Wen Yuer dikirim sebagai alat barter politik, anak jenderal kekaisaran yang diserahkan untuk meredam amarah iblis perang. Tetapi Yuer bukan gadis biasa. Di balik sikap tenangnya, ia menyimpan luka, keberanian, harga diri, dan keteguhan yang perlahan menarik perhatian Qi Zeyan.
Tapi di balik dinginnya mata Zeyan, tersembunyi badai yang lambat laun tertarik pada kelembutan Yuer hingga berubah menjadi obsesi.
Ia memanggilnya ke kamarnya, memperlakukannya seolah miliknya, dan melindunginya dengan cara yang membuat Yuer bertanya-tanya. Ini cinta, atau hanya bentuk lain dari penguasaan?
Namun di balik dinding benteng yang dingin, musuh mengintai. Dan perlahan, Yuer menyadari bahwa ia bukan hanya kunci dalam hati seorang jenderal, tapi juga pion di medan perang kekuasaan.
Dia ingin lari. Tapi bagaimana jika yang ingin ia hindari adalah perasaannya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sungoesdown, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jeruji Harapan
Kabut pagi menyelimuti langit di luar jendela ketika Yuer perlahan membuka matanya. Udara pagi menembus ke ruangan dan Yuer menghirup udara dalam-dalam, terasa sejuk meski dinginnya tetap menusuk di kulitnya.
Ia mengangkat kepalanya dari meja, meregangkan lehernya sambil menguap. Kursi yang ia duduki semalaman berderit pelan saat ia bergerak.
Suara pintu yang terbuka tiba-tiba membuatnya menoleh dan udara dingin menerobos masuk sebelum pintu ditutup kembali. Zeyan berdiri, uap tipis keluar saat ia bernapas.
Tatapannya langsung tertuju pada Yuer, matanya menyipit. "Kau disini?"
Yuer menguap kecil lagi, mengerjapkan matanya. "Selamat pagi."
Mata Zeyan berkedut, sebelum melangkah cepat dan berdiri di hadapannya.
"Kau tidak kembali ke kamarmu semalam?"
Yuer menoleh ke arah Mingyue yang masih terlelap di atas ranjang dan melangkah pelan melewati Zeyan menghampiri Zeyan.
"Semalam Mingyue demam, aku tidak bisa meninggalkannya."
Zeyan mendengus pelan, memperhatikan Yuer yang tengah memperbaiki selimut Mingyue. "Dan tidur di atas kursi keras semalaman?"
"Pelankan suaramu." Yuer menatap Zeyan sedikit mendelik.
Zeyan mengusap wajahnya dengan satu tangan, lalu menunduk sedikit, pandangannya tertuju pada lengan Yuer, dimana kain itu masih melilit lengannya. Zeyan mendekat dan menyentuh tangannya.
"Dan kau belum juga mengobati lenganmu?"
Yuer mengedip beberapa kali.
"Yah, aku, mmm... aku lupa."
"Wen Yuer."
Suara Zeyan terdengar lebih dingin.
Zeyan melempar pandangannya sekilas ke arah ranjang dimana Mingyue masih tertidur dan kembali lagi pada Yuer.
"Kau merawat orang lain, tapi kenapa tak merawat dirimu sendiri?"
Sebelum Yuer sempat menjawab, Zeyan menariknya pelan ke arah kursi. "Duduk. Aku akan mengobati lenganmu."
Zeyan bergerak mengambil alat-alat Yuer yang masih tergeletak di meja sisi ranjang Mingyue. Ia melepas kain bernoda darah dari lengan Yuer dengan gerakan cepat, seolah ingin secepat mungkin menyingkirkan benda itu dari lengan Yuer.
Yuer memperhatikan Zeyan yang mulai membersihkan lukanya dengan gerakan hati-hati namun terlatih.
"Aku bilang tidak perlu," gumamnya pelan. "Itu hanya luka kecil."
"Apa kau juga mengatakan itu pada pasienmu?"
Yuer mengernyit dan berseru, "Tentu saja tidak!"
"Kalau begitu diam." Nada dalam suaranya dingin, jelas tidak mau dibantah.
Yuer terdiam dan pandangannya jatuh pada jemari Zeyan yang sibuk bekerja, lalu perlahan naik ke wajah pria itu. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ada sesuatu yang berubah. Ia bisa merasakannya, meski belum bisa menjelaskannya.
Kepalanya mulai sibuk, tapi bukan karena rasa sakit di lukanya. Kali ini, karena Zeyan.
...
Yuer kembali ke kamar Mingyue setelah dia membersihkan diri dan berganti pakaian. Dia menemani Mingyue sepanjang hari di kamarnya. Yuer pikir Mingyue akan terlihat syok atau semacamnya setelah kejadian semalam. Tapi tidak, gadis itu tidak kehilangan keceriaannya sama sekali.
"Apa Zichen sama sekali tidak menjengukku?" Mingyue mencebikkan bibirnya, terlihat menggemaskan di mata Yuer.
"Semalam dia menunggu cukup lama."
"Benarkah? Haaah..." Mingyue menghembuskan nafas panjang. "Dia itu bodoh sekali."
Yuer mengernyit. Ia tahu ada sesuatu antara Mingyue dan Zichen. Namun, tak pernah tahu hubungan keduanya yang sebenarnya.
"Kau dan Zichen, kalian sepasang kekasih, kan?"
Tak bisa menahan tawa, Mingyue memegangi sisi perutnya yang terasa nyeri saat tertawa. "Kurasa, tapi dia tidak mengakuinya. Itu membingungkanmu kan? Dia terlihat peduli padaku, tapi pada kenyataannya itu menyakitkan untukku."
Kerutan di dahi Yuer semakin dalam. Ia tidak berniat menyela, jadi Yuer hanya diam mendengarkan.
"Aku tahu apa yang dia rasakan untukku, tapi menurutnya aku terlalu bagus untuknya. Dia bilang aku permata dan dia hanya bongkahan batu biasa. Sudah ku katakan aku tidak peduli, tapi dia terus mendorongku menjauh. Tapi begitu aku menjauh, dia mencoba menarikku lagi namun tetap tak mau mengakui perasaannya."
Yuer menunduk sedikit, matanya tertuju pada selimut yang menutupi kaki Mingyue. Beberapa detik berlalu dalam diam sebelum ia akhirnya mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Mingyue.
"Jika dia terus mendorongmu pergi, kau tak perlu terus-menerus membiarkan dia menarikmu kembali."
"Aku tidak mau dia menjauh."
Yuer mencondongkan tubuhnya dan mengerling. "Dia harus merindukan perhatianmu untuk menyadari perasaannya padamu."
Mingyue terkekeh dan menyipitkan matanya. "Wah, Wen Yuer, tidak kusangka kau bisa mengatakan itu."
"Kenapa? Itu bagian dari strategi, kurasa cinta juga membutuhkan strategi."
"Kau pernah menerapkannya?" tanya Mingyue cepat, matanya berbinar geli. "Wen Yuer, aku penasaran. Apa kau pernah jatuh cinta sebelumnya?"
Yuer menunduk sebentar, jari-jarinya mengusap punggung tangan Mingyue yang masih ia genggam.
"Kurasa tidak. Tidak banyak pria yang sesuai standarku saat di Jiangbei."
"Kalau begitu, seperti apa standarmu?"
Pertanyaan itu membuat Yuer terdiam sesaat. Ia melepas genggaman tangannya, lalu berdiri perlahan dan melangkah mendekat ke jendela kamar yang setengah terbuka. Kabut tipis masih menggantung di kejauhan.
Ia menyandarkan kedua tangan di bingkai jendela, pandangannya menembus keluar ke arah langit yang pucat.
"Tidak sulit," katanya pelan. "Aku selalu memimpikan seseorang yang baik, lembut, dan..."
Di benaknya, sekelebat bayangan muncul—Zeyan yang tertawa ketika mereka di Haeyun.
"...memiliki senyum yang indah." Ia melanjutkan.
Yuer mengerjap, sadar akan pikirannya sendiri. Ia menarik napas pendek dan menggeleng kecil, seolah mengusir bayangan itu.
Bodoh. Kenapa harus dia sih yang muncul?
Mingyue, yang memperhatikan dari atas ranjang, mengangkat alis dan bergumam.
"Hmm. Sangat bukan kakakku."
Yuer terkekeh, kali ini lebih lepas, meski ada sedikit rasa malu yang terselip di ujung tawanya.
"Ya, sangat bukan dia."
...
Tawa ringan Mingyue baru saja mereda setelah ia menceritakan pengalaman lucu di perjamuan teh yang ia hadiri ketika suara langkah kaki berat bergema dari arah luar. Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dengan keras.
Empat pasukan berseragam penuh memasuki ruangan tanpa permisi. Di belakang mereka, dua pria berdiri dengan tangan di belakang punggung. Tatapan mereka dingin, penuh penilaian tajam yang menusuk seperti pisau. Dua anggota Lingkaran Besi yang Yuer ketahui tak menyukainya.
Mingyue mendongak dari tempat tidurnya, terbelalak. "Ada apa ini? Beraninya memasuki kamarku!"
"Maaf nona, kami hanya kemari untuk menangkap nona Wen. Cepat, tangkap dia." Ucap salah satu pria dengan perut buncit.
Dua prajurit maju mendekati Yuer dengan cepat. Sebelum ia sempat bergerak, tangan mereka sudah mencengkeram lengannya. Cengkeraman itu kuat dan kasar. Menekan luka semalam di lengan Yuer , mengirim semburan nyeri yang menjalar hingga ke ujung jarinya. Tapi Yuer hanya mengerutkan kening tipis, tidak bersuara. Napasnya tercekat, namun wajahnya tetap tenang, hanya sepasang mata yang sedikit membesar, tak percaya.
"Apa maksud kalian?!" Mingyue berseru keras. "Lepaskan dia! Dia tidak melakukan apapun!"
"Nona Wen, atas nama Dewan Keamanan Benteng, kau ditahan atas tuduhan bekerja sama dengan kelompok yang menyerang semalam. Kau diduga telah membocorkan informasi penting tentang kelemahan pertahanan benteng saat Jenderal Zeyan meninggalkan posnya."
"APA?!" Mingyue menggenggam selimutnya, tubuhnya menggeliat, berusaha bangkit dengan panik. "Itu tidak masuk akal! Yuer menyelamatkanku! Dia melindungiku! Bagaimana bisa kalian menuduhnya?!"
Yuer berdiri diam, wajahnya mulai kehilangan warna, tapi sorot matanya tetap tidak gentar. Ia menoleh pelan ke arah Mingyue dan menggeleng, pelan.
Mingyue menangis dalam amarah, memukul tempat tidurnya. "Kakakku akan marah saat mendengar ini, lepaskan dia!"
"Ini sudah disetujui oleh Jenderal Qi sendiri."
Mingyue tersentak. "Apa? Tidak mungkin. Tidak mungkin kakakku setuju!"
Yuer menoleh cepat ke arah dua anggota lingkaran besi itu. Salah satu dari mereka menatapnya tanpa ekspresi, namun jelas menyimpan rasa tidak suka. Satunya lagi bahkan menggeleng pelan dengan ekspresi meremehkan.
"Aku akan baik-baik saja Mingyue, tuduhan ini tidak akan bertahan lama." Sorot matanya dingin menatap dua pria itu.
Saat mereka menarik Yuer keluar, langkahnya tetap tenang meski kedua tangannya dibelenggu kasar. Setiap sentakan di lengannya menambah rasa sakit, tapi tidak satu keluhan pun lolos dari bibirnya. Hanya kesunyian yang menyertai langkahnya.
Saat melewati koridor menuju ruang tahanan bawah tanah, suara teriakan Mingyue masih terdengar samar dari kejauhan.
Langkah-langkah berat menggema di koridor penjara bawah tanah benteng. Dua prajurit menyeret Yuer menuruni tangga batu yang lembap dan gelap. Sepanjang jalan, ia tetap diam, meski rasa nyeri dari lukanya terus berdenyut, bertambah parah setiap kali tangan para prajurit menarik lengannya terlalu kuat.
Di ujung lorong, sebuah pintu sel dari besi berkarat sudah terbuka, menanti. Cahaya obor yang menari-nari di dinding hanya membuat ruangan itu tampak semakin dingin dan mengancam.
"Masuk!" bentak salah satu prajurit sambil mendorong bahunya dengan kasar.
Yuer kehilangan keseimbangan sesaat dan tersandung masuk. Ia menahan diri agar tidak jatuh, tubuhnya gemetar kecil akibat suhu lembab yang menggigit, juga karena rasa yang menggumpal di dadanya. Bukan marah, bukan takut, tapi kekecewaan.
Zeyan membiarkan ini terjadi, yang mana berarti Zeyan juga mencurigainya.
Suara besi berderit keras membuat Yuer tersentak pelan. Salah satu prajurit mendorong pintu sel tertutup. Suara rantai disambungkan, kunci diputar sekali lagi. Tidak ada jalan keluar.
Yuer menatap dari balik jeruji. Para prajurit sudah pergi. Suara langkah mereka memudar, digantikan oleh keheningan yang menyesakkan.
Ia menarik napas panjang, duduk perlahan di sudut ruangan, punggung bersandar pada dinding batu yang kasar dan dingin. Ia mendekap lengannya yang terluka di dada, darahnya sudah mengering namun rasa nyerinya masih terasa.
Di tengah keheningan itu Yuer berharap, bahwa Zeyan akan datang dan mengatakan bahwa dia terpaksa melakukan ini. Bahwa dia tidak memiliki pilihan lain.
Kemudian Yuer tersadar, bahwa dia tidak ingin memiliki alasan lain untuk membenci pria itu.
susunan kata nya bagus