Xera Abilene Johnson gadis cantik yang hidup nya di mulai dari bawah, karena kakak angkat nya menguasai semua harta orang tua nya.
Namun di perjalanan yang menyedihkan ini, Xera bertemu dengan seorang pria dingin yaitu Lucane Jacque Smith yang sejak awal dia
menyukai Xera.
Apakah mereka bisa bersatu?? Dan jika Xera mengetahui latar belakang Lucane akan kah Xera menerima nya atau malah menjadi bagian dari Lucane??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Handayani Sr., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Hujan sudah berhenti saat mobil hitam Lucane dan Xera memasuki gerbang mansion Revantra. Lampu-lampu taman menyala hangat di tengah udara dingin Amsterdam.
Kakek Revantra sudah berdiri di beranda, mengenakan jas panjang abu-abu. Wajahnya keras tapi matanya sedikit melembut saat melihat Xera turun lebih dulu dari mobil.
“Akhirnya kalian pulang.” Ucap kakek Revantra
Xera menunduk sopan.
“Maaf sudah membuat Kakek khawatir” ucap Xera pelan
Kakek mendengus pelan.
“Siapa bilang aku khawatir? Aku hanya tak mau cucuku dibodohi perempuan.” jawab Kakek Revantra
Lucane turun dari mobil, langsung meraih tangan Xera, seolah memberi isyarat pada kakeknya.
“Dia bukan perempuan biasa, Kek. Dia istri saya.” Ucap lucane tegas
Kakek terdiam sejenak. Wajah tuanya sedikit mengerut. Lalu dia mendengus lagi.
“Bagus. Setidaknya kau mulai bersikap seperti pria.” jawab nya lagi
Dia menepuk bahu Lucane dengan keras, lalu melirik Xera.
“Malam ini makan bersama. Kalian tidak boleh menolak.” Ucap kakek Revantra
Di ruang makan megah mansion Revantra, meja panjang sudah penuh hidangan Western dan hidangan khas belanda tanda khas keluarga Revantra yang multikultural. Kakek duduk di kepala meja, sementara Lucane dan Xera di sisi kanan dan kiri.
Xera terlihat gugup saat beberapa pelayan menata makanan. Lucane meraih tangannya diam-diam di bawah meja.
“Santai saja. Kau sekarang nyonya rumah.” bisik lucane
Xera menatap Lucane, tersenyum kecil. Pipi meronanya tidak bisa dia sembunyikan.
Kakek mulai bicara sambil mengiris daging steaknya.
“Kau tahu, Xera menjadi bagian dari keluarga ini artinya hidupmu selalu berada di antara peluru dan pengkhianatan.” Ucap Revantra santai
Xera meneguk air putih. Tangannya sedikit gemetar.
“Saya tahu, Kek. Tapi saya tidak akan lari.” jawab Xera
Kakek mengamati wajah Xera lama. Senyum tipis muncul di wajah tuanya.
“Ayah Lucane dulu bilang hal yang sama. Sayangnya dia kalah. Kau tidak boleh kalah, Nona Xera.” Ucap Revantra
Lucane menatap kakeknya dingin.
“Dia tidak akan kalah. Karena dia punya aku.” sela Lucane
Kakek mendengus, tapi matanya tampak bangga.
Malam makin larut. Pelayan membersihkan meja. Kakek berdiri, hendak beranjak, tapi sempat mendekat ke Xera. Suaranya pelan, hanya terdengar oleh Xera.
“Aku tidak membenci kau, Xera. Aku hanya tidak ingin kau mati sia-sia. Kalau kau ingin tetap hidup belajarlah cara bertahan di tengah monster.” bisik kakek Revantra
Xera menahan napas. Matanya sedikit berkaca.
“Terima kasih, Kek.” jawab Xera
Kakek Revantra hanya mengangguk singkat, lalu melangkah pergi.
Malam ini Xera dan lucane menginap di rumah Kakek nya.
* * * *
Malam makin hening. Salju tipis turun di luar jendela mansion. Lucane dan Xera kembali ke kamar mereka. Xera berdiri di dekat jendela, menatap butiran salju.
Lucane datang dari belakang, melingkarkan kedua lengannya ke pinggang Xera. Hidungnya menunduk, mencium leher istrinya pelan.
“Kau hebat tadi di meja makan.” Ucap Lucane
Xera menghela napas, matanya menatap salju di luar.
“Aku masih takut, Lucane”jawab Xera
Lucane membalikkan tubuh Xera, memaksanya menatapnya. Jemarinya menyentuh pipi Xera lembut.
“Takut itu wajar. Tapi kau tetap di sini. Bersamaku. Itu yang membuatmu lebih kuat dari siapa pun.” Ucap Lucane
Xera menatap mata Lucane yang dalam, matanya mulai berair.
“Aku mencintaimu…” ucap Xera
Lucane menunduk. Bibirnya menyentuh bibir Xera. Ciuman mereka lembut perlahan semakin dalam.
Lucane melepaskan ciuman, menempelkan dahinya ke dahi Xera.
“Jangan pernah pergi dariku. Apa pun yang terjadi.” Ucap Lucane dengan suara parau nya
Xera mengangguk, air mata menetes pelan.
“Aku tidak akan pergi. Kita hadapi semua bersama.” jawab Xera
Lucane mendekapnya erat. Di luar, salju turun semakin rapat. Hening. Namun untuk sesaat, bahaya dunia luar seolah tidak ada hanya ada mereka berdua, di dunia kecil bernama cinta.
* * * *
Hujan mengguyur Amsterdam sepanjang malam. Angin dingin membuat jendela-jendela mansion bergetar pelan. Lucane duduk di kursi ruang musik mansion, mengenakan sweater hitam, rambutnya sedikit berantakan.
Di depannya, sebuah grand piano hitam berdiri megah. Jemarinya menekan beberapa tuts pelan, memainkan nada-nada lembut.
Xera muncul di ambang pintu, mengenakan gaun rumah putih sederhana. Rambutnya tergerai, sedikit basah karena baru selesai mandi. Dia tertegun melihat Lucane di piano.
“Aku tidak tahu kau bisa main piano” ucap Xera
Lucane menoleh, menatapnya dengan senyum tipis.
“Aku jarang main. Ini milik ibuku.” jawab Lucane
Xera berjalan mendekat, duduk di sampingnya di bangku piano. Tangannya menyentuh tuts piano perlahan.
“Bolehkah aku dengar kau main?” tanya Xera
Lucane menatapnya, lalu mulai memainkan lagu lembut. Melodi mengalun tenang, penuh rasa rindu. Xera terdiam, menatap jemari Lucane yang panjang dan kokoh. Sesekali Lucane menatap Xera sambil tersenyum kecil.
Saat lagu selesai, Xera bertepuk pelan.
“Itu indah sekali. Lagu apa itu?” tanya Xera
“Judulnya La Vie en Rose. Ibuku dulu selalu mainkan kalau ayahku pulang.” jawab Lucane
Xera menatapnya lama. Wajahnya tiba-tiba muram.
“Lucane kau kadang terlihat sangat jauh. Seolah ada bagian dari dirimu yang tidak bisa kugapai.” Ucap Xera tiba tiba
Lucane menoleh, menatap Xera dengan mata sendu. Jemarinya menyentuh pipi Xera lembut.
“Aku memang gelap, Xera. Dunia yang kujalani gelap. Tapi kau satu-satunya cahaya yang pernah aku lihat. Jangan pernah biarkan aku jatuh terlalu jauh.” Ucap Lucane
Xera menahan napas. Air matanya berlinang, tapi dia tersenyum.
“Aku tidak akan ke mana-mana.”
Lucane mencium keningnya pelan.
Beberapa menit kemudian, Xera berdiri di dekat jendela besar, menatap hujan di luar. Lucane mendekat dari belakang, memeluk pinggangnya.
“Ingin berjalan-jalan di taman? Meski hujan?” tanya Lucane
Xera menoleh kaget.
“Kau gila? Kita bisa sakit!” jawab Xera
Lucane tertawa kecil.
“Sekali saja. Ikut aku.” ajak Lucane
Sebelum Xera sempat menolak, Lucane menariknya ke luar. Mereka berdua berlari ke taman. Hujan mengguyur deras, membasahi mereka berdua. Xera menjerit kecil, tertawa.
Lucane berhenti di bawah pohon magnolia. Wajahnya basah, tapi matanya bersinar. Dia menatap Xera, yang juga terengah-engah, rambutnya basah menempel di wajah.
“Aku tidak peduli apa pun. Asal kau di sampingku.” Ucap Lucane
Xera mendongak, matanya penuh rasa sayang.
“Aku juga tidak peduli. Kita hadapi semua bahkan hujan.” Lanjut xera
Lucane menunduk, mencium Xera dalam hujan. Ciuman mereka hangat di tengah dinginnya hujan, penuh rasa memiliki.
Mereka berdua tertawa di sela ciuman, hujan turun semakin deras. Namun malam itu, di bawah langit Amsterdam, tidak ada hal lain selain cinta mereka.
Mereka akhirnya kembali ke dalam mansion, basah kuyup. Lucane menyerahkan handuk pada Xera, menatapnya penuh rasa geli.
“Aku harus mencuci sweater ini karena ulahmu.” Ucap Lucane
Xera mendorong bahu Lucane, tertawa.
“Itu ide kamu duluan!” jawab Xera
Lucane menarik Xera mendekat lagi. Suaranya rendah dan lembut.
“Aku tidak menyesal. Kau membuat semua luka terasa bisa kusembuhkan.” Ucap Lucane
Xera terdiam. Perlahan dia melingkarkan lengannya ke leher Lucane.
“Aku juga. Aku mencintaimu suamiku.” jawab Xera
Lucane menatapnya, lalu mencium Xera sekali lagi. Lembut, penuh rasa memiliki. Hujan masih terdengar di luar, tapi malam mereka hanya berisi tawa dan janji tidak akan saling melepaskan.