NovelToon NovelToon
TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Obsesi / Identitas Tersembunyi / Sugar daddy
Popularitas:8.3k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.

Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.

Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CEDERA YANG SEMAKIN PARAH

Kaelith duduk di ruang praktik yang asing baginya. Aroma obat-obatan bercampur dengan wangi minyak kayu putih menusuk hidung, berbeda jauh dengan ruang terapi klubnya yang modern dan nyaman. Ruangan ini tampak suram, lampu redup, dan perlengkapannya terlihat kuno.

Seorang pria paruh baya dengan jas putih masuk, tersenyum ramah namun tatapannya penuh kalkulasi.

“Selamat sore, Tuan Vemund. Saya sudah diberitahu kondisi cedera Anda. Mari, kita mulai sesi terapi.”

Kaelith mengangguk pelan, masih menahan nyeri di kakinya. Ia berbaring di ranjang terapi.

“Terapis lama klubku sibuk. Jadi, klub menyarankan tempat ini?” tanyanya ragu.

Pria itu hanya tersenyum samar.

“Benar. Percayalah, saya tahu apa yang harus saya lakukan. Kaki Anda akan lebih cepat pulih di tangan saya.”

Kaelith mengerutkan kening ketika pijatan pria itu terasa aneh. Bukannya meredakan nyeri, justru membuat rasa sakit di ototnya semakin tajam.

“Ahh..!” Kaelith mendesis, mencengkeram sisi ranjang. “Apa kau yakin ini normal?”

“Tentu saja,” jawab terapis itu datar. “Rasa sakit awal adalah bagian dari proses penyembuhan. Tahanlah sedikit lebih lama.”

Namun dalam hatinya, Kaelith merasa ada yang tidak beres. Terapi ini tidak seperti biasanya. Otot kakinya terasa makin kaku, bukan pulih. Ia mencoba mempercayai profesionalisme terapis itu, tapi firasat buruk terus mengganggunya.

Kaelith semakin meringis menahan sakit. Setiap kali tangan pria itu menekan otot betisnya, seolah ada jarum yang menusuk dari dalam. Napasnya memburu, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.

“Ini… bukan terapi biasa,” gumamnya di sela napas terengah.

Terapis itu tetap tersenyum, seakan tak peduli dengan reaksi pasiennya. “Percayalah, saya sudah menangani banyak atlet. Mereka semua berterima kasih setelah melalui sesi ini.”

Kaelith menatap pria itu tajam. “Klubku… siapa yang merekomendasikanmu?” tanyanya curiga.

Pria itu sedikit terdiam, lalu cepat-cepat menjawab, “Itu urusan administrasi. Kau tidak perlu khawatir.”

Jawaban itu justru membuat dada Kaelith kian sesak. Instingnya sebagai pemain yang terbiasa menghadapi tekanan lapangan kini berbunyi keras ada sesuatu yang salah. Ia meraih ponselnya di meja samping, namun terapis itu dengan tenang menepuk tangannya.

“Selama terapi, fokuslah pada penyembuhan. Jangan gunakan ponsel.”

Kaelith menarik tangannya kembali, tatapannya dingin. “Aku tidak suka diperlakukan seperti ini.”

Ia memaksa duduk, meski kakinya berdenyut hebat. Saat itu pula, ia merasa jelas ada kejanggalan. Rasa nyeri yang seharusnya berangsur reda malah menjalar hingga ke lutut.

Dalam hati Kaelith bertekad, Aku harus cari tahu siapa yang mengirimku ke tempat ini. Kalau aku salah langkah, karierku bisa tamat di sini.

Kaelith keluar dari ruangan dengan wajah pucat dan langkah terseok. Nyerinya belum berkurang, bahkan semakin menusuk hingga ia harus menahan setiap langkah dengan giginya terkatup rapat.

Di lorong, Nayara berdiri dari kursinya begitu melihat Kaelith. Gadis itu langsung menghampiri dan meraih lengannya.

“Kaelith…” panggilnya lirih, sorot matanya penuh kekhawatiran.

Pria itu hanya mengangguk, enggan menunjukkan kelemahannya, meski berat badannya kini bertumpu pada Nayara. Dengan sabar, Nayara memapahnya keluar gedung terapi.

Sepanjang perjalanan menuju mobil, tak ada kata yang terucap. Hanya suara derap langkah dan napas terengah Kaelith yang terdengar. Nayara tahu pria itu sedang menahan amarah sekaligus rasa sakit, dan satu kata saja bisa membuatnya meledak.

Di dalam mobil, Kaelith bersandar lemah. Jari-jarinya mengepal di atas paha. “Tempat ini… bukan rekomendasi klub,” gumamnya akhirnya, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.

Nayara meliriknya, bingung. “Maksudmu?”

Kaelith tak menjawab, hanya menggeleng dan memejamkan mata, menahan denyut yang semakin membakar ototnya.

Sesampainya di apartemen, Nayara kembali membantu Kaelith. Ia membiarkan pria itu duduk di sofa, lalu buru-buru mengambil air hangat dan handuk kecil. Gadis itu berlutut di hadapannya, mengompres kaki yang bengkak dengan hati-hati.

“Jangan banyak bicara, istirahatlah dulu,” ucap Nayara pelan, berusaha menenangkan meski dirinya sendiri cemas.

Tatapan Kaelith jatuh pada Nayara. Di balik nyeri dan amarahnya, ada secercah kesadaran hanya gadis ini yang tetap berada di sisinya, bahkan saat tubuhnya hampir runtuh.

Tengah malam, kamar apartemen dipenuhi suara erangan tertahan Kaelith. Nafasnya memburu, keringat dingin mengucur deras dari pelipis, sementara tangannya mencengkeram erat sprei. Setiap kali ia mencoba menggerakkan kakinya, rasa sakit itu seperti merobek urat dan tulangnya.

Nayara yang sejak tadi tak bisa tidur segera bangkit dari ranjang. “Kaelith… kau semakin parah,” ucapnya panik, mencoba memegang kaki pria itu namun segera ditepis kasar.

“Jangan sentuh aku…” desis Kaelith, wajahnya memerah menahan sakit.

“Kalau terus begini, kakimu semakin parah,” balas Nayara dengan suara bergetar. Ia tak peduli dengan penolakan Kaelith kali ini. Dengan cepat, gadis itu mengambil ponselnya dan menghubungi layanan darurat.

Beberapa menit kemudian, dengan penuh tenaga Nayara membantu Kaelith keluar dari apartemen. Tak ada yang tersisa selain rasa cemas di wajahnya. Di lobi apartemen, ambulans sudah menunggu.

Kaelith masih sempat mengeraskan suaranya, “Aku tidak butuh rumah sakit!” namun rintihan berikutnya membuat ia kehilangan tenaga untuk melawan.

“Diam, Kaelith,” bisik Nayara menatap iba Kaelith yang kesakitan.

Di dalam ambulans, Kaelith akhirnya terbaring lemah, matanya memejam meski rahangnya masih mengeras. Nayara duduk di sampingnya, menggenggam tangan pria itu tanpa melepasnya. Untuk pertama kalinya, ia berani menentang keinginan Kaelith demi menyelamatkannya.

Di ruang gawat darurat rumah sakit, lampu-lampu putih menyorot tubuh Kaelith yang terbujur di ranjang pemeriksaan. Dokter ortopedi bersama dua perawat segera melakukan pemeriksaan awal.

“Cedera ini tidak wajar,” gumam sang dokter sambil menggerakkan perlahan kaki Kaelith yang membuat pria itu kembali meringis. “Bukan sekadar akibat benturan pertandingan.”

Nayara yang berdiri di samping ranjang langsung menoleh cepat. “Maksud Anda… apa ada yang salah?”

Dokter menatapnya serius. “Otot dan ligamennya seperti sengaja dipaksa dalam terapi yang salah. Seolah-olah ada manipulasi pada metode penyembuhan yang justru memperparah cedera.”

Nayara terdiam, darahnya serasa berhenti mengalir. Ingatannya langsung melayang pada tempat terapi aneh yang mereka kunjungi kemarin siang.

Kaelith membuka matanya yang berat, menatap dokter dengan tatapan dingin bercampur curiga. “Jadi kau bilang… ada orang yang ingin menghancurkan karierku?” suaranya serak, tapi penuh tekanan.

Dokter itu hanya menghela napas. “Saya tidak bisa menyimpulkan sejauh itu, Tuan. Tapi jelas ada kejanggalan pada kondisi Anda. Kami harus segera lakukan MRI dan beberapa tes tambahan.”

Nayara menunduk, kedua tangannya gemetar di sisi tubuhnya. Ia tahu, kalau benar ini sabotase, maka Kaelith berada dalam bahaya yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.

Kaelith meraih tangan Nayara dengan tenaga yang tersisa, mencengkeramnya erat. Tatapannya tajam menusuk.

“Siapa yang berani melakukan ini… aku akan menemukan mereka. Dan aku akan membuat mereka menyesal.”

Di ruang kerja megah rumah keluarga Vemund, Alaric duduk di balik meja kayu berukir, lampu kristal menggantung anggun di atasnya. Asap cerutu tipis mengepul dari tangannya sementara jemarinya mengetuk permukaan meja, menunggu kabar.

Telepon di mejanya berdering. Alaric mengangkatnya dengan santai, suaranya tenang namun penuh wibawa.

“Bagaimana keadaan bocah itu?”

Suara serak dari ujung sana menjawab, “Seperti yang Anda inginkan, Tuan. Terapis gadungan sudah melakukan tugasnya. Cedera Kaelith semakin parah, dan saya yakin dalam waktu singkat ia tidak akan bisa kembali ke lapangan.”

Alaric menyandarkan punggungnya, tersenyum tipis. “Bagus. Sepak bola hanya membuatnya lupa diri, lupa bahwa darah Vemund mengalir di nadinya. Cepat atau lambat, ia harus kembali pada aturan keluarga.”

Ia meletakkan gagang telepon, menatap jendela besar rumah megah itu yang menghadap langsung ke taman keluarga. Suara desis keluar dari bibirnya.

“Kaelith Arvendor Vemund… cepat atau lambat, kau akan kembali. Tidak ada ruang untuk pembangkangan dalam keluarga ini.”

Kaelith akhirnya terlelap setelah perawat memberikan obat penahan nyeri. Wajahnya pucat, keringat dingin masih membasahi pelipis, membuat hati Nayara mencelos. Ia menatap pria itu sejenak, memastikan napasnya teratur, lalu perlahan bangkit dari sisi ranjang.

Dengan hati-hati, Nayara meraih ponsel Kaelith yang tergeletak di meja kecil. Jemarinya bergetar saat layar ponsel menyala, menampilkan daftar kontak yang sebagian besar asing baginya nomor dokter tim, beberapa rekannya, hingga satu nama yang membuatnya terdiam yaitu Alaric Vemund.

Gadis itu menelan ludah, dadanya bergemuruh. Nalurinya berkata, ia harus memberi kabar pada keluarga Kaelith, terutama ayahnya. Tapi di sisi lain, ia tahu betul bagaimana keluarga Vemund memandangnya. Bagi mereka, Nayara hanyalah seorang pengganggu, bayangan hina yang tidak pantas berdiri di samping putra mereka.

Kepalanya dipenuhi pertanyaan yang saling bertabrakan.

"Haruskah aku menghubunginya? Bagaimana jika mereka justru menyalahkanku atas kondisi Kaelith? Bagaimana jika… Alaric benar-benar membenciku?"

Ponsel itu terasa begitu berat di genggamannya. Nayara menggigit bibir, matanya berkaca-kaca. Satu langkah salah, dan Kaelith bisa hilang segalanya. Tapi jika ia tetap diam, ia takut justru membiarkan Kaelith terpuruk tanpa dukungan keluarga kandungnya.

Nafasnya memburu. Jemarinya hampir menyentuh ikon panggilan, tapi segera ia menarik tangannya kembali.

“Tidak… aku tidak bisa,” bisiknya lirih, lalu menyandarkan punggung ke dinding luar ruang perawatan, menahan air mata yang hampir jatuh.

Nayara akhirnya menarik napas panjang, mencoba menenangkan getaran di dadanya. Ia menatap kembali layar ponsel Kaelith, lalu menggeser daftar kontak perlahan. Pandangannya berhenti pada satu nama yang terasa lebih aman baginya yaitu Kevin.

“Kevin…” bisiknya, seakan menyebut nama itu memberi sedikit keberanian.

Dengan tangan yang masih gemetar, Nayara menekan ikon panggilan. Derit nada sambung membuat jantungnya semakin berdegup kencang. Untuk sesaat ia hampir ingin memutuskan sambungan, tetapi suara di seberang segera menjawab.

“Halo?” suara Kevin terdengar agak serak, mungkin karena larut malam.

Nayara menggigit bibir, lalu memberanikan diri. “Ke-Kevin… ini Nayara.”

Sejenak hening. Lalu terdengar helaan napas dari seberang. “Nayara? Kenapa kau menelponku dengan ponsel Kaelith? Apa yang terjadi?”

Air mata Nayara langsung jatuh, meski ia berusaha keras menahan suaranya agar tetap tenang. “Kaelith… dia sedang di rumah sakit. Dia kesakitan parah sejak tadi malam, aku... aku tak tahu harus menghubungi siapa. Jadi… aku hubungi kau.”

Suara Kevin terdengar tegas, meski ada nada panik yang terselip. “Rumah sakit mana? Aku akan segera datang.”

Nayara menyebutkan nama rumah sakit dengan cepat. “Tolong… jangan beri tahu ayahmu dulu. Aku takut… aku takut mereka salah paham padaku.”

Kevin tidak langsung menjawab, hanya ada keheningan singkat sebelum ia berkata lirih namun mantap, “Aku mengerti. Tenanglah, Nayara. Aku akan segera ke sana. Tunggu aku.”

Sambungan terputus. Nayara menatap ponsel itu lama, lalu merapatkan kedua tangannya di dada. Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, ia merasa sedikit lega seolah ada seseorang yang bisa ia andalkan selain dirinya sendiri.

Langkah cepat Kevin bergema di sepanjang koridor rumah sakit yang masih sepi pada waktu subuh. Aroma obat-obatan bercampur dengan kesunyian dini hari menambah berat di dadanya. Saat pintu ruang rawat inap didorong perlahan, pandangannya langsung tertuju pada dua sosok di dalam.

Nayara duduk di tepi ranjang, wajahnya pucat kelelahan. Sejak tadi tangannya tergenggam erat oleh Kaelith, seolah enggan terlepas walau pria itu tengah tertidur pulas karena obat penahan nyeri.

Kevin terdiam di ambang pintu, matanya sedikit melembut melihat pemandangan itu. Ada sesuatu yang terasa getir sekaligus menyayat campuran antara rasa iba pada Nayara dan rasa peduli yang besar pada sang adik.

“Nayara…” panggil Kevin dengan suara pelan, takut membangunkan Kaelith.

Nayara mendongak, matanya sembab dan berair. Sejenak ia tampak kebingungan harus berkata apa. “Kevin… kau datang,” ucapnya lirih, suaranya nyaris pecah.

Kevin melangkah masuk, menutup pintu perlahan. Ia menatap Kaelith yang terbaring, lalu kembali menatap Nayara. “Bagaimana keadaannya, Kaelith?” tanyanya dengan nada serius.

“Dokter bilang… cederanya bisa bertambah parah kalau salah ditangani. Untung aku membawanya ke sini tepat waktu.” Nayara menunduk, menatap jemari Kaelith yang masih menggenggam tangannya.

Kevin menarik kursi lalu duduk di samping Nayara, matanya menatap adiknya yang terbaring lemah. Ia menghela napas panjang. “Aku berhutang padamu, Nayara. Kalau kau tidak cepat membawanya, mungkin sekarang keadaannya berbeda.”

Ia tidak sanggup berkata banyak, hanya diam sambil terus berada di sisi Kaelith.

Pagi hari, cahaya matahari menembus tirai tipis ruang rawat inap, membuat ruangan yang semula redup kini lebih terang. Kaelith perlahan membuka matanya. Rasa berat masih menggantung di tubuhnya, nyeri masih sesekali menusuk kakinya, namun yang lebih terasa adalah kesunyian di sekitarnya.

Ia menoleh ke sisi ranjang, berharap mendapati sosok Nayara seperti semalam. Tapi kosong. Tidak ada siapa pun di sana.

Hanya Kevin yang terlihat duduk di kursi dekat jendela, tubuhnya condong santai namun tatapannya serius ke arah tablet yang ia pegang. Jemarinya sibuk mengetuk layar, sesekali alisnya berkerut menandakan ia sedang membaca atau mencari sesuatu yang penting.

“Kevin…” suara Kaelith parau, lemah.

Seketika Kevin mendongak, menutup tabletnya. Raut wajahnya langsung berubah lega begitu melihat kakaknya membuka mata. “Kau sudah bangun.” Ia bangkit dari kursinya, menghampiri ranjang. “Bagaimana rasanya? Masih sakit?”

Kaelith menarik napas panjang, menahan meringis. “Masih… tapi bisa kutahan. Nayara, dia… di mana?”

Kevin terdiam sejenak, lalu meletakkan tablet di meja kecil dekat ranjang. “Dia sudah pulang tadi pagi. Wajahnya pucat sekali setelah semalaman di sini, jadi kupaksa untuk beristirahat.”

Raut wajah Kaelith berubah, entah kecewa, entah lega mendengar itu. Matanya menatap ke arah pintu, seolah berharap Nayara kembali kapan saja.

Kevin menepuk bahu kakaknya dengan lembut. “Kau tidak perlu khawatir. Dia sudah melakukan banyak hal untukmu semalam. Sekarang tugasku memastikan kau baik-baik saja.”

“Dokter bilang, kau akan menjalani operasi untuk menyembuhkan kakimu itu,” ucap Kevin pelan, suaranya terdengar berat.

Kaelith menoleh cepat, alisnya berkerut. “Operasi…?” gumamnya, seolah tak percaya.

Kevin mengangguk, lalu menambahkan dengan hati-hati, “Tapi ada hal yang harus kau tahu. Operasi ini pun… tidak menjamin kau bisa kembali ke lapangan.”

Sejenak, dunia seakan berhenti bagi Kaelith. Ujung jarinya mengepal erat di atas selimut putih. Nafasnya memburu, wajahnya menegang. “Tidak menjamin?” suaranya pecah, getir. “Lalu… untuk apa semua ini?”

Kevin menatap adiknya dengan sorot mata yang sama rapuhnya. “Operasi akan menyelamatkan kakimu, Kael. Kau masih bisa berjalan, berlari… hidup normal. Tapi untuk sepakbola...” ia menelan ludah, menahan emosi, “...itu semua tergantung takdir.”

Kaelith menunduk, rahangnya mengeras. Di dalam dirinya, ketakutan dan amarah bercampur jadi satu. Seumur hidupnya, sepakbola adalah identitasnya, dan kini, bahkan harapan terakhirnya pun dipenuhi ketidakpastian.

Hening menyelimuti ruangan, hanya suara detik jam yang terdengar. Kevin mendekat, menepuk bahu adiknya dengan lembut. “Apapun hasilnya, kau masih adikku. Dan aku tidak akan membiarkanmu melalui semua ini sendirian.”

Rahangnya masih menegang, Kaelith menghela napas berat. Dengan cepat, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Jemarinya bergetar, menekan layar dengan kasar hingga tersambung ke nomor manajer klub.

“Hallo?” suara di seberang terdengar formal.

“Aku ingin jawaban sekarang juga,” desis Kaelith, nadanya tajam, penuh amarah. “Kenapa aku bisa dijebak ke terapis yang bukan bagian dari klub? Siapa yang bertanggung jawab atas ini?”

Ada jeda singkat, hanya suara napas tertahan dari lawan bicaranya. “Kaelith… kami juga baru tahu soal itu. Seseorang telah menghubungi atas nama klub dan...”

“Omong kosong!” bentak Kaelith, suaranya meninggi hingga membuat Kevin menoleh kaget. “Aku hampir kehilangan karierku karena kelalaian ini! Kalau klub tidak segera memberi penjelasan yang masuk akal, aku akan menuntut kalian semua!”

Nafasnya memburu, jemarinya mencengkeram ponsel begitu kuat hingga buku jarinya memutih. Kevin berdiri, mencoba meredakan emosi sang adik dengan menepuk bahunya.

“Tenangkan dirimu dulu, Kael,” bisik Kevin.

Namun Kaelith tak mendengar. Ia terlalu larut dalam amarah dan rasa dikhianati. “Aku tidak akan diam! Aku menuntut pertanggungjawaban mereka. Aku ingin tahu siapa yang bermain di belakang semua ini!”

Suasana di kamar rawat berubah mencekam, hanya tersisa suara detak jantung Kaelith yang semakin cepat karena campuran sakit dan amarah.

Sore itu, pintu ruang rawat inap Kaelith diketuk pelan. Kevin yang sedang duduk bangkit untuk membuka, dan mendapati dua pria berjas rapi perwakilan resmi klub.

“Kaelith,” salah satu dari mereka membuka percakapan dengan nada serius begitu memasuki ruangan, “kami datang untuk meluruskan kesalahpahaman.”

Kaelith yang bersandar di ranjang menatap tajam. “Kesalahpahaman?” suaranya dingin. “Aku hampir kehilangan karierku karena terapi yang jelas-jelas salah. Dan kalian menyebut ini kesalahpahaman?”

Pria itu menelan ludah, lalu melanjutkan, “Kami sudah melakukan pengecekan. Klub tidak pernah merekomendasikan terapis yang kamu datangi kemarin. Nama itu tidak ada dalam daftar resmi mitra medis kami.”

Alis Kaelith berkerut dalam. “Kalau begitu siapa yang memberi akses data pribadiku pada mereka? Bagaimana bisa seseorang dengan mudah menipuku atas nama klub?”

Suasana hening sejenak, hanya suara mesin monitor kesehatan yang terdengar.

“Kami… tidak tahu pasti,” ucap perwakilan lainnya, kali ini lebih hati-hati. “Yang jelas, itu bukan dari pihak kami. Tapi kami berjanji akan menyelidiki sampai tuntas.”

Kaelith mengepalkan tangannya di atas selimut. “Janji tidak akan mengembalikan kakiku seperti semula. Janji tidak akan membawaku kembali ke lapangan.”

Kedua pria itu saling pandang, tampak terpojok. Kevin melangkah maju, menatap mereka penuh curiga.

“Kalau klub tidak terlibat,” ucap Kevin tegas, “Maka jelas ada pihak ketiga yang sengaja ingin menghancurkan Kaelith. Dan aku yakin, orang itu cukup dekat untuk mengetahui jadwal dan kelemahan adikku.”

Kata-kata Kevin membuat dada Kaelith terasa kian sesak. Sebuah bayangan lama muncul dalam pikirannya, tetapi Kealith berusaha untuk dimengarah kesana.

Setelah mendengar ketegasan Kevin, salah satu perwakilan klub menarik napas panjang. “Kami mengerti posisi kalian. Karena itu, kami akan menurunkan tim internal untuk menyelidiki. Kami akan mencari tahu siapa orang yang mengaku dari pihak klub dan memberikan rekomendasi terapis gadungan itu.”

“Dan berapa lama waktu yang kalian butuhkan?” suara Kaelith terdengar getir.

“Secepat mungkin,” jawab pria satunya. “Kami juga mempertaruhkan nama baik klub. Kalau benar ada oknum di luar sana yang sengaja ingin menjatuhkanmu, kami harus menemukan dalangnya.”

Kaelith hanya diam, matanya menatap lurus seakan menembus mereka.

Kevin lalu bersuara, “Pastikan kalian tidak sekadar bicara. Kalau penyelidikan kalian mandek, aku sendiri yang akan membongkar siapa di balik ini semua.”

Kedua pria itu saling bertukar pandang. Mereka tahu Kevin bukan sekadar omong kosong, nama besar keluarga Vemund masih cukup berpengaruh, meski hubungan dengan Kaelith tampak retak.

Sebelum keluar, salah satu dari mereka menambahkan, “Kami akan rutin melaporkan perkembangan. Untuk sementara, tolong jaga kerahasiaan masalah ini, agar tidak bocor ke media.”

Kaelith hanya menutup matanya. Baginya, semua ucapan itu terdengar seperti formalitas belaka.

Setelah pintu tertutup, Kevin mendekat ke ranjang adiknya. “Kau percaya mereka bisa menemukan pelakunya?” tanyanya lirih.

Kaelith membuka mata perlahan, menatap ke arah langit-langit. “Percaya? Aku tidak tahu. Yang jelas, aku tidak akan diam sampai aku tahu siapa yang berani melakukan ini.”

1
Widia Ar
udh dah kata gua mah nay nurut aja jadi cewe manis itu laki mau nya lu gitu nay pasti bakal dikasih dunia dan seisinya percaya dah Iyah kan othor .
Widia Ar
thor keren ihh tambah gemes Ama mereka berdua.
Widia Ar
the best
Widia Ar
thor semangat yah aku selalu menunggu mu
Seraphina: Terimakasih kak🥹
total 1 replies
Intan Marliah
Luar biasa
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!