Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .
Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 32.Di Antara Bayang Dan Pelukan
Malam di Menteng turun dengan pelan, seperti tirai tebal yang meluruhkan waktu. Udara masih membawa dingin Puncak yang belum sempat pergi dari kulit. Di ruang baca yang diterangi lampu temaram, Aurora duduk bersila, memeluk lutut, memandangi liontin kecil berbentuk matahari yang tergantung di ujung jarinya. Cahaya keemasan dari lampu gantung membuat liontin itu berkilau, seolah menyimpan sesuatu yang belum selesai.
Tristan masuk membawa dua cangkir cokelat panas. Aroma cokelat bercampur kayu manis menyelinap ke udara, menyatu dengan wangi buku tua dan kayu jati yang menyusun ruangan itu. Ia menatap Aurora sebentar sebelum meletakkan satu cangkir di depan wanita itu.
"Aku masih bisa mencium aroma kebun di jaket mu," ucapnya pelan, suaranya seperti bisik angin yang takut mengganggu malam.
Aurora tersenyum tipis, tapi matanya tetap menatap liontin itu. "Kau yakin bukan bau tanah dari luka-luka kita yang belum kering?"
Tristan duduk di sebelahnya, menyandarkan punggung ke rak buku. Tangannya menjulur pelan, menyentuh liontin yang masih menggantung di jari Aurora. Sentuhan itu lembut, seolah ia tengah menyentuh kenangan yang belum berani diucapkan.
"Kalau begitu, biarkan aku jadi udara yang menyembuhkan. Kau tak perlu bersembunyi," katanya.
Aurora berpaling menatapnya. Mata mereka bertaut, dan dalam diam itu, ada dunia yang diam-diam bergeser. Tak ada kata, hanya napas yang menyatu, hangat dalam keheningan. Liontin itu jatuh di antara telapak mereka yang kini bersentuhan.
Tristan menggenggam tangan Aurora, membawanya ke bibirnya. "Bolehkah aku... mencintaimu, bukan hanya karena luka kita sama, tapi karena aku ingin sembuh bersamamu?"
Aurora menutup mata, jantungnya berdebar tidak karena takut, tapi karena akhirnya merasa siap. Ia mencondongkan tubuh, dan ketika bibir mereka bertemu, waktu seolah berhenti.
Ciuman itu pelan, sabar, seperti dua jiwa yang sudah terlalu lama mencari tempat pulang. Tristan menarik Aurora lebih dekat, membiarkan pelukannya membungkus tubuh perempuan itu sepenuh perasaan. Tangan mereka saling menggenggam, jari-jari saling mencari seperti dua potongan teka-teki yang akhirnya bertemu bentuk pasnya.
Mereka tidak buru-buru. Tak ada nafsu yang liar. Yang ada hanya keintiman yang tumbuh dari kepercayaan. Saat Aurora menyandarkan kepalanya ke dada Tristan, ia bisa mendengar detak yang sama-sama ragu dan berani. Dan malam pun membungkus mereka dalam satu pelukan panjang—dalam keheningan yang paling jujur. Pelukan yang tidak hanya menyatukan tubuh, tapi juga menyatukan trauma, harapan, dan cinta yang perlahan tumbuh dari reruntuhan luka.
$$$$$
Sementara itu, di apartemen Kalea, jam dinding berdetak lambat. Hujan baru saja berhenti, menyisakan embun di luar jendela. Di dalam kamar yang setengah redup, Kalea berdiri di depan cermin, mengenakan hoodie Arya yang terlalu besar untuk tubuhnya. Wajahnya terlihat berbeda—lebih lembut, lebih tenang, dan untuk pertama kalinya, tidak seperti seseorang yang sedang melindungi dirinya dengan topeng.
Arya bersandar di ambang pintu, mengamatinya diam-diam. "Kau tahu," katanya dengan suara serak, "aku sudah sering melihatmu. Tapi malam ini, kau terlihat seperti perempuan yang akhirnya berdamai dengan dirinya."
Kalea membalikkan badan, bibirnya melengkung kecil. "Mungkin karena aku sedang tidak bertarung malam ini. Mungkin karena... aku ingin percaya pada seseorang, dan orang itu berdiri di pintu kamar ini."
Arya melangkah pelan mendekat, lalu memegang wajah Kalea dengan kedua tangannya. Jempolnya mengusap lembut pipi Kalea, seolah ingin menghapus jejak lelah yang selama ini tertinggal di sana.
"Aku tidak sempurna, Kalea. Aku bukan jawaban dari semua pertanyaanmu. Tapi aku akan tetap di sini, bahkan ketika kau kembali merasa asing terhadap dirimu sendiri."
Kalea menutup mata, dan air matanya jatuh satu. "Kalau aku menolakmu suatu hari nanti, bukan karena aku tak mau. Tapi karena aku takut kehilangan diriku lagi."
Arya menariknya ke pelukan. "Kalau begitu, izinkan aku mencintaimu sambil menjaga siapa dirimu. Tak usah berubah. Tak usah jadi kuat. Kau boleh rapuh, boleh marah, boleh diam. Tapi biarkan aku tetap di sisimu."
Dalam pelukan itu, mereka duduk bersama di tepi ranjang. Musik jazz mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan, menjadi latar bagi keheningan yang penuh makna. Kalea mencium pipi Arya, pelan, lalu berbisik, "Aku belum tahu caranya mencintai dengan benar... tapi aku ingin belajar denganmu."
Dan mereka pun merebah, perlahan, dalam kehangatan tubuh satu sama lain. Tidak terburu, tidak memaksa. Hanya saling percaya bahwa malam ini, mereka boleh lelah. Tangan Arya mengusap rambut Kalea, sementara kepala Kalea menyandar di dadanya. Degup jantung mereka saling mendengar, saling memahami bahwa cinta tidak butuh janji besar. Cinta hanya butuh keberanian untuk tetap tinggal.
Ciuman mereka menyusul kemudian. Lebih dalam, lebih jujur. Di sela ciuman itu, Kalea tertawa kecil, dan Arya mencium tawanya seperti mencium musim yang baru datang setelah musim dingin yang panjang. Mereka tenggelam dalam pelukan dan bisik pelan yang hanya mereka berdua yang tahu artinya. Dan malam pun menyelimuti mereka seperti selimut pertama yang hangat setelah bertahun-tahun tidur dalam dingin.
$$$$
Di kejauhan, di sudut gelap rumah besar yang lain, Clarissa berdiri di balkon kamar. Tangan kirinya menggenggam secarik kertas. Di atasnya, tertulis nama: "Tanah Tak Tercatat – Yayasan Cahaya Timur".
Wajah Clarissa tak menunjukkan apapun. Tapi dalam diamnya, ada keputusan yang sedang tumbuh. Suatu keputusan yang bisa mengguncang rumah itu dari pondasinya.
"Kalau mereka ingin menggali cahaya," bisiknya, "maka aku akan pastikan mereka silau sampai buta."
Langit di atasnya mendung. Tapi di matanya, badai sudah mulai berputar.
.
.
.
Bersambung....