Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 19
Keesokan harinya, langit tampak mendung. Faizan baru saja selesai rapat ketika ponselnya berdering. Nama “My Mom” muncul di layar. Ia menjawab dengan nada datar,
“Assalamu’alaikum, Mah.”
“Wa’alaikumussalam, Faiz,” suara ibunya terdengar lembut tapi tegas. “Mama minta kamu pulang sore ini.”
Faizan mengernyit. “Ada apa, Mah? Aku ada kerjaan—”
“Tidak ada tapi-tapian, Faiz. Sudah terlalu lama kamu nggak pulang. Mama mau kamu di rumah malam ini. Titik.”
Nada itu tak memberi ruang untuk menolak. Faizan menarik napas panjang, lalu menjawab, “Baiklah, sore ini aku pulang.”
Begitu sambungan terputus, Faizan bersandar di kursinya. Kepalanya penuh dengan kemungkinan. Rumah berarti… kemungkinan besar bertemu Alea. Ia mendengus pelan.
Sore harinya, mobil Faizan memasuki halaman rumah besar itu. Ibu Maisaroh sudah menunggunya di teras, senyumnya hangat seperti biasa.
“Faiz, akhirnya pulang juga,” ujarnya sambil memeluk putranya.
Faizan membalas pelukan itu singkat, lalu melirik ke dalam rumah. Dan benar saja—di ruang tamu, Alea sedang membantu Bi Iyem menata gelas di meja. Sekilas mata mereka bertemu.
Ada hening yang aneh.
Alea sempat ingin tersenyum, tapi senyum itu urung muncul ketika melihat wajah Faizan tetap datar, seolah tidak ada yang perlu dibicarakan.
“Faiz, nanti malam kita makan bersama ya,” ucap Ibu Maisaroh riang, tidak menyadari ketegangan di antara mereka. “Mama sudah masak banyak.”
Faizan hanya mengangguk pelan. “Iya, Mah.”
Sore itu, suasana rumah terasa penuh dengan aroma masakan, tapi juga penuh dengan udara yang berat. Alea beberapa kali mencuri pandang ke arah Faizan, berharap ada celah untuk bicara. Namun lelaki itu sibuk membantu ibunya memindahkan kursi, wajahnya tetap tanpa ekspresi.
Hingga menjelang makan malam, situasi tetap canggung. Bahkan Fandi, yang tiba-tiba ikut hadir karena diundang Ibu Maisaroh, bisa merasakan ketegangan di antara mereka.
“Wah, ini bakal menarik,” gumamnya pelan sambil melirik Faizan yang sejak tadi tak bersuara.
Di meja makan, semua orang mencoba berbincang, tapi Faizan hanya bicara seperlunya. Alea sesekali membuka suara, tapi selalu diabaikan Faizan yang bahkan tak menatapnya sekalipun.
Dan malam itu, setelah semua orang selesai makan, Faizan bangkit dari kursi tanpa bicara apa pun, meninggalkan meja begitu saja.
Begitu Faizan melangkah pergi, suasana meja makan mendadak terasa hampa. Piring-piring masih berantakan, tapi tidak ada yang bergerak untuk membereskannya. Semua hanya saling pandang, bingung harus berkata apa.
Ibu Maisaroh memandang punggung Faizan yang menghilang di balik lorong rumah, napasnya terdengar berat. “Ada apa dengan dia, sebenarnya? Sepertinya ada masalah?” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
Fandi yang duduk di sebelah Alea melirik sekilas, lalu bangkit dari kursinya. “Fandi permisi dulu ke kamar Faiz, Tante.” katanya hati-hati.
Alea menunduk. Di dadanya, ada perasaan bersalah yang semakin menyesakkan. Ia bisa merasakan dinginnya sikap Faizan menusuk lebih dalam setiap kali lelaki itu mengabaikannya, seolah ia hanya bayangan yang tak berarti.
“Bu, biar aku yang bereskan meja makannya,” ucap Alea pelan, mencoba mengalihkan perasaan yang campur aduk di dadanya.
Namun Ibu Maisaroh menahan tangannya. “Tidak usah, Nak. Kamu kan sedang mengandung, biar Ibu yang urus. Kamu… istirahat saja.”
Nada suara Ibu Maisaroh terdengar lembut, tapi di baliknya ada ketegasan yang membuat Alea hanya bisa mengangguk pelan.
Sementara itu, di kamar lantai dua, Faizan berdiri di balkon dengan rokok yang belum sempat dinyalakan. Angin malam berhembus membawa suara-suara dari dapur, tapi pikirannya melayang jauh.
Pintu kamar tiba-tiba diketuk pelan.
“Faiz,” suara Ibu Maisaroh terdengar. “Boleh Mama masuk?”
Faizan mematikan rokok yang bahkan belum sempat disentuh, lalu membuka pintu. “Masuk, Mah.”
Ibu Maisaroh masuk dengan langkah tenang, tapi tatapannya tajam. “Mama perhatikan sejak tadi kamu dingin sekali. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa ada masalah?”
Faizan terdiam lama. Rahangnya mengeras, matanya menatap kosong ke luar jendela. “Tidak ada apa-apa, Mah,” jawabnya singkat.
“Tapi Mama lihat jelas ada sesuatu, Faiz,” suara Ibu Maisaroh mulai mengandung nada khawatir. “Kalau kamu marah karena Mama menyuruhmu pulang, setidaknya bicarakan baik-baik. Jangan begini, diam dan memutus semua percakapan.”
Faizan memejamkan mata, mencoba menahan gejolak di dadanya. “Mah… tidak semua hal bisa dibicarakan begitu saja. Kadang… ada hal yang harus Faiz pendam sendiri.”
Ibu Maisaroh terdiam, memandangi putranya dengan campuran iba dan bingung.
“Faiz… Mama di sini sekarang. Apa tidak bisa kamu menceritakan masalahmu pada Mama?”
Faizan tidak langsung menjawab. Tatapannya masih menembus kaca jendela, menatap langit malam yang kelam seolah mencari jawaban di sana.
Ibu Maisaroh melangkah mendekat, kali ini suaranya terdengar lebih tegas.
“Faiz, apa pun masalahmu, Mama harap kamu bisa bersikap baik padanya. Dia istrimu di rumah ini, dan Mama tidak mau melihat ketegangan seperti ini terus berlarut.”
Faizan mengerutkan kening, tapi tidak berbalik. Suaranya datar ketika akhirnya ia membuka mulut, “Mama tidak tahu apa-apa tentang dia.”
Ibu Maisaroh menghela napas berat, namun tatapannya tidak melunak.
“Kalau begitu, jelaskan pada Mama. Jangan hanya diam dan bersikap dingin seperti ini. Mau sampai kapan, Faiz? Alea tidak salah apa-apa, tapi sikapmu seperti ingin menghukum dia terus-menerus.”
Kali ini Faizan berbalik, menatap ibunya dengan mata yang tajam tapi penuh kelelahan.
“Faiz bisa bersikap sopan, Mah. Tapi jangan minta lebih dari itu. Mama mau Faiz bicara baik-baik? Oke. Tapi Faiz tidak akan pura-pura seolah semua baik-baik saja.”
Nada suaranya rendah tapi tegas, membuat suasana di kamar semakin menegang.
Ibu Maisaroh menatap putranya dalam-dalam, ada kecewa sekaligus iba di sana. “Faiz… Mama hanya ingin kalian tidak saling menyakiti. Apa itu terlalu sulit?”
Faizan menghela napas panjang, lalu memalingkan wajah lagi ke arah jendela.
“Faiz akan tetap sopan, Mah,” katanya dingin. “Tapi hati Faiz… tidak bisa dipaksa begitu saja.”
Ibu Maisaroh mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia menahan diri agar nada suaranya tidak meninggi, meski hatinya mulai diaduk-aduk rasa kesal.
“Faiz, ini bukan cuma soal hati. Ini soal pernikahanmu. Soal bagaimana kamu memperlakukan istrimu di depan orang lain, di depan Mama. Kamu pikir Mama nggak malu lihat kalian seperti orang asing di rumah ini?”
Faizan berbalik, menatap ibunya tajam. “Jadi Mama lebih peduli sama apa yang orang lihat, daripada apa yang sebenarnya terjadi?”
“Bukan itu maksud Mama,” jawab Ibu Maisaroh cepat, suaranya mulai bergetar. “Tapi Faiz, menikah itu bukan hanya tentang perasaanmu sendiri. Ada tanggung jawab, ada penghargaan. Kalau ada masalah, bicarakan. Jangan diam, apalagi bersikap seolah dia tidak ada.”
Faizan tersenyum miring, tapi senyum itu pahit. “Bicarakan? Mama kira semua masalah bisa selesai dengan bicara? Ada hal-hal yang tidak akan pernah kembali seperti dulu, Mah.”
“Kalau kamu terus begini, bagaimana Alea bisa bertahan? Bagaimana pernikahan kalian bisa bertahan?” suara Ibu Maisaroh kali ini meninggi, frustasi mulai menyeruak.
Faizan menatap ibunya lama sekali. “Kalau bertahan cuma berarti pura-pura bahagia… Faiz nggak yakin itu yang Faiz mau.”
Kalimat itu membuat Ibu Maisaroh terdiam sejenak. Sorot matanya meredup, kecewa sekaligus sedih.
“Jadi kamu mau menyerah begitu saja? Lalu… bagaimana dengan anak yang ada di kandungannya?”
Faizan tidak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas panjang, lalu berkata pelan namun tegas,
“Faiz cuma tidak mau hidup dalam kebohongan. Bukan untuk Faiz… dan bukan untuk dia. Soal bayi itu, aku akan bertanggung jawab sepenuhnya sebagai seorang ayah—tapi bukan sebagai suami untuknya.”
Hening panjang kembali jatuh di antara mereka.
Ibu Maisaroh memejamkan mata, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Hatinya sebagai seorang ibu hanya ingin melihat putranya bahagia, tapi kenyataannya jauh lebih rumit dari yang bisa ia atur.
...----------------...
Bersambung...