NovelToon NovelToon
Earth Executioner

Earth Executioner

Status: tamat
Genre:Fantasi / Balas Dendam / Perperangan / Hari Kiamat / Tamat
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Aziraa

​"Satu orang untuk membayar dosa tujuh miliar jiwa."

​Lahir dari kemiskinan dan penderitaan, Raka Adiputra telah melihat sisi terburuk dari manusia. Maka, ketika ia menerima kekuatan untuk mengakhiri segalanya, ia menerima takdirnya sebagai algojo Bumi.

​Ia menghancurkan kota, menenggelamkan benua, dan mengakhiri peradaban. Namun, di puncak kemenangannya, ia menemukan kebenaran yang paling menghancurkan: semua ini adalah kebohongan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aziraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Epilog

...--- Dunia yang Baru Lahir ---...

500 tahun telah berlalu sejak langit terbelah dan bersatu kembali.

Di lembah yang dulunya adalah reruntuhan kota Jakarta, kini mengalir sungai jernih yang memantulkan cahaya matahari pagi. Anak-anak berlarian di antara pohon-pohon tinggi yang akarnya memeluk fondasi gedung-gedung kuno, menciptakan simbiosis sempurna antara masa lalu dan masa kini. Tawa mereka bergema bersama kicauan burung, membentuk simfoni kehidupan yang tidak pernah berhenti.

Kota-kota baru tidak lagi merupakan hutan beton yang memakan langit. Mereka tumbuh seperti organisme hidup—bangunan-bangunan yang bernapas, jalan-jalan yang mengikuti aliran alami air, dan taman-taman yang terhubung dalam jaringan hijau tak terputus. Teknologi ada, namun tidak dominan. Panel surya yang menyerupai daun, turbin angin yang berputar seperti bunga mengikuti arah angin, dan sistem transportasi yang bergerak mengikuti aliran energi magnetik alami Bumi.

Manusia kini hidup dengan ritme yang berbeda. Mereka bangun dengan matahari, bekerja dengan tangan mereka sendiri, dan tidur ketika bulan mengambil giliran menjaga. Tidak ada lagi suara mesin yang memekakkan telinga, tidak ada lagi asap yang mencekik paru-paru. Udara begitu bersih hingga setiap napas terasa seperti doa syukur.

Di setiap sudut peradaban baru ini, jejak sang legenda terukir dalam batu dan hati. Patung-patung yang menggambarkan sosok pemuda dengan lima cahaya mengelilinginya berdiri di alun-alun kota. Anak-anak meletakkan bunga di kaki patung setiap pagi, ritual yang telah diwariskan turun-temurun tanpa pernah ada yang memerintahkan.

Mereka menyebutnya dengan berbagai nama: Sang Avatar, Sang Jembatan, Pahlawan yang Kembali. Tapi nama yang paling sering diucapkan adalah "Raka Sang Penyatu"—sosok yang mengorbankan dirinya untuk mengalahkan murka Bumi dan memberikan kesempatan kedua bagi umat manusia.

Legenda menceritakan bagaimana dunia pernah hampir musnah karena keserakahan manusia. Bumi murka dan mengirim bencana demi bencana hingga peradaban hancur lebur. Tapi kemudian datanglah seorang pemuda yang memiliki hati sebesar samudera, yang rela menjadi jembatan antara kemarahan Bumi dan penyesalan manusia. Ia menyatukan lima kekuatan alam dan mengorbankan dirinya agar Bumi dan manusia bisa hidup berdamai kembali.

Cerita ini diwariskan dari kakek ke cucu, dari guru ke murid, dari orang tua ke anak. Setiap versi berbeda dalam detail, tapi intinya sama: pengorbanan yang tulus dapat menyembuhkan luka yang paling dalam.

Trauma kolektif dari kiamat 500 tahun lalu masih mengalir dalam darah setiap manusia. Mereka hidup dengan rasa syukur yang mendalam dan ketakutan yang sehat untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Tidak ada yang berani merusak alam, tidak ada yang berani serakah berlebihan. Rasa takut itu telah menjadi kebijaksanaan, dan kebijaksanaan itu telah menjadi kultur.

Ini adalah dunia yang terlahir dari penderitaan dan dibentuk oleh pengorbanan. Dunia yang sempurna karena tidak lupa akan ketidaksempurnaannya.

...---...

Di sebuah perpustakaan yang dibangun di dalam pohon beringin raksasa, seorang wanita tua dengan rambut perak bercerita kepada sekelompok anak-anak. Matanya berkilau dengan kehangatan yang dalam, dan setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti lagu pengantar tidur yang menenangkan.

"Dahulu kala," katanya dengan suara yang lembut seperti angin sore, "ada seorang pemuda bernama Raka yang memiliki hati sebesar alam semesta..."

Anak-anak mendengarkan dengan mata berbinar. Mereka sudah mendengar cerita ini berkali-kali, tapi tidak pernah bosan. Ada sesuatu dalam cara wanita tua itu bercerita yang membuat setiap kata terasa hidup, setiap emosi terasa nyata.

Nama wanita itu adalah raia. Tidak ada yang tahu namanya yang sebenarnya, tapi semua orang di kota ini mengenalnya sebagai nenek raia—penjaga cerita, penjaga ingatan, penjaga kebijaksanaan. Ketika ia menceritakan pengorbanan Raka, air mata selalu mengalir di pipinya tanpa ia sadari.

Di kantor meteorologi kota, seorang pria dengan mata seperti langit sedang mengamati pola angin. Namanya adalah angindra bayu, dan ia adalah ahli cuaca terbaik di wilayah ini. Ia bisa memprediksi hujan tiga hari sebelumnya hanya dengan merasakan arah angin. Anak-anak sering bertanya bagaimana ia bisa begitu akurat, dan ia selalu menjawab dengan senyum misterius: "Angin bercerita padaku."

Di pusat penelitian kelautan, seorang wanita dengan mata sebiru samudra tengah menganalisis pola arus laut. Namanya airin zahra, dan ia adalah ahli kelautan yang paling dihormati. Ia bisa merasakan kesehatan laut hanya dengan menyentuh air. Setiap kali ada yang bertanya tentang kemampuannya, ia hanya tersenyum dan berkata: "Laut adalah sahabat lama."

Di stasiun energi terbarukan, seorang pria dengan mata seperti bara api sedang mengawasi sistem geothermal. Namanya Apizal fahmi, dan ia adalah insinyur energi yang jenius. Ia bisa mengoptimalkan sistem energi dengan intuisi yang luar biasa. Ketika ditanya tentang keahliannya, ia selalu menjawab: "Api mengajariku tentang transformasi."

Mereka semua tampak seperti manusia biasa, bekerja dalam profesi yang normal. Tapi ada sesuatu dalam mata mereka—kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan usia mereka, ketenangan yang hanya dimiliki oleh mereka yang pernah melihat keabadian.

Di gedung tertinggi kota, sebuah kantor dengan jendela menghadap seluruh kota, seorang wartawan muda sedang melakukan wawancara dengan pemimpin Organisasi Pelestarian Bumi Global—organisasi yang paling berpengaruh di dunia saat ini.

"Terima kasih telah meluangkan waktu untuk wawancara ini," kata wartawan itu sambil menyiapkan recordernya. "Organisasi Anda telah menjadi kekuatan utama dalam menjaga keseimbangan planet selama berabad-abad. Bisakah Anda menceritakan apa yang memotivasi Anda menjadi pemimpin?"

Wanita yang duduk di depannya tersenyum—senyum yang hangat namun ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan di baliknya. Rambutnya hitam dengan helai-helai perak, matanya biru jernih seperti kristal. Penampilannya masih muda, meskipun wartawan itu tahu bahwa ia telah memimpin organisasi ini selama puluhan tahun.

"Nama saya adalah Evaline," katanya dengan suara yang tenang namun mengandung otoritas yang tidak bisa dibantah. "Dan motivasi saya... sangat personal."

Wartawan itu mengangguk, menunggu elaborasi.

Evaline menatap keluar jendela, memandang kota yang hijau dan damai. "500 tahun yang lalu, dunia ini hampir musnah karena ketidakdewasaan umat manusia. Mereka tidak mengerti bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, bahwa planet ini bukan milik mereka untuk dieksploitasi sesuka hati."

"Ya, kami semua tahu tentang legenda itu. Tentang Kiamat 500 Tahun lalu dan Sang Avatar yang mengorbankan dirinya..."

"Legenda," Eva mengulangi kata itu dengan nada yang sulit diterjemahkan. "Ya, mungkin bagi kalian itu hanya legenda. Tapi bagi saya..." Ia berhenti sejenak, matanya masih tertuju pada jendela. "Bagi saya, itu adalah pelajaran yang sangat berharga tentang apa yang dibutuhkan umat manusia untuk benar-benar berubah."

"Maksud Anda?"

Evaline berbalik menghadap wartawan itu, senyumnya kini mengandung sesuatu yang membuat bulu kuduk berdiri. "Manusia tidak belajar dari kata-kata atau peringatan. Mereka hanya belajar dari trauma. Dari kehilangan yang begitu mendalam hingga mengubah DNA perilaku mereka secara permanen."

Wartawan itu mulai merasa tidak nyaman, meskipun ia tidak bisa menjelaskan mengapa.

"Saya menjadi pemimpin organisasi ini," lanjut Eva dengan suara yang semakin lembut namun menusuk, "karena saya tahu persis apa yang dibutuhkan umat manusia untuk bertahan. Mereka membutuhkan pelajaran... yang tidak akan pernah mereka lupakan."

"Anda berbicara seolah-olah... seolah-olah Anda pernah mengalaminya secara langsung."

Evaline tersenyum lagi, kali ini senyum yang mengandung kesedihan mendalam. "Mungkin karena memang begitu."

...---...

Di kedalaman Bumi, dalam setiap butir tanah, setiap tetes air, setiap hembusan angin, kesadaran yang dulunya bernama Raka merasakan kedamaian yang sempurna.

Ia tidak memiliki bentuk, tidak memiliki suara, tidak memiliki wujud fisik. Ia adalah bagian dari planet itu sendiri—getaran lembut yang mengalir melalui semua kehidupan. Ia merasakan setiap langkah anak kecil yang berlari di atas rumput, setiap tetesan hujan yang menyentuh daun, setiap senyuman yang terlukis di wajah manusia yang bahagia.

Dunia telah pulih. Manusia telah belajar. Alam dan peradaban hidup dalam harmoni yang ia impikan sejak lama.

Ia tidak tahu—tidak bisa tahu—bahwa pengorbanannya adalah bagian dari drama yang lebih besar. Ia tidak menyadari bahwa kematiannya telah diorkestrasikan dengan sempurna untuk menciptakan trauma yang diperlukan agar manusia benar-benar berubah. Ia tidak mengerti bahwa ia adalah aktor utama dalam teater kosmik yang dirancang untuk mendidik spesies yang keras kepala melalui cara yang paling efektif: kehilangan yang mendalam.

Yang ia tahu hanyalah bahwa dunia ini indah. Bahwa pengorbanannya memiliki makna. Bahwa cinta yang ia berikan telah kembali berlipat ganda dalam bentuk kehidupan yang berkembang di atas permukaan.

Kadang-kadang, dalam momen-momen tertentu—ketika seorang anak membuat keputusan untuk melindungi seekor binatang kecil, ketika seorang pemimpin memilih kebijaksanaan daripada kekuasaan, ketika sepasang kekasih berjanji untuk mencintai tidak hanya satu sama lain tetapi juga dunia yang menaungi mereka—dalam momen-momen itu, Raka merasakan sesuatu yang menyerupai kebahagiaan.

Ia telah menjadi bagian dari cerita yang lebih besar dari dirinya. Ia telah menjadi legenda yang menginspirasi, mitos yang mengajarkan, dan cinta yang abadi.

Dan dalam keabadian itu, dalam kedamaian yang tidak akan pernah berakhir, Raka tersenyum tanpa bibir, menangis tanpa mata, dan mencintai tanpa hati—karena ia telah menjadi senyum itu sendiri, air mata itu sendiri, dan cinta itu sendiri.

Dunia yang ia selamatkan terus berputar, membawa kehidupan yang ia lindungi menuju masa depan yang tidak pernah ia bayangkan. Dan dalam setiap rotasi itu, dalam setiap detik yang berlalu, pengorbanannya terus hidup—tidak sebagai memori, tetapi sebagai fondasi dari semua yang indah dan baik di dunia ini.

Pahlawan terbesar adalah mereka yang tidak pernah tahu bahwa mereka adalah pahlawan.

Dan Raka, dalam ketidaktahuannya yang indah, adalah yang terbesar dari mereka semua.

--- Tamat ---

Terima kasih telah ikut dalam perjalanan ini.

— Azira

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!