Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.
Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.
Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Keempat
Pencarian atas teman-teman kami yang menghilang, berlanjut ke desa bagian Selatan. Kami masih ditemani oleh Pak Rusli, Pak Yunus, Pak Toni dan Pak Udin sebagai perambah jalan. Namun, Yulia dan Bella tidak ikut, mereka menjaga Bianca yang masih belum bisa diajak berkomunikasi.
Di lokasi ini, kami menemukan suatu hal yang berbeda dengan lokasi sebelumnya. Sejauh mata memandang yang tampak adalah hutan belantara. Para perambah jalan memimpin di depan sambil sesekali membabatkan parang memotong ujung-ujung tanaman yang tumbuh liar di depan, membersihkan jalanan dari ilalang dan tanaman liar. Begitu seterusnya dan akhirnya, di depan mata kami membentang sebuah padang rumput hijau dengan latar belakang gunung dan perbukitan. Udaranya begitu segar dan sejuk dan sayup – sayup terdengar aliran sungai dari kejauhan.
“Kami menamai tempat ini, KALI KIDUL. 10 meter di depan sana ada sebuah sungai kecil, berarus tenang dan airnya jernih. Air itulah yang mengairi sawah – sawah di desa kami, tapi tidak bisa langsung mengalir begitu saja, karena sekalipun berair tenang namun, pada saat – saat tertentu, arusnya bisa menakutkan. Jadi, kami membuat sebuah kolam yang dipergunakan untuk menampung air. Kolam itu kami beri nama SENDANG. Itu...” jelas Pak Udin sambil menunjuk ke sebuah bangunan terbuat dari batu bata bercat hitam.
Bulu kudukku merinding seketika melihat bangunan itu. Mirip sekali dengan bangunan dalam mimpiku. Hanya bangunan itu satu-satunya yang ada di Kali Kidul ini. Sebuah gapura yang disusun dari batu kali setinggi 2 kali tinggi orang dewasa itulah pembatas daerah tempat kami berdiri dengan bangunan itu. Lengkap dengan pernak-pernik terbuat dari janur kuning dan lentera; sajen berisi kembang tujuh warna, jajanan, dupa dan kopi hitam kental diletakkan di sudut-sudut tertentu. Asap tipis melayang – layang di udara menjadi permainan hembusan angin semilir, menebarkan aroma harum yang aneh.
“Cel, ada apa denganmu ?” tanya Joan yang melihatku sesekali berhenti dan menepuk-nepuk bahu yang serasa kebas dan berat, padahal aku hanya membawa sebuah tas kecil diisi dengan beberapa cemilan yang beratnya tidak sampai 15 gram.
Aku tersenyum, menggelengkan kepala perlahan lalu kembali berjalan. Tidak seperti hari-hari kemarin, hari ini, saat menginjakkan kaki di tempat ini, bahuku seperti kebas sekali sementara, kaki-kakiku seperti diberi bandul besi yang cukup berat. Kepalaku pening, pandanganku berkunang-kunang, seisi perutku seperti diaduk-aduk. Dan...
“Hoekh...”
Aku menumpahkan hampir setengah isi perutku, Joan terkejut begitu pula yang lain.
“Kenapa, kau, Cel...” tanya Joan cemas.
Aku mengangkat tangan kananku, “A... Aku Cuma butuh duduk sebentar,” kataku sambil mengurut tengkukku.
“Kalau kurang enak badan, mumpung belum jauh, kita kembali saja,” celetuk Hudi.
“Tanggung ...” ujarku, “Sudah separuh jalan. Aku tidak apa-apa. Entahlah tubuhku mendadak tidak bisa diajak kerja sama,” sambungku.
“Wajahmu, pucat sekali, Cel,” kata Joan.
“Sudahlah, aku tidak apa – apa,” bantahku sementara sepasang mataku tertuju pada sesosok bayangan laki-laki tua serba hitam memegang tongkat bambu kuning, berdiri di atas sebuah batu 15 meter dari tempat kami berada, menatapku iba.
“Pak Udin,” panggilku pada Pak Udin yang berdiri paling depan. Ia menoleh lalu berkata, “Ada apa, nak Cella,”
“Siapakah pria berbaju hitam yang berdiri di seberang sungai sana, pak ?” tanyaku sambil menunjuk ke arah kakek tua itu. Akan tetapi, saat Pak Udin dan yang lainnya menoleh, ia menghilang.
“Tidak ada siapa – siapa disana, nak,” ujar Pak Udin.
“Tidak mungkin, pak... baru saja saya melihat di sana ada laki – laki tua berpakaian serba hitam dan membawa tongkat bambu kuning, pak ?” jelasku.
Pak Udin menggeleng – gelengkan kepala, “Nak Cella, di Kali Kidul ini, tidak ada seorang penduduk pun tinggal. Ini adalah salah satu tempat yang sakral bagi kami. Dan, seberang sungai itu, bukanlah wilayah kami, hanya orang bodoh saja yang nekad memasuki kawasan tersebut,”
“Cel... ora usah mikir macem – macem. Piye, kowe sido melu opo ora ?” celetuk Akhmad.
“Kalau kau sudah tidak apa – apa, mari kita lanjutkan perjalanan, keburu gelap,” ajak Pak Udin.
Aku menganggukkan kepala. Baru saja aku berdiri, mendadak tubuhku limbung. Joan dengan gesit menyambarku sambil berkata, “Kita urungkan dulu pencarian hari ini. Cel, kondisimu tak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan,”
Perkataaan Joan ini merontokkan dinding karang dalam diriku. Aku mengangguk dan kamipun segera kembali ke rumah penginapan. “Ada apa dengan diriku ? Tidak seperti hari – hari kemarin,” keluhku dalam hati. Anehnya, saat meninggalkan tempat itu, rasa kebas dan berat itu hilang, tubuhku kembali stabil.
***
Pagi itu, aku, Yulia dan Hudi diajak oleh Pak Sujar menuju ke rumah Panatua Desa Nakampe Gading. Namanya, Mbah Joglo. Diantara rumah – rumah penduduk desa, rumah Mbah Joglo yang terletak lebih kurang 200 meter dari rumah tempat kami menginap, boleh dibilang, lebih bagus dan luas. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu, aroma wangi cendana tercium saat kaki – kaki kami menapak halaman rumah tersebut. Disana, tepatnya di teras, seorang laki – laki tua dan kurus duduk bersila sambil menghisap sebuah cerutu. Usianya, sekitar 88 tahun. Sekalipun sudah berusia kepala 8, namun, tak bisa kuingkari, beliau masih tampak awet muda. Saat melihat kedatangan kami, sepasang matanya yang kecil tak berkedip memandangi kami, tanpa ekspresi. Dingin dan tajam. Dipandangi seperti itu, kami merasa tak enak sendiri, terlebih saat tapak – tapak kaki kami, menginjak tikar daun pandan yang membentang di sepanjang teras. Ada hawa dingin mengalir dari telapak kaki hingga ke ubun – ubun dan rasanya sejuk sekali.
“Kenalkan, ini Mbah Joglo, anak – anak. Beliau adalah penduduk paling tua di desa ini. Beliaulah yang menjaga desa ini, nak,” kata Pak Sujar. Kami pun satu persatu memperkenalkan diri dan menyalaminya, untuk kemudian duduk.
“Mbah tahu, kalian akan datang. Ada banyak hal yang hendak kalian tanyakan sewaktu pertama kali datang ke desa ini,” kata Mbah Joglo.
“Ngapunten, Mbah... memang semenjak kami datang, kami sudah dihadapkan pada peristiwa – peristiwa di luar nalar,” kataku, “Mulai dari teman – teman saya yang menghilang, perilaku salah satu teman saya yang linglung dan banyak hal lagi,”
“Apa yang terjadi pada teman – teman kalian, hanya awalnya saja. Mbah tidak berharap kalian menemui kejadian yang lebih mengerikan dari ini,”
“Sebenarnya, apa kesalahan kami, hingga mengalami kejadian seperti ini, mbah ?”
Mbah Joglo terdiam sesaat, ia menatapku dalam-dalam, pandangannya seakan menembusi kulit dan dagingku, wajahku memerah karena tak biasa dipandangi oleh laki-laki apalagi berusia lanjut itu. Kami semua merasa gelisah. Beliau memandangku tidak kurang dari lima menit, tapi, serasa berjam-jam. Setelah itu ia memberi hormat padaku sambil berkata.
"Ngapunten, Nyai... Putumu Iki mboten ngertos menawi panjenengan tansah ngancani saking kita dhateng papan menika. Keparenga, Kulo njlentrehaken kados pundi sejatosipun, sampun kedadasan dhateng kanca-kancanipun ing papan menika,"
( Maaf, nyai... Cucumu ini tidak mengerti kalau Anda menemaninya sejak dari kota ke tempat ini. Ijinkan saya, untuk menjelaskan apa yang terjadi pada teman-temannya di tempat ini ).
Setelah berkata demikian, Mbah Joglo meletakkan dua tapak tangannya di dahi, "Injih, Nyai... Kulo ngertos. Matur nuwun,"
"Maaf, nduk. Tadi Mbah berbicara dengan dia yang menjagamu... Mohon ijin untuk menjelaskan apa saja yang telah terjadi pada teman-teman kalian. Kini dengarlah... Empat teman kalian : Pedro, Parto, Ikbal sudah meninggal, sementara, Bianca... Sukmanya terjebak di sebuah tempat di desa ini. Mbah hanya bisa menyarankan, jangan sampai jasadnya yang kosong itu mencium bau darah selama tiga hari ke depan. Kalau tidak, dia dikuasai oleh sosok yang oleh para penduduk desa ini disebut lelepah, kecil kemungkinannya untuk bisa selamat," jelas Mbah Joglo.
"Lelepah ?" tanyaku.
"Mbah... Apa benar makhluk yang bernama lelepah itu ada ? Bukan cuma mitos ?" tanya Yulia.
Aku memberi isyarat pada Yulia untuk tidak berbicara sembarangan, "Maaf, Mbah... Yulia bicara sembarangan," kataku sambil kembali berbicara, "Apakah Bianca bisa disembuhkan ?"
"Untuk masalah itu, Mbah akan coba sebisa mungkin... "
Pada saat itulah, seorang pria datang, wajahnya tampak cemas dan bingung. Ia berbisik kepada Pak Sujar dan laki-laki yang menjadi kepala desa Nakampe Gading itu membelalakkan matanya, "Celaka !"
"Mbak Cella...maaf, ini mengenai teman Anda yang bernama Bianca itu," kata Pak Sujar.
"Ada apa, pak ?"
"Sebaiknya, kita segera kembali... Sekarang juga. Mbah, saya mohon Mbah juga ikut, ya..." kata Pak Sujar.
***
Saat kami tiba di rumah, halaman sudah banyak orang berkerumun. 3 orang penduduk tergeletak di tanah dalam keadaan tubuh seperti dicabik-cabik oleh benda tajam, tubuhnya berlumuran darah. Salah satunya bisa kami kenali, Bi Midar. Tubuh mereka terbujur kaku, di sudut lain Bella berteriak-teriak minta tolong dan berusaha menjatuhkan Bianca yang berada di atas punggungnya.
Keadaan Bianca tampak mengerikan.
Kepala membesar, kulit dahi berkerut-kerut seperti lipatan kain sementara urat nadi bertonjolan keluar mirip cacing berwarna biru kehitaman. Sepasang matanya terbelalak lebar, seakan hendak keluar, sementara, bola matanya menghitam. Ia membuka mulutnya lebar-lebar, memperlihatkan deretan gigi yang panjang, runcing dan senantiasa mengeluarkan air liur.
Bagi kami, itu bukanlah Bianca yang kami kenal, dia berubah menjadi sesosok makhluk bertubuh kurus kering, hanya berupa tulang dibungkus dengan kulit. Kuku-kukunya hitam panjang mencengkeram kuat pada bahu Bella.
"Auw, sakit ! Lepaskan !" teriak Bella, darah menyembur keluar, memercik ke wajah Bianca.
Bianca menyeringai mengerikan, ia menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seakan tidak ada tulang. Sepasang matanya yang lebar dan aneh itu menatap ke leher Bella. Aku bergidik, manakala melihat mulutnya terbuka lebar dan bergerak menyambar batang leher Bella.
Bella memejamkan mata, pasrah akan apa yang bakal terjadi, tapi, mendadak...
"Krep !!"
Gigi-gigi itu menancap pada sebatang bambu berwarna hitam, leher Bella berhasil diselamatkan. Makhluk itu tampak gusar sekali, Mbah Joglo sudah berdiri sambil memandang ke arahnya. Raungannya seakan memberitahukan bahwa ia tidak terima dengan tindakan kakek itu. Hanya sebentar. Cengkeramannya mengendur dan sebuah gebukan ringan pada tengkuk membuatnya lemas tak berdaya.
Bella meringis kesakitan saat kuku-kuku makhluk itu dicabut dari bahunya, darah segar masih mengalir keluar dari luka-lukanya. Begitu Mbah Joglo menaburkan serbuk-serbuk putih di permukaan kulit hingga menutupi luka menganga itu. Bella menjerit pilu, bahunya seperti terbakar. Tak tahan dengan rasa panas itu, Bella roboh pingsan di pelukanku.
_____