seorang pemuda yang di paksa masuk ke dalam dunia lain. Di paksa untuk bertahan hidup berkultivasi dengan cara yang aneh.
cerita ini akan di isi dengan kekonyolan dan hal-hal yang tidak masuk akal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellow street elite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Li Jiu berjalan melewati barisan murid baru yang tengah berlatih di halaman utama. Beberapa dari mereka memperhatikan kehadirannya dan berbisik pelan, entah karena aura Master-nya yang menekan atau karena... ia adalah satu-satunya murid yang mengenakan jubah putih dengan simbol angin kuno di punggung.
Langkahnya berhenti di depan bangunan utama.
Dengan satu ketukan pelan, pintu terbuka sendiri. Di dalam, Lu Ban duduk bersila di atas alas batu, memandangi sehelai kertas tua dengan alur formasi rumit di atasnya. Aroma teh yang hangat dan pahit memenuhi udara.
"Masuklah, Li Jiu."
Li Jiu melangkah masuk dan duduk di hadapan gurunya. Ia langsung menyampaikan kegelisahannya.
"Guru... apa yang sebenarnya terjadi pada sekte ini?"
Lu Ban tidak langsung menjawab. Ia mengangkat cangkir tehnya, menyesap perlahan, baru kemudian menghela napas panjang.
"Sekte ini berubah... sejak para pedagang datang. Sejak palu itu... mulai menarik perhatian dunia luar."
Li Jiu menyipitkan mata.
"Apakah ini semua karena Rynz?"
Lu Ban meletakkan cangkirnya. "Bukan hanya karena dia... tapi karena jalan yang dia pilih. Pandai besi dengan api aneh di tubuhnya, yang bisa menciptakan senjata spiritual tingkat tinggi... meski tanpa akar spiritual tinggi."
Li Jiu terdiam, pikirannya mulai merangkai satu demi satu petunjuk.
"Dan kau membiarkan para bangsawan itu datang, bahkan ikut terlibat?"
"Aku tidak punya pilihan," sahut Lu Ban lirih. "Sekte ini butuh perlindungan. Jika kita menolak, mereka akan menganggap kita menyembunyikan sesuatu... dan saat itu terjadi, bukan cuma Rynz yang akan mereka incar."
Li Jiu mengepalkan tangannya.
"Kalau begitu... bukankah kita sudah membuka gerbang bencana? Klan besar tidak pernah datang tanpa membawa ambisi."
Lu Ban menatapnya tajam. "Kau benar. Karena itu aku memanggilmu keluar dari pengasingan."
Li Jiu menegakkan punggungnya.
"Aku ingin kau mulai melatih murid baru."
Li Jiu tampak terkejut.
Lu Ban hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Li Jiu yang bernada setengah mencibir.
“Ehh... Kamu meminta ku menjadi guru?” ulang Li Jiu sambil menyilangkan tangan di dada, pandangannya menyapu ruang utama yang kini jauh berbeda dari sebelumnya. “Sepertinya kau juga... mulai termakan ucapan dari kedua murid bodoh itu.”
Suara di luar ruangan terdengar riuh: tawa murid baru, dentingan senjata, dan suara teriakan para pelatih tambahan yang disewa untuk melatih dasar teknik tubuh dan meditasi.
“Chen Mo dan Zhou Lan?” Lu Ban menyesap tehnya sekali lagi. “Licik, bodoh... tapi mereka mengerti apa yang tak bisa kuajarkan: cara bertahan di dunia yang dipenuhi serigala berjubah emas.”
Li Jiu menghela napas. “Hmph, aku lebih cocok jadi pembantai serigala, bukan jadi penggembala murid.”
Namun meski menggerutu, matanya tak bisa memungkiri apa yang dilihatnya.
Seluruh area sekte kini jauh lebih hidup. Bangunan lama yang dulunya retak dan lapuk, sudah dipugar dengan kayu berkualitas dan ukiran pelindung. Arena latihan kini memiliki beberapa formasi pelindung dasar, dan bahkan aula makan pun tampak bersih dan lapang.
Bahkan ruang pengobatan yang dulu hanya berisi dua ranjang usang, kini memiliki persediaan pil penyembuh, air spiritual, serta beberapa tanaman obat yang tertata rapi.
Lu Ban menatap Li Jiu dengan pandangan datar namun dalam.
“Kalau kau tidak mau jadi guru, maka jadilah pedang... yang kutanam di jantung sekte ini.”
Li Jiu mengerutkan kening. “Dan kalau suatu saat pedang itu harus diangkat dan digunakan?”
“Gunakanlah... bahkan jika itu harus memotong akar pohon yang tumbuh terlalu tinggi.”
Li Jiu menatap Lu Ban cukup lama, sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Baik. Tapi jangan salahkan aku kalau aku mulai memukul para murid sampai gigi mereka tanggal.”
“Selama mereka bisa tumbuh lebih kuat... aku tidak peduli jika mereka harus kehilangan semua gigi.”
Keduanya akhirnya tersenyum tipis.
Selama beberapa hari itu, langit di atas bengkel Rynz seolah tidak pernah tenang. Awan hitam menggulung dan menumpuk, membentuk pusaran besar di atas atap bengkel kecil yang dulunya sepi dan tak diperhatikan. Kilatan petir menyambar turun tanpa henti, membelah langit dengan suara menggelegar, membuat sebagian murid yang sedang berlatih refleks menutup telinga.
Beberapa dari mereka bahkan mulai berbisik-bisik:
"Aku melihat... bayangan naga di antara kilatan petir barusan..."
"Ah tidak, aku malah melihat siluet Phoenix terbakar api... dia terbang melingkar sebelum menghilang ke langit..."
Desas-desus mulai menyebar. Ada yang berkata bahwa Rynz tengah memanggil roh langit untuk menempanya. Ada juga yang mengira dia sedang menantang kutukan leluhur. Beberapa murid yang penasaran mencoba mendekat, namun begitu jarak mereka terlalu dekat dengan pintu bengkel, tubuh mereka justru tertolak ke belakang oleh gelombang tekanan tak kasat mata, seperti badai yang menjaga tempat itu.
Bahkan Li Jiu, saat lewat untuk mengawasi latihan murid, hanya melirik sekilas ke arah bengkel itu, lalu menggumam pelan, “Apa yang sedang kau ciptakan kali ini…”
Sementara Lu Ban, yang duduk di serambi bangunan utama, menatap langit dengan sorot mata serius. Cangkir tehnya bergoyang, air di dalamnya bergetar setiap kali guntur menyambar.
“Jika Phoenix dan Naga sudah mulai melirik... maka palu itu akan segera menjadi kutukan... atau takhta.”
Namun meskipun khawatir, tidak ada satu pun dari mereka yang masuk.
Karena semua orang tahu — bengkel itu kini bukan hanya tempat menempa logam, tapi medan perang antara jiwa, api, dan kehendak langit.
Langkah kaki berat terdengar dari dalam bengkel.
Pintu kayu yang selama berhari-hari tertutup rapat itu akhirnya terbuka perlahan, dan dari dalam muncul sosok yang sudah sangat dikenali semua murid sekte: Rynz. Tubuhnya tampak lebih kokoh, aura yang terpancar dari tubuhnya jauh lebih menekan dibanding sebelumnya. Napasnya teratur, namun dari setiap langkahnya terasa getaran tak kasat mata yang membuat kerikil-kerikil di tanah ikut bergetar.
Chen Mo dan Zhou Lan, yang sejak tadi sudah menunggu di depan, langsung menghampirinya dengan penuh semangat.
“Hey! Akhirnya kau keluar juga!” seru Chen Mo sambil menepuk punggung Rynz. “Apa yang kau tempa selama ini?! Jangan bilang kau membuat... senjata surgawi?”
Zhou Lan langsung menambahkan, “Jangan pelit, setidaknya beri kami lihat! Kita ini satu kelompok!”
Namun Rynz hanya diam. Pandangannya lurus ke depan, wajahnya serius seperti batu, lalu ia menggeleng pelan.
“Belum saatnya,” jawabnya singkat.
Chen Mo tampak kecewa. “Eh? Serius?”
Zhou Lan menyipitkan mata. “Jadi... kau memang membuat sesuatu, ya? Tapi kenapa disembunyikan?”
Rynz tak menjawab. Dia hanya melewati mereka berdua, melangkah perlahan menuju ruang penyimpanan bengkel. Di punggungnya, terlihat gagang logam besar diselimuti kain hitam, terikat kuat dengan sabuk kulit. Sekilas, dari celah sobekan kain itu, tampak ukiran emas berbentuk sisik naga dan jejak kilat samar yang memendar dari sela-sela palu atau pedang itu.
Chen Mo menelan ludah. “Aku tidak tahu... tapi rasanya benda itu bisa memecah gunung.”
Zhou Lan mengangguk cepat. “Atau membelah langit.”
Namun mereka berdua cukup tahu diri untuk tak memaksa.
Rynz kini duduk bersila di bawah pohon di belakang bengkel, menutup matanya, mencoba menenangkan api spiritual dan energi petir yang terus bergejolak di dalam tubuhnya. Level 35 kini bukan hanya angka — itu adalah titik di mana kekuatannya sudah bisa menantang banyak murid dari sekte besar.
Namun dia tahu, jika dia mengeluarkan senjata itu sekarang… akan ada lebih dari sekadar mata yang tertarik. Akan ada tangan-tangan kotor yang mengincar.
Rynz berdiri di halaman utama sekte, memandang ke arah bangunan-bangunan baru yang berdiri di berbagai sudut. Arena latihan diperluas, penginapan murid dibangun dengan bahan yang lebih kuat, bahkan tempat pelatihan spiritual kini memiliki formasi dasar untuk menstabilkan energi.
Murid-murid baru berlalu lalang di sekitarnya. Beberapa sedang latihan dasar, beberapa lainnya mengatur peralatan, sementara sebagian sibuk menata buku-buku pelajaran yang dikumpulkan dari pasar dan sumbangan klan-klan kecil.
Rynz menghela napas pelan.
“Hemm... sekte ini berkembang sangat cepat,” gumamnya, “Tapi kurasa kita kekurangan Aula Alchemist… dan juga para guru yang cukup mumpuni.”
Dari belakang, suara Chen Mo menyusulnya.
“Bukan cuma itu. Kita juga kekurangan orang yang bisa memasak!” serunya sambil menggaruk perut. “Serius, makanan yang kita makan belakangan ini cuma direbus... aku rindu makanan yang bikin lidah menari.”
Zhou Lan ikut bergabung sambil membawa catatan. “Dari total pemasukan kita, sebenarnya cukup untuk membangun satu aula lagi. Kalau kalian setuju, aku bisa mulai cari orang-orang berbakat dari desa sekitar atau pasar kultivator di kota bawah.”
Rynz mengangguk.
“Bagus. Untuk Aula Alchemist, cari orang yang setidaknya menguasai teknik dasar penyulingan pil energi. Jangan terlalu ambisius dulu… yang penting bisa melatih dasar murid.”
Chen Mo menambahkan sambil menyenggol bahu Zhou Lan, “Dan untuk urusan dapur, cari juga koki yang pernah kerja di klan besar, atau paling tidak pernah masak untuk pedagang keliling. Aku butuh sesuatu yang lebih dari bubur asin!”
Zhou Lan tertawa kecil. “Baik, baik. Kalau begitu, minggu ini aku akan buat pengumuman terbuka. Kalau perlu, kita buka pendaftaran guru dan staf resmi Sekte Lembah Angin.”
Rynz hanya menatap jauh ke arah gerbang. “Jika sekte ini ingin bertahan dari tekanan luar... maka kita harus jadi lebih dari sekadar sekte kecil yang punya pandai besi aneh dan murid-murid sialan.”
Chen Mo tertawa. “Kau baru sadar sekarang?”