NovelToon NovelToon
Wanita Istimewa

Wanita Istimewa

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Mafia / Single Mom / Selingkuh / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Berkisah mengenai Misha seorang istri yang baru saja melahirkan anaknya namun sayangnya anak yang baru lahir secara prematur itu tak selamat. Radit, suami Misha terlibat dalam lingkaran peredaran obat terlarang dan diburu oleh polisi. Demi pengorbanan atas nama seorang istri ia rela dipenjara menggantikan Radit. 7 tahun berlalu dan Misha bebas setelah mendapat remisi ia mencari Radit namun rupanya Radit sudah pindah ke Jakarta. Misha menyusul namun di sana ia malah menemukan sesuatu yang menyakitkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dia Kabur Lagi

Sinar mentari pagi menyusup masuk melalui celah jendela, membangunkan Misha dari tidur lelapnya. Pagi itu, warung Pak Raharjo tidak seberisik biasanya. Hanya ada suara Bu Lastri yang menyiapkan sarapan. Misha bangkit, lalu berjalan menuju dapur.

"Pagi, Bu," sapa Misha.

"Pagi, Nak," jawab Bu Lastri sambil tersenyum. "Ayo sarapan dulu."

Misha duduk di kursi. Ia melihat Pak Raharjo yang sudah rapi, namun tidak ada tanda-tanda ia akan membuka warung. "Pak, hari ini warungnya tidak buka?" tanya Misha.

Pak Raharjo tersenyum. "Hari ini kita libur, Misha," jawabnya. "Kamu juga libur."

Misha mengerutkan kening, bingung. "Libur? Kenapa?"

"Kamu butuh waktu, Nak," kata Pak Raharjo, suaranya tulus. "Setelah semua drama dan fitnah yang kamu alami, kamu butuh waktu untuk menyendiri. Pergilah. Pergi ke mana pun yang kamu mau. Carilah kedamaian di hatimu."

Hati Misha terasa hangat. Ia menatap Pak Raharjo dengan penuh rasa terima kasih. "Tapi, Pak... saya..."

Hati Misha terasa hangat. Ia menatap Pak Raharjo dengan penuh rasa terima kasih. "Tapi, Pak... saya..."

"Tidak ada tapi-tapian," potong Pak Raharjo. "Kamu sudah bekerja keras. Kamu berhak mendapatkan hari libur."

Misha tidak bisa lagi menolak. Ia mengangguk, lalu tersenyum. Setelah sarapan, Misha berpamitan dengan Pak Raharjo dan Bu Lastri. "Saya pergi dulu, Pak, Bu," ucapnya.

"Hati-hati, Nak," pesan Bu Lastri. "Jangan pikirkan hal-hal yang menyedihkan. Nikmati harimu."

Misha mengangguk, lalu berjalan keluar. Ia tidak tahu harus pergi ke mana. Jakarta terasa sangat luas. Ia menyusuri jalanan, membiarkan dirinya tenggelam dalam keramaian kota. Ia melihat orang-orang yang sibuk, tawa anak-anak yang riang, dan lalu lintas yang padat. Ia melihat semua itu, namun tidak merasakannya. Pikirannya masih dipenuhi bayangan masa lalunya.

Ia berjalan ke sebuah taman, lalu duduk di sebuah bangku di bawah pohon rindang. Misha memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, bisikan Bu Ratmi, cacian Bu RT, dan bayangan Radit yang melarikan diri terus menghantuinya. Ia merasa sangat lelah. Lelah dengan hidupnya, lelah dengan takdir yang tidak pernah memihaknya.

Air mata Misha mengalir, membasahi pipinya. Ia membiarkan dirinya menangis, meluapkan semua emosi yang selama ini ia pendam. Ia menangis untuk Radit yang menghilang tanpa jejak, untuk anaknya yang tidak pernah ia peluk, untuk tujuh tahun hidupnya yang hilang di balik jeruji besi, dan untuk fitnah yang terus menerus menghancurkannya.

****

Setelah puas menangis, Misha mengusap air matanya. Ia menyadari, menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Ia harus bangkit. Ia harus berjuang. Ia tidak bisa terus-terusan menyerah pada takdir.

Ia membuka matanya, lalu melihat ke sekeliling. Ia melihat anak-anak kecil bermain, pasangan muda yang sedang berpacaran, dan orang tua yang duduk santai di bangku taman. Mereka semua terlihat bahagia. Misha menyadari, hidup itu harus terus berjalan. Ia tidak bisa terus berada di masa lalu. Ia harus melangkah maju.

Misha bangkit dari bangku. Ia memutuskan untuk pulang ke warung Pak Raharjo. Ia tahu, di sana ada orang-orang yang peduli padanya. Ia tidak sendirian. Ia tidak akan menyerah. Ia akan berjuang untuk hidupnya, untuk harga dirinya, dan untuk kebahagiaannya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun ia tahu, ia akan menghadapinya dengan tegar.

Di bawah teriknya matahari Jakarta, Misha berjalan gontai, kakinya terasa berat. Perjalanan pulang dari taman terasa jauh, namun hatinya terasa lebih tenang setelah meluapkan semua kesedihan. Misha mencoba fokus pada masa depan, pada pekerjaan di warung Pak Raharjo, dan pada kebaikan yang ia temukan di tengah kekejaman kota.

Langkah Misha terhenti di depan sebuah mal mewah. Ia menatap keramaian, orang-orang yang keluar masuk dengan pakaian rapi. Tanpa sadar, matanya menyapu kerumunan dan tiba-tiba membeku. Ia melihat sosok yang sangat ia kenali. Seorang pria berjas rapi, sedang tertawa lepas sambil menggandeng tangan seorang wanita cantik dan seorang anak perempuan kecil.

Jantung Misha berdebar kencang. Ia mengucek matanya, memastikan ia tidak salah lihat. Sosok itu... itu Radit. Rambutnya lebih rapi, senyumnya lebih tulus, dan ia terlihat sangat bahagia. Air mata Misha mengalir, bercampur dengan kebahagiaan dan kesedihan. Ia bahagia karena Radit baik-baik saja, namun ia sedih karena Radit hidup bahagia tanpanya.

Tanpa berpikir panjang, Misha berlari ke arah Radit. "Mas! Radit!" teriaknya sekuat tenaga.

Radit menoleh, dan ekspresi wajahnya berubah. Dari yang tadinya bahagia, kini menjadi kaget, panik, dan takut. Ia segera menarik tangan wanita dan anak perempuan itu, mencoba melarikan diri.

"Tidak, Mas! Tunggu! Aku Misha!" teriak Misha, namun suaranya tenggelam dalam kebisingan.

Misha berlari semakin cepat, ia tidak peduli dengan orang-orang yang menatapnya dengan aneh. Ia hanya ingin mengejar Radit, suaminya. Ia ingin memeluk Radit, dan menanyakan mengapa Radit meninggalkannya. Namun, tiba-tiba, seseorang menabraknya. Misha terhuyung-huyung, lalu terjatuh.

"Aduh, Mbak! Jalan hati-hati dong!" bentak seorang pria yang menabraknya.

Misha tidak peduli dengan pria itu. Ia segera bangkit, lalu menoleh ke arah Radit. Namun, Radit sudah tidak ada. Ia menghilang di tengah kerumunan. Misha mencari-cari, menelusuri setiap wajah, namun hasilnya nihil. Ia sudah kehilangan Radit.

Misha terduduk di pinggir jalan. Ia menangis, air matanya membasahi pipinya. Ia tidak mengerti. Mengapa Radit melarikan diri? Mengapa ia tidak mau menemuinya? Apakah Radit tidak peduli lagi dengannya?

"Kenapa, Mas?" bisik Misha, suaranya parau. "Kenapa kamu tinggalkan aku lagi? Apa salahku?"

****

Di tengah hiruk pikuk Jakarta, Misha melangkah gontai keluar dari mal. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini tumpah membasahi pipinya. Ia yakin, ia tidak salah lihat. Radit, suaminya, terlihat sangat bahagia, menggandeng wanita lain dan seorang anak perempuan. Dan Radit... Radit mengenalinya. Ia melihat ketakutan di mata suaminya, sebelum suaminya itu melarikan diri. Hati Misha hancur berkeping-keping.

Pikirannya kosong, Misha berjalan tanpa arah. Tiba-tiba, suara klakson mobil yang nyaring mengagetkannya. Ia tersadar, dan menyadari ia hampir tertabrak sebuah mobil SUV mewah. Mobil yang sangat ia kenal.

Pintu mobil terbuka, dan pria sombong yang pernah memakinya beberapa waktu lalu keluar. Wajahnya yang tampan kini dipenuhi amarah. Ia menatap Misha dengan tatapan merendahkan.

"Lo lagi, lo lagi! Kenapa sih lo selalu ada di mana-mana?!" bentak pria itu. "Apa lo sengaja pura-pura jadi korban tabrak biar bisa dapat duit, hah?!"

Misha hanya bisa diam. Ia terlalu lelah untuk melawan, terlalu lelah untuk membela diri. Ia hanya menatap pria itu, air mata mengalir membasahi pipinya.

"Dasar orang miskin! Kerjaan lo cuma bikin susah orang lain! Lo pikir dengan jadi korban tabrak, lo bisa dapat simpati? Lo pikir dengan memelas, lo bisa dapat uang?!" pria itu terus memakinya, kata-katanya menusuk hati Misha.

"Saya... saya tidak sengaja," Misha mencoba membela diri, namun suaranya bergetar.

"Tidak sengaja? Omong kosong!" pria itu tertawa sinis. "Gue tahu taktik lo! Lo lihat mobil gue mewah, jadi lo sengaja pura-pura tertabrak biar gue bayar ganti rugi yang mahal!"

Misha menggelengkan kepalanya. "Saya... saya bukan pengemis, Mas. Saya tidak butuh uang anda."

Pria itu mendengus. "Bukan pengemis? Terus apa?! Lihat diri lo! Pakaian lusuh, muka kusam! Lo pikir gue percaya lo bukan pengemis?!"

Pria itu menatap Misha yang menangis, matanya menampakkan sedikit keraguan. Namun, amarahnya sudah terlalu besar. Ia mengeluarkan dompetnya, lalu melempar beberapa lembar uang ratusan ribu ke arah Misha.

"Ambil ini. Jangan pernah muncul di hadapan gue lagi!" katanya, lalu kembali ke dalam mobilnya dan melaju pergi, meninggalkan Misha yang terduduk di pinggir jalan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!