Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21. PINGSAN
Hari-hari pertama Aruna di kediaman gubernur, yang semula ia bayangkan penuh kecanggungan dan ketegangan, justru perlahan berubah menjadi ruang pernapasan yang lebih lapang daripada sangkanya. Bangunan besar bercorak Eropa itu, dengan dinding tinggi dan jendela lebar, memang menyimpan hawa asing yang tidak pernah ia kenal sebelumnya. Namun di balik segala kemegahan dan tata cara yang kaku, ternyata masih ada ruang kehangatan yang bisa ia temukan, ruang yang membuatnya merasa lebih manusia, lebih bernyawa, meski berada di dalam lingkaran kekuasaan yang selama ini sering menindas bangsanya.
Van der Capellen, sang gubernur, tak seangkuh yang semula Aruna kira. Pria Belanda berusia empat puluh satu tahunan itu memang memiliki wibawa besar yang tak terbantahkan, tetapi kepada Aruna ia justru menampakkan sisi lain: sisi manusia yang haus untuk didengar dan ditemani. Sering kali, selepas jam kerjanya yang panjang, Van der Capellen memanggil Aruna untuk menemaninya berbincang di ruang baca atau serambi belakang yang menghadap taman. Mereka duduk berhadapan dengan secangkir teh atau kopi yang masih mengepulkan uap, dan dari sanalah percakapan panjang berawal.
Awalnya Aruna hanya menanggapi seperlunya, sekadar menjaga sopan santun. Namun semakin lama, ia menyadari bahwa Van der Capellen benar-benar menghormati pandangannya. Sang gubernur tak jarang bertanya tentang adat setempat, tentang bahasa, bahkan tentang cara pandang orang Jawa dalam menyikapi perubahan. Kadang, Van der Capellen menceritakan kebimbangannya menghadapi laporan-laporan dari pejabat lain, lalu dengan sungguh-sungguh meminta pendapat Aruna, seorang perempuan muda yang datang dari latar belakang sederhana.
"Menurutmu, Aruna, apakah benar pajak yang ditetapkan terlalu berat bagi rakyat di desa-desa?" tanya Van der Capellen suatu malam, pandangannya menerawang ke halaman gelap yang diterangi cahaya lampu minyak.
Aruna terdiam sejenak, lalu dengan hati-hati menjawab, "Bagi rakyat kecil, Tuan, pajak bukan sekadar angka. Itu sering berarti lapar atau kenyang. Banyak yang tidak berani bersuara, karena takut pada penguasa setempat. Tapi tubuh mereka yang kurus, ladang mereka yang tandus, sudah berbicara tanpa kata."
Van der Capellen menatapnya lama, seolah mencoba menyimpan setiap kata dalam ingatannya. "Aku mengerti," gumamnya pelan. "Terima kasih, Aruna. Tidak banyak orang yang berani mengatakannya sejujur itu. Aku akan mengurus soal masalah pajak dan lahan pertanian ini."
Bagi Aruna, momen-momen seperti itu terasa aneh sekaligus menenangkan. Ia, seorang perempuan yang awalnya hanya dianggap sebagai bagian kecil dari rumah tangga ini, ternyata diberi ruang untuk berbicara, didengar, bahkan dihargai.
Tak hanya dari Van der Capellen, perlahan sikap orang-orang di sekitar rumah besar itu pun berubah terhadapnya. Para babu yang semula memandangnya dengan tatapan curiga, mengira ia akan berlaku semena-mena seperti kebanyakan penghuni bangsawan atau orang Belanda, lambat laun mereka mulai menghormati diri Aruna. Aruna tidak pernah memerintah dengan suara tinggi, apalagi merendahkan mereka. Ia membantu ketika melihat pekerjaan berat, menanyakan kabar keluarga mereka, dan selalu mengucapkan terima kasih meski hanya diberi segelas air.
Babu-babu wanita muda sering kali berbisik di antara mereka, kagum pada sikap Aruna yang berbeda. Sedang seorang babu wanita tua, yang rambutnya telah memutih dan tangannya penuh keriput, merasakan ketulusan Aruna lebih dalam daripada yang lain.
Suatu sore, ketika Aruna sedang membantu di dapur, percikan minyak panas tanpa sengaja mengenai lengannya. Rasa perih segera menjalar, dan kulitnya memerah. Ia menahan sakit dengan gigi terkatup rapat, tidak ingin menjerit.
Babu wanita tua yang dipanggil Mbok Sarni, bergegas mendekat. "Nduk, ayo sini. Jangan dibiarkan begitu," katanya dengan suara lembut namun tegas.
Aruna mencoba tersenyum. "Tidak apa-apa, Mbok. Hanya sedikit saja."
"Tetap saja harus diobati. Mana boleh dibiarkan." Mbok Sarni lalu membawa Aruna ke kamarnya. Dari sebuah kotak kecil, ia mengeluarkan ramuan yang dibuat dari daun segar dan minyak kelapa. Dengan penuh perhatian, ia mengoleskan ramuan itu pada luka bakar Aruna. Dinginnya ramuan meredakan rasa perih, sementara kelembutan tangan tua itu membuat hati Aruna hangat.
"Terima kasih, Mbok," bisik Aruna, matanya sedikit berkaca.
Mbok Sarni tersenyum, menepuk pelan punggung tangannya. "Kowe itu anak baik, Nduk. Jarang ada yang peduli sama babu tua seperti Mbok. Selama ini banyak yang cuma bisa memerintah, tapi kamu beda. Semoga Gusti Allah selalu nglindungi kowe."
Sejak hari itu, Mbok Sarni selalu memerhatikan Aruna seolah-olah ia anak sendiri. Ia bahkan sering membawa ramuan-ramuan tradisional untuk menjaga kesehatan Aruna. Hubungan mereka berkembang menjadi ikatan hangat di tengah rumah besar yang kadang terasa dingin.
Kehidupan Aruna pun menjadi lebih tenang, setidaknya di dalam rumah gubernur. Ia belajar memahami situasi dan keadaan: bagaimana kebijakan ditentukan, bagaimana kabar dari desa-desa sampai ke meja gubernur, dan bagaimana para pejabat berdebat di ruang rapat. Meski ia bukan bagian resmi dari dunia itu, telinga dan hatinya menjadi saksi diam. Ia menyimpan segala sesuatu, mencoba memahami arah angin zaman.
Namun ketenangan itu hanyalah permukaan. Di baliknya, Aruna masih sering diliputi rasa was-was, sebab ia tahu dunia luar tidak seramah dinding-dinding rumah ini. Ia berusaha menjaga dirinya tetap tegar, tetap berakar pada keyakinan bahwa ia harus bertahan, apa pun yang terjadi.
Hari-hari berjalan, dan tubuhnya tampak segar. Senyumnya lebih sering muncul, tawanya mulai terdengar ringan ketika berbincang dengan Mbok Sarni atau para babu lain.
Bahkan Van der Capellen pernah berkata sambil tersenyum, "Aku senang melihatmu lebih rileks, Aruna. Seolah bebanmu sedikit terangkat. Katakan apa pun yang kau butuhkan dan inginkan, aku akan memberikannya."
Aruna hanya menunduk malu. "Mungkin karena ada orang-orang baik di sekitar saya, Tuan. Jika boleh, nanti aku ingin berjalan-jalan ke luar melihat Batavia."
"Tentu. Aku akan temani nanti saat aku senggang," kata Van der Capellen dengan rekahan senyum yang kini sering terlihat.
Namun ketenangan itu tiba-tiba pecah oleh satu kejadian yang tak disangka.
Siang itu, udara terasa lembab dan panas. Aruna sedang berjalan pelan di serambi, hendak menuju ruang baca, ketika pandangannya mendadak berkunang-kunang. Suara-suara di sekitarnya terdengar jauh, seperti bergema dari dasar sumur. Ia berusaha bertahan, namun kakinya goyah.
Beberapa detik kemudian, tubuhnya ambruk ke lantai dengan suara berdebam lembut. Segalanya gelap.
Teriakan babu muda terdengar panik. "Nyai Aruna! Nyai Aruna pingsan!"
Para pelayan berlarian. Mbok Sarni yang paling dulu datang, wajahnya pucat pasi. Ia berlutut di sisi Aruna, memegang tangannya yang dingin. "Ya Allah, Nduk, bangun, bangunlah."
Seisi rumah geger. Seorang utusan segera dipanggil untuk memberitahu Van der Capellen, yang saat itu tengah menerima tamu di ruang depan. Sang gubernur terkejut mendengar kabar itu, segera berdiri dan bergegas menuju tempat Aruna terbaring.
"Cepat panggil tabib! Jangan tunggu lama-lama!" perintahnya dengan suara keras, namun penuh kekhawatiran.
Para babu dan prajurit rumah tangga berhamburan memenuhi perintah itu. Suasana mendadak riuh, dipenuhi kepanikan yang menusuk setiap hati.
Dan di tengah semua itu, Aruna tetap terbaring tak sadarkan diri, wajahnya pucat seperti kertas, seakan seluruh cahaya yang selama ini menyinari dirinya tiba-tiba dipadamkan.