Musim pertama : Tatap Aku, Suamiku
Musim Kedua : Bunda dari Anakku
Jatuh cinta pada pandangan pertama, membuat Wira (22 tahun) nekad membawa kedua orang tuanya ke Yogyakarta untuk melamar Naina ( 17 tahun), yang hanya seorang gadis yatim piatu.
Wira yang terlahir dari keluarga berada, menikah dengan Naina yang hanya gadis dari keluarga biasa.
Lima tahun pernikahan, guncangan menghantam kehidupan rumah tangga mereka. Dunia Naina hancur seketika. Kebahagiaan yang selama ini direguknya, apakah hanya sebuah kebohongan semata atau memang nyata. Apakah pernikahan ini sanggup di pertahankan atau harus berakhir??
Ikuti perjalanan rumah tangga Wira dan Naina
“Tolong tatap aku lagi, Suamiku.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
S1. Bab 29
Dari Milan, destinsi selanjutnya adalah Venice atau Venesia. Masih di Italia, Wira membawa istrinya singgah di kota yang terkenal dengan julukan kota di atas air. Kota yang dibangun di laguna dan pulau-pulau kecil ini terkenal dengan kanal dan suasana romantisnya.
Sepanjang mata memandang, Wira dan Naina disuguhkan pemandangan gondola melewati kanal-kanal kota.
“Nai, kamu menyukainya?” tanya Wira sesaat setelah keduanya sudah duduk di atas gondola, menikmati pemandangan kota Venesia ditemani senandung merdu sang gondolier alias pendayung yang mengantar mereka mengitari kanal-kanal kecil.
“Hmmmm,” gumam Naina, memeluk erat suaminya yang terbungkus mantel tebal musim dingin. Matahari begitu menyengat, tetapi hembusan angin musim dingin terasa menusuk tulang.
“Dingin?” tanya Wira, bisa merasakan pelukan erat sang istri seolah mendamba kehangatan.
“Ya, Mas.” Naina masih memeluk erat pinggang suaminya.
“Kemarilah!” Laki-laki itu menurunkan resleting mantelnya dan membuka lebar-lebar, mempersilahkan sang istri masuk ke pelukannya dan mendekap Naina dengan mantel tebal miliknya.
“Begini lebih hangat?” tanya Wira, mengecup pelan pucuk kepala istrinya.
“Ya, Mas.”
“Ini tidak seberapa dibanding sewaktu kita melakukan perjalanan ke Jepang - Korea. Nai ingat?” tanya Wira.
“Itu perjalanan pertama Nai di musim salju, Mas.”
Seminggu di Jepang, Naina hanya menghabiskan waktu di atas tempat tidur. Bergulung di dalam selimut hangatnya. Benar-benar pengalaman yang luar biasa. Salah satu perjalanan bulan madu mereka yang paling berkesan. Wira harus menghangatkan istrinya sepanjang hari. Dan Naina tidak akan protes harus melayani suaminya setiap saat, karena menjadi salah satu cara saling ampuh untuk saling menghangatkan kala itu.
“Ingat. Nai selalu mengingat setiap detik kebersamaan kita, Mas.” Naina mendongak menatap suaminya, mencuri kecupan di bibir Wira. Pipi wanita itu memerah seperti kepiting rebus saat ketahuan sang pendayung yang tersenyum menatapnya.
Wira tentu saja tergelak, memahami situasi yang dialami istrinya. “Biarkan saja, dia sudah bosan melihat pasangan berciuman.”
Naina terkejut.
“Tidak akan ada yang peduli. Sama seperti saat kita berciuman di Paris. Ingat sewaktu kita berciuman mesra di sepanjang jalan, tidak akan ada yang peduli. Mau mencobanya lagi di sini?” tawar Wira.
Naina menggeleng malu-malu.
“Ayolah, ini bukan di Malioboro.” Wira tersenyum, mengingatkan hal memalukan yang mereka lakukan lima tahun lalu. Tertangkap basah pejalan kaki berciuman di tepi Jalan Malioboro, di salah satu pojok jalan yang sedikit tertutup dan tersembunyi. Hanya disorot lampu jalan menguning di sisi tanaman bougenville.
“Itu ciuman pertama kita, Nai. Seumur hidup Mas tidak akan melupakannya.” Wira tersenyum mengingatnya.
Pukulan mendarat di dada Wira, pipi Naina bertambah merah setiap mengingat betapa tidak tahu malunya mereka.
“Apakah kamu tahu, Nai? Setelah kembali ke Jakarta, Mas tidak bisa melupakan ciuman itu. Manisnya masih berasa di bibir, terbawa mimpi hampir setiap malam,” cerita Wira, berterus terang.
Naina kembali mendongakan kepalanya, menatap manik mata suaminya untuk mencari kebenaran.
“Ya, untuk alasan itu juga, Mas meminta kepada mama dan papa untuk melamarmu secepatnya, Nai. Padahal baru saja Nai lulus SMA.”
“Huh!” dengus Naina kesal, setia mengingat bagaimana terburu-burunya Wira saat memintanya pada sang bibi.
“Sampai Nai tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan kuliah,” lanjut Naina lagi.
“Jangan diingat-ingat lagi, Sayang. Mas bukan tidak mengizinkanmu kuliah. Nai terlanjur hamil saat itu.” Wira berucap sedih. Mengingat bagaimana perjuangan mereka untuk memiliki bayi di awal menikah. Bukan Naina tidak bisa hamil, selama ini ada saja yang menyebabkan Naina keguguran.
Semakin ke sini, keinginan itu sudah bukan menjadi prioritas mereka lagi. Wira dan Naina memilih menikmati dan memaknai rumah tangga dengan cara yang berbeda. Apalagi umur Naina yang masih terbilang muda, masih banyak waktu mencetak generasi penerus bangsa. Kondisi ini membuat keduanya tidak saling menuntut satu sama lain. Hanya berusaha dan berdoa, selebihnya pasangan suami istri itu lebih banyak menghabiskan waktu bersama, mengisinya dengan cinta, canda dan tawa.
Wira sudah menurunkan kepalanya, perlahan mendekati bibir merah istrinya yang hanya dipoles pelembab bibir. Dalam hitungan detik, kedua bibir itu sudah menyatu seiring dengan dua pasang mata yang terpejam bersamaan. Rengkuhan di pinggang Wira semakin erat, saat ciuman itu semakin dalam. Naina bisa merasakan dua tangan yang menangkup wajahnya dengan lembut.
Beberapa menit saling berbagi napas dan rasa, Wira melepaskan istrinya. Berbisik pelan di telinga Naina. “Je t’ aime”
***
Sepanjang siang menghabiskan waktu di Venesia, Wira memilih menginap di Pisa. Kota yang terkenal dengan menara miringnya. Besok dia akan mengajak Naina berkeliling Pisa dan Roma, ibukota Italia. Ada banyak tempat-tempat romantis dan bersejarah di sana, seperti Collosseum.
Setelahnya, mereka akan mengunjungi Vatikan dan menjadi tempat terakhir sebelum bertolak ke Jakarta.
Malam itu, setelah seharian menikmati kota Venesia, Naina terlihat duduk dengan berselonjor di sofa. Menikmati pemandangan kota Pisa di malam hari dari jendela besar di kamar hotel mereka.
Wira baru saja keluar dari kamar mandi setelah setengah jam berendam dengan air hangat untuk melepas lelahnya.
“Nai, kamu tidak lapar?” tanya Wira.
Naina menggeleng. “Tadi sore, Nai makan banyak. Malam ini mau diet saja. Hampir dua minggu di sini, Mas benar-benar memanjakanku.”
“Kalau bukan memanjakan Nai, lalu Mas harus memanjakan siapa.” Wira berjalan mendekat. Berdiri di belakang Naina. Mengecup kening istrinya dengan tubuh sedikit membungkuk.
“Kamu bahagia bersamaku, Nai?” tanya Wira tiba-tiba. Laki-laki itu sudah meminta tempat, supaya bisa ikut berbagi sofa dengan istrinya.
“Ya, Mas. Sangat.” Naina menjawab. Meletakan kepalanya di paha Wira. Suasana malam itu terasa sangat romantis, kamar hotel yang redup dengan lampu tidur membuat suasana hangat.
“Mas selalu mengutamakan Nai di atas semuanya. Bahkan di atas pekerjaan Mas sendiri. Nai tahu, di dalam hidup Mas, Nai yang utama. Bagaimana Nai tidak bahagia hidup bersamamu, Mas.”
Kedua tangan saling menaut. “Dari pertama menikah, Mas tidak pernah berubah. Mas selalu menjadikan Nai bagian terpenting. Bahkan Mas selalu mengalah, memilih menuruti semua keinginan Nai.”
Wira terdiam, mencerna kalimat yang keluar dari bibir istrinya. “Nai ... andaikan suatu saat ... Mas tidak sebaik yang kamu pikirkan, apakah Nai akan memaafkan Mas,” tanya Wira. Tangan kanannya mengelus pipi mulus istrinya yang saat ini berbaring di pangkuannya.
“Tergantung ... apa kesalahannya.”
“Kalau .. seandainya Mas ... memiliki istri lagi apa yang akan Naina lakukan?” tanya Wira ragu-ragu.
Naina membeku. Buru-buru bangkit duduk dan menempelkan punggung tangannya di kening Wira.
“Mas demam?”
“Ada yang sakit?” tanya Naina heran. Pertanyaan Wira terdengar lucu dan aneh.
Seberapa besar cinta Wira padanya, dia bisa melihat dan merasakan dengan jelas. Tidak sekalipun suaminya bertingkah mencurigakan. Setiap bepergian, selalu mengajaknya. Tidak pernah mau pergi sendiri, selalu menawarinya untuk ikut.
Tidak pernah pulang malam tanpa alasan. Lebih seringnya pulang tepat waktu. Selalu ada waktu untuknya. Kapan pun dia meminta, Wira akan secepat kilat menemuinya.
“Kapan pacarannya, Mas? Online? Kalau pacaran langsung sepertinya tidak mungkin. Setiap hari Mas menempel padaku,” ucap Naina penuh percaya diri.
Wanita itu tidak sekali pun curiga pada suaminya. Dan memang tidak ada yang harus dicurigai. Di ponsel suaminya tidak ada rahasia, dia bebas mengeceknya setiap saat. Isinya cuma Stevi, sang sekretaris dan kedua mertuanya.
Suaminya jarang pulang malam, selalu pulang sore hari. Kapan dia ada waktu untuk bermain perempuan. Kalau dulu, mungkin Naina akan curiga saat Wira sering tugas keluar kota, tetapi seringnya Naina ikut. Kalau pun tidak ikut, Stevi akan ikut menemani suaminya. Apa yang harus ditakutkannya.
Namun dua tahun belakangan, Wira sudah tidak pernah ke luar kota lagi. Suaminya memutuskan mengirim wakilnya setiap ada tugas di luar kota. Kalau mendesak, Naina harus menemaninya. Kalau tidak, Wira memilih tidak akan pergi.
“Hidup Mas itu hanya Naina, mama papa dan pekerjaan,” cerocos Naina sembari membelitkan kedua tangannya di leher Wira.
“Jangan mengada-ada!” geruti Naina.
***
TBC
Bahkan seakan ikut merasakan sakit yang sesakit itu bagi Dennis
full bintang ,subricrible, vote d tutup kopi
sebelum2 ni terlalu baik sampai tak peka langsung.