Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.
Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.
Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SORE HARI BERSAMANYA
Latihan sore itu selesai, dan Kaelith berjalan keluar menuju parkiran dengan tubuh masih basah keringat. Ia menekan kunci mobil ketika suara pelan memanggil dari belakang.
“Kaelith…”
Ia menoleh cepat. Di sana, Elizabeth berdiri di samping mobilnya sendiri, tampak ragu dengan kedua tangan meremas ujung tasnya.
“Eliz?” alis Kaelith terangkat. “Kenapa kau ada di sini?”
Elizabeth melangkah mendekat. Wajahnya penuh kecanggungan. “Aku… aku hanya ingin bicara. Tentang pesta pernikahan Kevin. Tentang ketidakhadiranmu.”
Kaelith menyandarkan tubuhnya ke pintu mobil, menatap Elizabeth tajam. “Aku tidak menyesal.”
Elizabeth menghela napas, suaranya lirih. “Semua orang membicarakannya, Kaelith. Papa mu murka, Mama mu sedih. Aku tahu mungkin kau punya alasan, tapi… setidaknya itu adalah hari besar keluargamu.”
Rahang Kaelith mengeras, sorot matanya dingin. “Hari besar? Bagiku itu hanya panggung sandiwara, Eliz. Aku tidak akan berdiri di antara mereka hanya untuk berpura-pura bahagia melihat kakakku menikah tanpa cinta, hanya demi bisnis keluarga. Itu bukan sesuatu yang pantas dirayakan.”
Elizabeth menunduk, menggigit bibirnya. “Aku… hanya khawatir kau akan semakin jauh dari keluargamu.”
Kaelith mendekat sedikit, suaranya berat penuh penekanan. “Jarak itu sudah ada sejak lama. Ketidakhadiranku hanya membuat mereka sadar, aku tidak bisa lagi dikendalikan.”
Hening sejenak mengisi udara parkiran. Elizabeth menatap Kaelith seakan ingin berkata lebih, tapi memilih diam, lalu akhirnya mengangguk kecil.
Kaelith melangkah mendekat, menatap Elizabeth dengan sorot mata tajam yang membuat gadis itu menunduk sejenak.
“Jangan ikut campur dengan semua urusanku, Eliz,” ucap Kaelith dingin, suaranya penuh tekanan. “Kita memang pernah bersahabat lama, tapi itu tidak memberimu hak untuk mengaturku.”
Elizabeth terdiam, jemarinya meremas tali tasnya semakin erat. Ia ingin menjawab, tapi tak ada kata yang berani keluar.
Tanpa menunggu reaksi, Kaelith membuka pintu mobilnya dan masuk dengan wajah tanpa ekspresi. Mesin mobil meraung, meninggalkan Elizabeth yang berdiri kaku di parkiran, hanya ditemani bayangan sore yang kian memanjang.
Elizabeth menarik napas panjang, mencoba menahan getir di dadanya. Dengan langkah pelan namun berat, ia berjalan meninggalkan area parkir itu. Setiap langkah terasa seperti membawanya semakin jauh dari sosok Kaelith yang dulu ia kenal.
Ia membuka pintu mobilnya sendiri, lalu duduk di balik kemudi. Namun, bukannya langsung menyalakan mesin dan pulang ke rumah, Elizabeth hanya menatap kosong ke arah kaca depan.
Sevilla, kota yang seharusnya hanya jadi persinggahan sementara, kini terasa seolah menahannya lebih lama. Ada sesuatu yang belum selesai entah itu perasaan bersalah, rasa kecewa, atau sekadar keinginan untuk tetap berada di dekat Kaelith meski ia tahu dirinya tak lagi punya tempat di hati pria itu.
Elizabeth menggenggam kemudi lebih erat, lalu menghela napas. Mungkin aku memang belum siap pergi… batinnya lirih.
Elizabeth memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. Namun bayangan tatapan dingin Kaelith di parkiran tadi terus menghantui. Seolah-olah semua kata-kata yang ia ucapkan tidak pernah berarti.
Ia tahu Kaelith terluka, dan salah satu alasan pria itu menutup diri adalah karena sikap keluarga besar Vemund yang terlalu mengekang. Elizabeth sendiri pernah melihat bagaimana Alaric bersikap keras pada putranya itu. Tapi tetap saja, hatinya perih saat Kaelith menolaknya mentah-mentah.
Tangannya terangkat, menyeka air mata yang tanpa sadar menetes di pipinya. Kenapa aku tidak bisa berhenti peduli padanya? gumamnya dalam hati.
Perlahan, Elizabeth menyalakan mesin mobil. Namun bukannya mengarahkan mobilnya ke jalan keluar Sevilla, ia justru memutar arah menuju pusat kota. Ada dorongan kuat dalam dirinya dorongan untuk tetap tinggal, untuk mencari cara agar bisa kembali bicara dengan Kaelith.
Mungkin lewat Liora… atau bahkan Kevin… pikirnya. Bagaimanapun, ia tidak bisa begitu saja menyerah.
Mobilnya melaju di bawah cahaya lampu kota Sevilla yang mulai menyala. Di balik kaca, Elizabeth menatap langit senja yang berwarna oranye keemasan. Ada perasaan getir, namun juga tekad yang diam-diam tumbuh dalam dirinya.
Kaelith menutup pintu apartemen dan langsung disambut keheningan. Ia berjalan ke kamar, menaruh tas olahraga dan bajunya, lalu menuju dapur. Membuka kulkas, matanya menangkap beberapa wadah makanan yang sudah ditata rapi oleh Nayara.
Ada secarik catatan kecil menempel di salah satu wadah:
"Hangatkan dulu sebelum dimakan. –Nayara"
Senyum tipis terukir di bibir Kaelith. Ia mengambil wadah itu, membuka tutupnya, lalu memindahkan isi makanan ke piring. Setelah memasukkannya ke dalam microwave, ia bersandar sebentar di meja dapur, matanya kosong menatap ke arah kursi kosong yang biasanya diisi Nayara.
Bunyi ting dari microwave memecah lamunannya. Kaelith mengambil piring panas itu, meletakkannya di meja makan, lalu duduk. Aroma makanan buatan Nayara perlahan memenuhi ruangan, membuat hatinya terasa sedikit lebih hangat di tengah kesepian apartemen malam ini.
Di rumah sakit Fredricka membuka matanya perlahan, menatap ke arah Nayara yang masih duduk memandangi berkas. Wajah pucatnya sedikit mengeras, bibirnya bergerak mengeluarkan suara lirih namun tajam.
“Kenapa kau masih di sini? Atau kau sengaja menunda agar aku tidak cepat pulang? Kau senang melihatku tergeletak seperti orang lemah, ya?” ucap Fredricka dengan nada sinis.
Nayara menghela napas pelan, mencoba tetap tenang. “Bukan begitu, Bu. Dokter bilang sebaiknya Ibu benar-benar istirahat dulu, jangan buru-buru keluar kalau kondisi belum kuat.”
Fredricka mendengus kesal, matanya menyipit menatap putrinya. “Alasan. Kau hanya mencari cara supaya aku tetap di sini, supaya kau bisa bebas bersenang-senang tanpa harus melihat wajahku setiap hari. Anak tak tahu diri.”
Kata-kata itu menusuk seperti biasa, membuat dada Nayara sesak. Tangannya meremas keras berkas di pangkuannya. Ia ingin menjawab, membela diri, tapi suaranya tercekat.
Brigite yang baru saja kembali dengan membawa air hangat masuk ke ruangan, dan langsung mendengar nada tinggi Fredricka. Wanita itu menghela napas berat, lalu menaruh gelas di meja.
“Ricka, cukup,” tegur Brigite tegas. “Kau tidak boleh berbicara begitu pada anakmu. Nayara sudah mengurus semua kebutuhanmu, bahkan lebih dari yang seharusnya.”
Fredricka menoleh tajam, wajahnya menunjukkan ketidaksukaan. “Jangan ikut campur, Brigite. Dia anakku, aku berhak bicara apa saja.”
Nayara menunduk, bibirnya bergetar menahan perasaan yang bergejolak. Ia berdiri pelan, lalu meraih tas kecilnya. “Aku… keluar sebentar, Bu. Ambil udara,” ucapnya singkat, suaranya hampir pecah.
Brigite menatap Nayara dengan penuh iba, lalu menoleh lagi pada Fredricka. “Kau sadar tidak, Ricka? Setiap kali kau bicara seperti itu, kau hanya membuat jurang lebih lebar antara dirimu dan putrimu sendiri.”
Namun Fredricka hanya membuang muka ke arah jendela, tak mau menjawab.
Di luar kamar, Nayara bersandar pada dinding rumah sakit, menarik napas panjang dan menutup mata. Air mata yang ia tahan akhirnya jatuh juga, membasahi pipinya. Ia merasakan lagi luka lama yang terus dibuka oleh ibunya sendiri.
Nayara mengusap sisa air matanya dengan punggung tangan, lalu melangkah tegas menuju ruang administrasi. Suara langkahnya terdengar cepat, seakan ia tak mau memberi kesempatan pada dirinya untuk kembali goyah.
Di meja administrasi, ia menyerahkan berkas dan kartu identitas, lalu membuka dompetnya. Jemarinya sempat bergetar saat mengeluarkan kartu pembayaran. Petugas rumah sakit menyodorkan tagihan yang cukup besar, membuat dadanya sesak sejenak, namun tanpa berkata apa-apa, Nayara langsung menyelesaikan pembayaran itu.
“Sudah selesai, Nona. Ibu Anda bisa segera dipulangkan setelah pemeriksaan terakhir,” ucap petugas dengan sopan.
Nayara mengangguk kecil, wajahnya datar. “Terima kasih.”
Ia berjalan kembali ke lorong, menunggu proses administrasi selesai. Dalam hatinya, ia bergumam pelan, “Aku hanya ingin semua ini cepat selesai. Aku lelah.”
Setelah semua urusan administrasi selesai, Nayara kembali ke lorong dengan amplop berisi dokumen dan bukti pembayaran. Wajahnya pucat, lelah, tapi matanya berusaha tetap tegar.
Brigite yang sejak tadi menunggui Fredricka, menyambut Nayara dengan senyum lembut.
“Sudah selesai, Nak?” tanya Brigite.
Nayara mengangguk, lalu menyerahkan amplop itu ke tangan Brigite. “Ini semua dokumen dan pembayaran untuk kepulangan Ibu. Aku titipkan padamu, karena… aku tidak yakin bisa menanganinya lebih jauh. Tolong bantu urus sampai Ibu benar-benar bisa keluar.”
Brigite menatap Nayara dengan mata teduh, lalu menggenggam lembut tangan gadis itu. “Tentu, Sayang. Aku akan mengurusnya. Kau jangan khawatir.”
Nayara mencoba tersenyum tipis, meski jelas terlihat berat. “Terima kasih… aku benar-benar tidak tahu lagi harus bagaimana.”
Brigite mengangguk pelan, menepuk punggung tangan Nayara. “Kau sudah berusaha lebih dari cukup. Biarkan aku yang melanjutkan.”
Nayara akhirnya mundur selangkah, membiarkan Brigite yang mengurus. Ada sedikit rasa lega di dadanya, meski beban berat itu belum benar-benar hilang.
Nayara menarik napas panjang, lalu menatap Brigite sekali lagi. “Kalau begitu… aku pamit dulu. Tolong jaga Ibu, aku tidak bisa tinggal lebih lama di sini.” Suaranya lirih, hampir tenggelam di antara riuh rumah sakit.
Brigite menatapnya penuh pengertian. “Pergilah, Nak. Kadang menjauh sebentar juga perlu, agar hatimu tidak semakin terluka.”
Nayara mengangguk pelan, menahan rasa sesak yang kembali menyelinap di dadanya. Ia melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit, tidak berani menoleh lagi ke arah kamar ibunya.
Begitu melewati pintu keluar, hawa sore yang sedikit dingin menyambutnya. Gadis itu berhenti sejenak, menengadah ke langit yang mulai merona jingga. Ada perasaan lega karena ia sudah melakukan kewajibannya, tapi juga perih karena setiap pertemuan dengan Fredricka selalu berakhir dengan luka.
Dengan langkah gontai, Nayara berjalan menjauhi gedung rumah sakit, meninggalkan segala penat dan amarah di balik temboknya.
Nayara berjalan kaki menyusuri jalanan kota Sevilla, membiarkan langkahnya mengikuti ritme pikirannya yang kusut. Angin sore berhembus lembut, membuat helaian rambutnya terayun ringan. Langit mulai merona oranye keemasan, seakan menenangkan hatinya yang resah.
Ia berhenti ketika matanya menangkap sebuah lapangan terbuka di pinggir jalan. Di sana, sekelompok anak-anak sedang asik bermain sepak bola. Tawa riang dan sorak-sorai mereka pecah setiap kali bola mengenai gawang seadanya yang terbuat dari tumpukan batu bata.
Nayara terdiam. Ada rasa hangat yang perlahan merambat di dadanya, sekaligus getir yang sulit ia jelaskan. Melihat anak-anak itu, ia seperti menyaksikan kebebasan yang tidak pernah benar-benar ia miliki sejak kecil. Tidak ada teriakan marah, tidak ada tatapan benci hanya tawa tulus yang membaur dengan sore yang kian temaram.
Bibir Nayara melengkung samar, namun matanya tetap berkaca-kaca. Untuk sejenak, ia berharap bisa kembali menjadi anak kecil yang tak terbebani, berlari bebas di lapangan bersama teman-teman tanpa harus memikirkan luka dari keluarganya.
Nayara menjatuhkan dirinya perlahan di hamparan rumput yang masih terasa hangat tersisa dari sinar matahari sore. Ia mendongak, menatap langit yang kian jingga, berpadu dengan semburat ungu tipis yang perlahan merambat. Indah, namun terasa begitu jauh dari dirinya.
Di hadapannya, anak-anak kecil itu masih berlarian dengan riang. Tawa mereka pecah, tanpa beban, tanpa rasa takut. Setiap kali bola mengenai kaki, mereka berteriak bahagia, seolah dunia hanya milik mereka saat itu.
Nayara tertegun. Ada desir hangat sekaligus perih yang menyusup di dadanya. “Andai aku bisa sesederhana mereka…” batinnya lirih. Matanya berkaca, tetapi senyum samar tetap tercetak di wajahnya, karena sedikit banyak kebahagiaan itu menular, meski hanya sebagai penonton dari kejauhan.
Ia meraih lututnya, memeluknya erat, mencoba menenangkan diri di antara suara tawa yang bercampur dengan semilir angin sore.
Saat tengah menikmati waktunya sendiri, Nayara terhenyak ketika tiba-tiba sebuah botol minuman dingin muncul di hadapannya, begitu dekat hingga ia spontan mundur sedikit.
“Untukmu,” suara itu terdengar ringan.
Nayara mengangkat wajahnya. Di hadapannya berdiri seseorang, dengan senyum tipis yang seolah berusaha mencairkan suasana. Embun dingin dari botol menyentuh ujung jemarinya ketika ia, dengan sedikit ragu, menyambut minuman itu.
“Kau terlihat seperti butuh ini,” lanjut orang itu, tatapannya tertuju pada wajah Nayara yang masih basah oleh sisa air mata.
Mata Nayara, sedikit melebar saat mengenali sosok itu. Jayden penjaga toko buku yang beberapa minggu lalu membantunya menemukan novel yang masih ia baca.
“Kau…” Nayara bergumam pelan, masih setengah tak percaya.
Jayden tersenyum kecil. “Kebetulan aku lewat dan melihatmu di sini. Sepertinya kau butuh teman bicara.”
Nayara menunduk sejenak, jemarinya meraba botol minuman di tangan. Hatinya ragu, tapi di saat yang sama ada sedikit kelegaan.
“Boleh aku duduk?” tanya Jayden sambil menunjuk ke sisi rumput di samping Nayara.
Walau sempat ragu, Nayara akhirnya mengangguk pelan. Jayden pun duduk dengan jarak sopan, tidak terlalu dekat, seolah menghargai ruang yang Nayara butuhkan.
Beberapa saat hening, hanya suara tawa anak-anak di lapangan yang terdengar. Jayden membuka mulut lebih dulu.
“Aku sering ke sini, biasanya untuk mencari udara segar setelah bekerja. Tapi kupikir, lapangan ini lebih cocok untuk mereka yang punya hati ringan… bukan orang yang tampak terbebani.”
Nayara menoleh sekilas, lalu kembali memandang langit yang kini berwarna oranye keemasan. “Aku hanya butuh sedikit tenang,” jawabnya pelan.
Jayden tidak mendesak, hanya mengangguk sambil menyesap minumannya. “Kalau begitu, mungkin aku bisa menemanimu diam.”
Nayara menunduk, jari-jarinya memainkan rumput kecil di tangannya. “Kau tidak keberatan duduk diam seperti ini?” tanyanya, seolah heran dengan sikap Jayden yang terlalu tenang.
Jayden tersenyum tipis. “Tidak. Kadang, diam adalah bahasa paling jujur. Kau tak perlu bicara kalau tak mau.”
Ucapan itu membuat dada Nayara sedikit lebih ringan. Sudah lama ia tidak bertemu orang yang tidak menuntutnya untuk terus menjelaskan diri.
“Kalau begitu…” Nayara menghela napas. “Kau bisa ceritakan sesuatu yang ringan. Tentang apa saja. Agar aku tidak terlalu larut dengan pikiranku sendiri.”
Jayden menoleh, mata cokelatnya jernih dan tenang. “Tentang toko buku?” ia bertanya ringan.
Nayara tersenyum samar. “Ya. Itu kedengarannya… bagus.”
Jayden tertawa kecil. “Kemarin ada anak kecil membeli buku dongeng, tapi dia malah minta diskon seperti orang dewasa. Katanya, ‘aku hanya punya uang segini, sisanya bisa aku bayar dengan gambar dinosaurus.’”
Mendengar itu, Nayara terkekeh pelan. Tawanya jernih meski singkat, tapi cukup membuat hatinya yang sesak sedikit terbuka.
“Dan kau menerimanya?” tanya Nayara, suaranya lebih lembut.
“Tentu saja,” jawab Jayden dengan nada serius yang jelas bercanda. “Sekarang aku punya satu gambar dinosaurus warna hijau yang katanya bisa melindungiku dari mimpi buruk.”
Nayara kembali tertawa, kali ini lebih tulus. “Kau terdengar bodoh.”
“Lebih baik bodoh, asal bisa membuat seseorang tersenyum,” balas Jayden santai.
Nayara terdiam sejenak, menatap langit yang mulai gelap. Entah mengapa, keberadaan Jayden membuatnya tidak merasa sendirian.
Jayden ikut memandang langit sore yang mulai berubah menjadi keunguan. Suaranya tenang, tidak terburu-buru.
“Kadang hidup ini… memang berat, Nayara. Ada hal-hal yang rasanya tidak adil, bahkan kejam. Kita ingin marah, tapi marah pun tidak mengubah apa pun.”
Nayara menoleh pelan, matanya memandang Jayden yang masih menatap langit.
“Yang bisa kita lakukan,” lanjut Jayden, “Hanyalah berdamai dengan keadaan. Menerima bahwa ada hal-hal di luar kendali kita. Lalu perlahan belajar menemukan tempat kecil… di mana hati kita bisa bernapas.”
Nayara menggenggam botol minuman yang tadi diberikan Jayden, jemarinya sedikit bergetar. “Berdamai dengan keadaan…” gumamnya pelan, seakan mengulang untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Jayden menoleh, sorot matanya hangat. “Itu bukan berarti menyerah. Itu hanya cara untuk tidak terus-menerus terluka oleh hal yang tak bisa kau ubah.”
Keheningan sejenak melingkupi mereka. Hanya suara anak-anak yang masih tertawa di lapangan, bercampur dengan tiupan angin sore.
Nayara akhirnya menarik napas dalam, mencoba meresapi setiap kata yang baru saja ia dengar. Hatinya masih rapuh, tapi ada sedikit ruang lega yang tercipta.
Jayden menunduk sejenak, memungut batu kecil lalu melemparkannya pelan ke arah lapangan kosong di depannya. “Kau tahu, Nayara… aku sering bertemu orang-orang di toko buku. Ada yang datang hanya untuk mencari bacaan, ada juga yang mencari pelarian.”
Ia tersenyum tipis, tatapannya tetap hangat. “Tapi aku selalu percaya… setiap orang punya cara masing-masing untuk bertahan. Entah lewat membaca, menulis, berlari, atau sekadar duduk seperti ini.”
Nayara mendengarkan dengan tenang.
“Dan kau,” lanjut Jayden sambil meliriknya sekilas, “Terlihat seperti seseorang yang sudah menanggung banyak hal sendirian. Itu berat, aku tahu. Tapi jangan sampai kau lupa… bahwa kau juga berhak merasa bahagia.”
Nayara mengatup bibirnya, hatinya bergetar mendengar kalimat itu.
Jayden kembali menatap langit, lalu berkata pelan, “Kalau dunia terlalu bising… cobalah cari tenang dalam dirimu sendiri. Dan jangan takut, Nayara. Kau tidak benar-benar sendirian, meski kadang rasanya begitu.”
Nayara menunduk, kedua tangannya meremas ujung cardigan yang ia kenakan. Ada jeda panjang sebelum akhirnya ia berucap lirih, “Kadang aku iri pada anak-anak itu… mereka bisa tertawa tanpa memikirkan apapun. Sedangkan aku… rasanya selalu harus kuat.”
Jayden menoleh, memperhatikannya dengan penuh empati. “Tak ada salahnya merasa lemah, Nayara. Orang yang selalu terlihat kuat pun pasti punya ruang untuk menangis. Bedanya, ada yang berani mengakuinya, ada juga yang memilih menyimpannya rapat-rapat.”
Nayara mengangkat pandangannya perlahan, menatap Jayden yang begitu tenang di bawah cahaya senja. Ada sesuatu yang membuatnya ingin percaya pada kata-kata itu.
“Kalau kau merasa berat,” lanjut Jayden lembut, “izinkan dirimu istirahat sejenak. Dunia tidak akan marah kalau kau berhenti sebentar.”
Senyumnya tipis, tulus. “Dan kalau kau butuh teman… aku tidak keberatan duduk di sini bersamamu, tanpa harus banyak bicara.”
Nayara terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Ia mengangguk kecil, seolah menerima tawaran sederhana itu.
Senja makin meredup, meninggalkan kehangatan samar di udara. Untuk pertama kalinya setelah hari yang panjang, Nayara merasa dadanya sedikit lebih lega.