lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Selepas bebersih diri, Laila merebus air untuk membuat teh, tapi dia baru ingat kalau tak memiliki teh maupun kopi. Alhasil hanya minum air hangat dan makan sebungkus roti sisa semalam.
.
.
Dari balik tirai jendela ruang tamu – Laila mengamati rumah pak RW, kala melihat sosok wanita menyapu halaman, dia bergegas keluar ingin menyapa dan bertanya bagaimana caranya pergi ke pasar.
Kaki beralaskan sandal swallow itu menginjak dedaunan kering pohon nangka dan rambutan.
“Selamat pagi, Bu.” Sapanya ramah sembari tersenyum hangat.
Wanita ber daster gambar Ayam jago mendongak, mata lelahnya menatap sendu. “Ya, bidan Laila, ya?”
“Iya Bu.” Laila mengulurkan tangan
Disambut sungkan sang lawan bicara, terlebih dahulu ia mengelap telapak tangan pada dasternya. “Saya Astuti.”
"Ibu, istrinya pak RW Sopyan, ya?” tanya Laila sopan, seraya melepaskan jabat tangan.
“Jangan terlalu akrab dengan orang baru, Mak! Terlebih dia wanita muda – bisa jadi salah satu pelacur nya pria bejat itu!”
“Apa?!”
.
.
Bersambung.
aciye ciyeeeee si juragan udh kesemsem sama janda perawan
Thor lagi donk
dgn ke konyolna si laila ahahaaaa
mantap kk up lagi dongg kk