Judul: Suamiku Tak Pernah Kenyang
Genre: Drama Rumah Tangga | Realistis | Emosional
Laila Andini tak pernah membayangkan bahwa kehidupan rumah tangganya akan menjadi penjara tanpa pintu keluar. Menikah dengan Arfan Nugraha, pria mapan dan tampak bertanggung jawab di mata orang luar, ternyata justru menyeretnya ke dalam pusaran lelah yang tak berkesudahan.
Arfan bukan suami biasa. Ia memiliki hasrat yang tak terkendali—seakan Laila hanyalah tubuh, bukan hati, bukan jiwa, bukan manusia. Tiap malam adalah medan perang, bukan pelukan cinta. Tiap pagi dimulai dengan luka yang tak terlihat. Laila mencoba bertahan, karena “istri harus melayani suami,” begitu kata orang-orang.
Tapi sampai kapan perempuan harus diam demi mempertahankan rumah tangga yang hanya menguras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Euis Setiawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dosa yang membayangi
Pagi itu sinar matahari menyelinap malu-malu melalui celah tirai ruang tengah. Udara masih dingin, embun masih melekat pada daun-daun pisang di halaman belakang. Rumah keluarga kecil itu terasa hangat dari aroma masakan yang sedang dipanaskan di dapur. Laila bangun lebih dulu, seperti biasa, lalu dengan penuh kasih menyiapkan sarapan untuk suaminya yang hendak berangkat kerja.
Namun, di balik semua rutinitas itu, ada kegelisahan yang membelenggu hati Arfan. Lelaki itu duduk di kursi meja makan, menatap kosong ke arah gelas kopi yang sudah disediakan Laila. Tubuhnya tegap, namun tatapan matanya lelah, seakan ada sesuatu yang menggerogoti jiwanya dari dalam. Malam tadi, ia melakukan kesalahan besar. Ia membiarkan dirinya tergoda oleh Bi Ratmi, pembantu rumah tangga yang sejak awal sudah ia curigai penuh dengan kelicikan.
“Mas, ini aku sudah siapin telur dadar kesukaan kamu. Makannya jangan lupa, nanti di kantor biar nggak lemas,” ucap Laila lembut, dengan senyum tulus khas seorang istri yang penuh pengabdian.
Arfan tersentak, seolah kembali dari lamunan panjangnya.
“Oh… iya, makasih sayang,” jawabnya datar, berusaha menyembunyikan kegelisahan.
Laila menatap suaminya sejenak. Ada sesuatu yang berbeda dari raut wajah Arfan pagi itu. Tatapannya kosong, senyumnya kaku, dan gerak-geriknya tampak tidak seperti biasanya. Namun Laila memilih diam, ia tidak ingin menambah beban pikiran suaminya.
Di sudut lain, Bi Ratmi berjalan santai dari dapur menuju ruang tengah sambil membawa piring berisi sayur bening hangat. Langkahnya pelan namun penuh arti, matanya sekilas melirik ke arah Arfan yang duduk di meja makan. Bibirnya tersenyum tipis, senyum penuh kemenangan, seolah ia baru saja memenangkan sebuah permainan licik.
“Pak, ini sayurnya sudah siap. Saya taruh di meja ya,” ucap Bi Ratmi sambil meletakkan piring.
Arfan yang melihatnya langsung merasa dadanya sesak. Kehadiran Bi Ratmi seperti bayangan hitam yang terus menghantui pikirannya. Rasa bersalah yang ia rasakan semakin kuat ketika menyadari betapa tulusnya Laila menyiapkan sarapan pagi itu.
Namun, Bi Ratmi justru semakin puas melihat wajah Arfan yang gusar. Ia tahu lelaki itu sudah masuk dalam perangkapnya. Dan kini, semakin Arfan berusaha menghindar, semakin besar pula kekuasaan yang ia miliki untuk menekan Arfan.
Arfan mencoba meneguk kopinya. Suara sendok beradu dengan cangkir terdengar jelas di ruang makan yang hening. Laila duduk di hadapannya, sibuk menata piring, sementara Bi Ratmi masih mondar-mandir di sekitar dapur.
Dalam hati, Arfan ingin sekali mengatakan sesuatu kepada Laila: meminta istrinya agar segera memecat Bi Ratmi, agar perempuan itu tidak lagi berada di rumah mereka. Namun, lidahnya kelu. Bagaimana ia bisa menjelaskan alasannya? Bagaimana ia bisa mengaku bahwa ia sudah terjerumus dalam dosa dengan perempuan itu?
“Kalau aku tiba-tiba minta Laila pecat Bi Ratmi, pasti dia curiga… pasti dia tanya alasannya. Dan kalau aku bilang sebenarnya, hancur semuanya…” gumam Arfan dalam hati.
Rasa bersalah itu membuat keringat dingin mengalir di pelipisnya. Tangannya gemetar ketika memegang sendok.
Laila menyadari perubahan itu.
“Mas, kamu sakit? Dari tadi kelihatannya pucat banget. Jangan-jangan masuk angin ya? Mau aku buatkan teh hangat pakai jahe?” tanyanya dengan penuh perhatian.
Arfan langsung menoleh, tersenyum kaku.
“Nggak kok, aku baik-baik aja. Cuma… ya mungkin capek kerjaan aja.”
Laila mengangguk, meski dalam hatinya masih menyimpan tanya. Ia mencoba percaya pada suaminya.
Sementara itu, Bi Ratmi yang mendengar percakapan itu hanya menyeringai dalam hati. Capek kerjaan? Atau capek habis sama aku semalam, Pak Arfan? pikirnya sinis, sambil menahan tawa kecil.
Saat Laila sedang mengambil buah buahan di kulkas dapur, Bi Ratmi sengaja mendekati Arfan yang hendak bersiap berangkat kerja. Dengan langkah pelan, ia mendekat dan membisikkan sesuatu dengan nada menggoda.
“Pak, semalam enak kan? Jangan pura-pura nggak ingat ya… saya masih bisa bikin lebih dari itu,” bisiknya pelan.
Arfan terkejut dan segera menoleh, wajahnya pucat pasi.
“Sssstt! Jangan bicara sembarangan! Kalau Laila dengar, habis kita!” bisiknya dengan nada marah.
Namun, bukannya takut, Bi Ratmi malah tersenyum penuh kemenangan.
“Tenang aja, Pak. Saya nggak akan cerita ke Bu Laila… asal Bapak juga jangan macam-macam sama saya. Lagipula, saya tahu Bapak pasti bakal butuh saya lagi, kan?”
Arfan menggertakkan gigi, menahan amarahnya.
“Dasar gila kamu, Bi…” gumamnya lirih.
Seketika itu juga, ia merasa dunia seolah menutup jalan untuknya. Ia ingin berlari dari situasi ini, tapi kakinya seolah terikat. Ia ingin jujur pada Laila, tapi takut kehilangan kepercayaan istrinya.
Di dapur, Laila bernyanyi kecil sambil mengupas buah. Hatinya sedang tenang karena merasa rumah tangganya baik-baik saja. Ia tidak pernah menyangka bahwa di balik itu semua, ada badai besar yang sedang mengintai.
Sesekali ia melirik ke arah suaminya yang sedang merapikan kemeja untuk berangkat kerja. Ada rasa bahagia dalam hatinya, melihat Arfan masih setia sarapan di rumah sebelum pergi.
“Mas, nanti pulangnya jangan lupa mampir ke toko buah ya, aku mau bikin jus segar buat kamu,” ucap Laila dari dapur.
Arfan hanya mengangguk, tapi dalam hatinya semakin hancur. Setiap kata perhatian dari istrinya justru menjadi cambuk yang mengingatkannya pada dosa yang baru ia lakukan.
Kenapa aku bisa selemah ini? Kenapa aku biarkan diriku terjebak dalam pelukan perempuan itu? Padahal di depanku ada istri yang begitu baik, begitu tulus mencintai aku… pikir Arfan sambil menundukkan kepala.
Pagi itu akhirnya Arfan berangkat ke kantor dengan perasaan kacau. Ia berpamitan pada Laila dengan pelukan singkat, sementara matanya sengaja menghindar dari pandangan Bi Ratmi yang berdiri di dekat pintu dapur.
“Mas, hati-hati di jalan ya. Jangan lupa makan siang,” ucap Laila dengan senyum lembut.
Arfan hanya mengangguk.
“Iya… kamu juga jaga diri di rumah ya.”
Saat motor Arfan melaju meninggalkan rumah, Bi Ratmi menatap punggungnya dari kejauhan. Senyum licik kembali mengembang di wajahnya. Ia tahu, ia sudah punya kendali atas lelaki itu.
Sementara Laila kembali masuk ke dalam rumah, tanpa menyadari bahwa badai besar sedang mengintai rumah tangganya.
Dan Arfan, di sepanjang perjalanan menuju kantor, hanya bisa bergulat dengan rasa bersalah yang semakin menjerat. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus memilih: tetap terjebak dalam dosa dengan Bi Ratmi, atau jujur pada Laila meski risikonya kehilangan segalanya.
Hari itu, langit di luar jendela kantor tampak mendung, seolah ikut merasakan apa yang sedang berkecamuk di dalam hati Arfan. Dari pagi tadi, pikirannya terus kacau. Konsentrasinya terpecah-pecah, jemarinya tak berhenti mengetuk meja, dan sesekali ia memijat pelipisnya yang terasa berat. Semua dokumen kerja yang biasanya bisa ia selesaikan dalam waktu singkat, kali ini hanya menumpuk tanpa tersentuh.
Bimo, rekan kerja sekaligus sahabat dekatnya sejak lama, memperhatikan gelagat itu dengan penuh tanda tanya. Ia mengenal Arfan cukup lama untuk tahu bahwa jika Arfan diam seribu bahasa, pasti ada sesuatu yang besar sedang menekan batinnya.
“Eh, bro, lu kenapa? Lagi ada masalah kah?” tanya Bimo sambil mendekat, suaranya dibuat pelan agar tak mengundang perhatian karyawan lain.
Arfan hanya menghela napas, lalu menjawab singkat.
“Sedikit, bro.” Ia memijit pelipisnya sambil menunduk, seolah tak sanggup menatap wajah Bimo.
Melihat itu, Bimo langsung paham bahwa sahabatnya sedang dalam kondisi tidak baik. Ia pun menekan interkom untuk memanggil office boy agar dibuatkan kopi hangat. Tak lama kemudian, secangkir kopi hitam mengepul diletakkan di meja Arfan.
“Nih, bro, minum dulu. Biar agak tenang pikiran lu,” ucap Bimo sembari mendorong cangkir itu ke hadapan Arfan.
“Thanks, bro,” jawab Arfan lirih, lalu meneguk kopi itu sedikit demi sedikit. Harumnya kopi menyentuh hidungnya, namun tetap tak bisa mengusir kabut kelabu di dalam kepalanya.
Bimo menatapnya lekat-lekat.
“Gue udah kenal lu lama, Fan. Kalau lu sampe keliatan kayak gini, berarti masalahnya berat. Biasanya lu kan selalu bisa nyembunyiin segala hal di balik senyum atau kerjaan lu yang rapi. Sekarang lu keliatan berantakan banget, bro.”
Arfan hanya tersenyum kecut.
“Nggak segampang itu, Bim. Kadang kita bikin masalah sendiri, tapi bingung nyari jalan keluarnya.”
Bimo mengernyit.
“Maksud lu? Lu bikin masalah apa? Jangan bilang ada urusan sama cewek lain?”
Pertanyaan itu membuat jantung Arfan berdegup kencang. Ia segera mengalihkan pandangan, menatap jendela besar di samping ruangannya. Pandangan kosong itu seakan menembus gedung-gedung tinggi di seberang jalan.
“Fan?” Bimo menepuk bahunya pelan.
“Bro, gue nggak maksud nuduh. Gue cuma khawatir. Gue tau lu sayang banget sama Laila. Jadi, kalo sampe gue liat lu kayak gini, gue takut aja lu lagi diambang sesuatu yang bisa bikin penyesalan.”
Arfan menarik napas panjang.
“Lu bener, gue sayang sama Laila. Tapi… gue juga manusia, Bim. Kadang ada hal-hal yang terjadi di luar kontrol gue.”
Bimo menghela napas berat, lalu duduk di kursi seberang meja.
“Gue tau. Tapi setidaknya lu cerita. Jangan dipendem sendiri. Lu kira dengan lu diem, masalahnya bakal selesai? Nggak, bro. Justru bakal ngerusak lu pelan-pelan.”
Arfan meremas cangkir kopi itu kuat-kuat, seolah sedang menyalurkan kegelisahannya ke dalam genggaman tangannya. Suara gesekan kursi membuat beberapa karyawan menoleh, tapi Arfan tidak peduli.
“Bim, kalau… kalau lu ada di posisi di mana seorang wanita lain deketin lu, terus lu kelewat batas, apa yang bakal lu lakuin?” tanya Arfan tiba-tiba, dengan suara yang dalam dan serak.
Bimo terdiam, kaget dengan pertanyaan itu. Ia menatap Arfan dengan ekspresi tercengang.
“Lu serius nanya gitu? Jangan bilang—”
Arfan buru-buru memotong.
“Gue nggak bilang gue ngelakuin, tapi gue nanya aja. Kalau.”
Bimo menatapnya lama, lalu bersandar di kursi.
“Kalau itu terjadi, bro, itu artinya lu lagi main api. Sekali aja lu kebakar, abis sudah semua yang lu punya. Istri lu, rumah tangga lu, masa depan lu. Semua bisa runtuh dalam sekejap.”
Ucapan Bimo terasa seperti tamparan keras bagi Arfan. Ia tahu itu benar, tapi sulit baginya untuk mengakui. Bi Ratmi, pembantu yang kini menjadi sumber masalah, masih saja menghantui pikirannya. Godaan dan ancaman halus dari perempuan itu membuat Arfan merasa terjebak dalam perangkap.
“Masalahnya… nggak semua orang bisa ngerti posisi gue,” gumam Arfan lirih, hampir seperti bicara pada diri sendiri.
Bimo mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Fan, bro, kalo lu beneran udah terlibat sama cewek lain, apalagi bukan sekadar cewek tapi orang yang ada di sekitar rumah lu… sumpah, itu gawat. Lu nggak bisa main-main. Cepet atau lambat, Laila bakal tau. Dan kalo itu terjadi, lu siap kehilangan dia?”
Arfan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Bayangan Laila yang setiap pagi menyiapkan sarapan, tersenyum dengan penuh kasih, menempel kuat di pikirannya. Rasa bersalah semakin mencekik.
“Gue tau, gue salah banget. Gue lemah,” bisiknya pelan.
Bimo terperanjat.
“Fan, jadi beneran? Astaga, bro… gue nggak nyangka. Lu yang selalu gue anggap tegas, lurus, ternyata bisa juga kejebak kayak gini.”
Arfan mengangguk pelan tanpa kata. Air mata hampir saja jatuh dari sudut matanya, tapi ia tahan mati-matian.
Bimo menarik napas panjang. Ia tahu saat ini sahabatnya sedang rapuh.
“Fan, gue nggak bakal nge-judge lu. Gue sahabat lu, tugas gue bukan ngehukum, tapi ngingetin. Lu masih punya kesempatan buat balik ke jalan yang bener. Lu harus berani ambil keputusan.”
Arfan mendongak, matanya merah.
“Keputusan apa, Bim? Kalau gue pecat Bi Ratmi, Laila pasti curiga. Dia bakal nanya-nanya. Gue takut semuanya kebongkar.”
“Justru kalo lu biarin, makin lama lu makin dalam. Wanita kayak gitu biasanya nggak bakal berhenti sebelum dia dapat yang dia mau. Lu ngerti maksud gue, kan? Bisa aja dia jadiin lu suami kedua atau apalah, tapi yang jelas rumah tangga lu bakal hancur.”
Arfan menggertakkan giginya. Perkataannya benar. Bi Ratmi belakangan semakin berani, semakin menuntut, semakin merasa bisa mengendalikan dirinya.
Bimo menepuk bahu Arfan sekali lagi.
“Fan, gue cuma bisa bilang satu hal: jangan bodoh. Lu punya istri yang setia, yang tulus sayang sama lu. Jangan sampe lu tukar itu semua sama nafsu sesaat. Lu nggak mau nyesel seumur hidup, kan?”
Arfan diam lama, hanya menatap meja kosong di depannya. Kata-kata Bimo menusuk hatinya, membangkitkan rasa takut yang makin nyata.
Dalam hati, Arfan bergumam: Apa yang harus gue lakukan, Tuhan? Gue terjebak dalam dosa yang gue bikin sendiri. Kalau gue jujur, Laila pasti hancur. Kalau gue diem, Bi Ratmi bisa makin menjadi. Gue buntu.
Hari itu, meskipun Bimo sudah berusaha menghibur dan memberi nasihat, Arfan tetap merasa kacau. Kerjaannya tak kunjung beres, pikirannya tak bisa lepas dari jeratan kesalahan yang ia perbuat. Pulang nanti, ia bahkan takut menatap mata Laila, takut melihat ketulusan yang selalu mengingatkannya pada luka yang ia sembunyikan.