Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 - Tuduhan
Samudra menanti dengan gelisah, jantungnya berdegup kencang. Pikirannya berkecamuk. Apakah cintanya akan berbalas, atau justru akan bertepuk sebelah tangan.
"Mas Samudra," bisik Senja akhirnya, "aku juga... Aku juga mencintai Mas,"
Pengakuan itu keluar dari bibirnya seperti bisikan angin, tapi cukup keras untuk didengar Samudra. Mata pria itu langsung berbinar, wajahnya bercahaya dengan kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikan.
"Benarkah?" tanya Samudra dengan suara yang bergetar karena tidak percaya.
Senja mengangguk sambil menangis. "Iya. Aku sudah lama merasakan ini, tapi aku takut, aku bingung. Aku tidak tahu harus berbuat apa."
Samudra tidak bisa menahan lagi. Dia menarik Senja ke dalam pelukannya, memeluknya erat seolah tidak ingin melepaskan. Senja membalas pelukan itu dengan tangan kirinya, merasakan kehangatan dan keamanan yang sudah lama dirindukan.
"Terima kasih," bisik Samudra di telinga Senja, "terima kasih sudah jujur Senja."
Mereka berpelukan dalam keheningan, ditemani suara gemericik air danau dan kicauan burung yang mulai kembali ke sarangnya. Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, mewarnai langit dengan gradasi jingga, merah, dan ungu yang memukau.
"Mas," bisik Senja tanpa melepaskan pelukan, "sekarang bagaimana?"
Samudra melepaskan pelukan dan menatap wajah Senja dengan lembut. Tangannya mengusap pipi gadis itu yang masih basah karena air mata.
"Kita jalani satu hari demi satu hari," jawabnya dengan suara yang tenang. "Yang penting sekarang, kita sudah jujur pada perasaan masing-masing. Soal masa depan, biarlah waktu yang menentukan."
Senja mengangguk, merasa sedikit lebih tenang dengan jawaban itu. Meski situasi mereka sangat rumit, setidaknya sekarang mereka tidak perlu lagi menyembunyikan perasaan atau saling menghindari.
"Mas berjanji," kata Samudra sambil menggenggam kedua tangan Senja dengan hati-hati, "Mas tidak akan biarkan siapa pun menyakitimu lagi. Termasuk Luna."
"Mas, jangan sampai berantem sama Kak Luna gara-gara aku," pinta Senja dengan nada khawatir.
"Ini bukan gara-gara kamu," jawab Samudra dengan tegas. "Ini gara-gara sikap Luna yang sudah keterlaluan. Sebagai suami, Mas punya tanggung jawab melindungi semua orang di rumah itu, termasuk kamu."
Langit sudah mulai gelap, lampu-lampu taman mulai menyala satu per satu. Pengunjung yang lain sudah mulai berkurang, meninggalkan suasana yang semakin tenang dan romantis.
"Kita pulang yuk," kata Samudra sambil bangkit dari bangku. "Nanti tanganmu tambah sakit kalau kecapekan."
Senja mengangguk dan berdiri dengan bantuan Samudra. Ketika berjalan kembali ke arah mobil, Samudra berjalan di sisi kanan Senja, melindunginya dari angin malam yang mulai dingin.
Di dalam mobil, suasana terasa berbeda dari perjalanan datang tadi. Tidak ada lagi ketegangan atau kecanggungan. Yang ada hanya ketenangan dan kehangatan yang mengalir di antara mereka, kehangatan dari dua jiwa yang akhirnya menemukan satu sama lain.
Ketika mobil memasuki halaman. Lampu-lampu teras menyala, memberikan kesan hangat yang kontras dengan suasana tegang yang akan terjadi. Jam di dashboard mobil menunjukkan pukul delapan malam, mereka telah keluar cukup lama.
Senja merasakan dadanya berdebar tidak karuan ketika melihat siluet Luna yang berdiri di balik jendela ruang tamu. Bayangan tubuh kakak tirinya itu tampak kaku dan penuh amarah, menunggu dengan tidak sabar.
"Sepertinya Kak Luna sudah menunggu," bisik Senja sambil menatap rumah dengan perasaan cemas.
Samudra mematikan mesin mobil dan menoleh ke arah Senja. Matanya memancarkan ketenangan yang berusaha menenangkan gadis di sampingnya. "Tidak apa-apa. Biar Mas yang handle Luna. Kamu tidak perlu takut."
"Tapi Mas..." Senja menggenggam tangan kirinya sendiri dengan gugup. "Bagaimana kalau dia curiga dengan kita?"
"Kita tidak melakukan apa-apa yang salah," jawab Samudra, meski dalam hatinya dia tahu bahwa pengakuan cinta di tepi danau tadi adalah sesuatu yang sangat berisiko. "Mas hanya membawa adik ipar Mas ke rumah sakit karena terluka. Itu hal yang wajar."
Mereka turun dari mobil dengan hati-hati. Samudra membantu Senja agar tangan yang dibalut perban tidak terbentur. Langkah kaki mereka di atas kerikil halaman terdengar sangat jelas di keheningan malam, seolah mengumumkan kedatangan yang sudah ditunggu-tunggu.
Sebelum mereka sampai di pintu utama, pintu itu sudah terbuka dengan keras. Luna muncul dengan rambut yang sedikit berantakan dan mata yang menyala-nyala karena amarah. Dia mengenakan dress merah maroon yang biasanya membuatnya terlihat elegan, tapi kali ini dress itu terlihat kusut dan tidak terawat.
"Kalian dari mana saja?" bentak Luna tanpa basa-basi. Suaranya bergema di halaman luas rumah itu.
"Dari rumah sakit," jawab Samudra dengan nada yang tenang namun tegas. "Senja harus diobati karena luka bakarnya."
Luna menatap tangan Senja yang dibalut perban, tapi tidak ada penyesalan sedikitpun di wajahnya. Justru yang terlihat adalah kekesalan karena rencananya untuk menyakiti Senja tidak berhasil sepenuhnya.
"Rumah sakit?" Luna tertawa sinis. "Sampai berjam-jam? Emangnya lukanya seberapa parah?"
"Luka bakar tingkat dua, Luna," jawab Samudra dengan nada yang mulai keras. "Dokter harus membersihkannya dengan hati-hati supaya tidak infeksi."
"Dan setelah itu kalian kemana?" desak Luna sambil melangkah turun dari teras, mendekat ke arah mereka. "Jam segini baru pulang!"
Senja merasakan tenggorokannya kering. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Sementara Samudra tetap tenang menghadapi interogasi istrinya.
"Kami mampir sebentar untuk makan malam," jawab Samudra. "Senja belum makan dari siang karena kesakitan."
"Makan malam?" mata Luna menyipit curiga. "Berdua? Di luar?"
"Ada masalah?" tanya Samudra dengan nada yang mulai menantang. "Aku tidak boleh mengajak adik iparku sendiri makan?"
Luna tidak menjawab pertanyaan Samudra. Matanya yang penuh amarah langsung tertuju pada Senja yang berdiri di belakang Samudra. Tanpa peringatan, Luna melangkah cepat dan menarik tangan kanan Senja yang terluka dengan kasar.
"AAAhhh!" Senja berteriak kesakitan ketika genggaman Luna mengenai persis di bagian yang terbakar. Perban putih itu langsung ternoda dengan noda kemerahan, lukanya berdarah lagi karena perlakuan kasar Luna.
"LUNA!" bentak Samudra sambil langsung mendorong istrinya menjauh dari Senja. "Apa yang kamu lakukan?"
"Aku cuma mau lihat lukanya!" teriak Luna balik, matanya menyala-nyala seperti api. "Emangnya kenapa? Salah ya kalau aku penasaran sama luka adik tiriku sendiri?"
Samudra langsung menghampiri Senja yang meringis menahan sakit sambil memeluk tangan kanannya. Perban yang tadinya putih bersih kini sudah ternoda darah, menandakan lukanya kembali terbuka.
"Senja, kamu tidak apa-apa?" tanya Samudra dengan nada panik sambil memeriksa perban yang berdarah.
"Sakit, Mas," bisik Senja sambil menahan tangis. "Perih sekali."
"Kita harus ganti perbannya," kata Samudra sambil menatap Luna dengan mata yang berapi-api. "Luna, kamu sudah keterlaluan!"
"Keterlaluan?" Luna tertawa histeris. "Yang keterlaluan itu kalian! Pergi berdua, pulang malam-malam, sekarang sok-sokan romantis di depan aku!"
"Kami tidak..."
"Jangan bohong, Samudra!" potong Luna dengan suara yang semakin tinggi. "Aku bukan orang bodoh! Dari tadi pagi kamu sudah beda sikap sama dia! Kamu lebih perhatian sama dia daripada sama istri sendiri!"
Samudra merasakan darahnya mendidih. Sikap Luna yang terus menyalahkan orang lain padahal dia sendiri yang memulai semua masalah ini benar-benar membuat kesabarannya habis.
"Kamu mau tahu kenapa aku lebih perhatian sama Senja?" tanya Samudra dengan suara yang bergetar karena menahan amarah. "Karena dia tidak pernah menyakiti orang lain! Karena dia tidak egois seperti kamu!"
"Oh, jadi sekarang kamu bandingkan aku sama dia?" Luna melangkah maju dengan mata yang menyala-nyala. "Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kalian lakukan? Kalian pasti selingkuh!"
"ENOUGH!" teriak Samudra dengan suara yang menggelegar, membuat burung-burung di pepohonan halaman beterbangan karena kaget. "Kamu sudah terlalu jauh, Luna!"
"Terlalu jauh?" Luna tertawa pahit. "Yang terlalu jauh itu kamu! Selingkuh sama adik ipar sendiri! Dasar tidak bermoral!"
Tuduhan itu membuat wajah Senja pucat pasi. Meski memang ada perasaan di antara dia dan Samudra, mereka belum melakukan apa-apa yang bisa disebut berselingkuh. Tapi mendengar tuduhan itu dari mulut Luna membuatnya merasa sangat bersalah.