Islana Anurandha mendapati dirinya terbangun di sebuah mansion besar dan cincin di jemarinya.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk keluar dari rumah istana terkutuk ini. “Apa yang sebenarnya kamu mau dari aku?”
“Sederhana. Pernikahan.”
Matanya berbinar bahagia saat mengatakannya. Seolah-olah dia sudah lama mengenalku. Seakan-akan dia menunggu ini sejak lama.
“Kalau aku menolak?” Aku bertanya dengan jantung berdebar kencang.
Mata Kai tidak berkedip sama sekali. Dia mencari-cari jawaban dari mataku. “Orang-orang terdekatmu akan mendapat hukuman jika kamu menolak pernikahan ini.”
Islana berada di persimpangan jalan, apakah dia akan melakukan pernikahan dgn iblis yg menculiknya demi hidup keluarganya atau dia melindungi harga dirinya dgn lari dari cengkraman pria bernama Kai Itu?
CHAPTER 32
Chapter 32
Masa Kini
POV – Islana
Aku tahu aku sedang bermimpi. Karena semuanya tampak seperti buram di depanku. Di mimpi itu hari di mana Ibu pergi terulang kembali.
Ibu sudah siap dengan kopernya. Membawanya dari lantai dua dan menggeret koper dengan roda rusak itu persis di depan pintu. Hanya dalam waktu lima belas menit, Ibu sudah berhasil memasukkan semua barang pribadinya.
Siapa yang bisa melakukannya hanya dalam waktu lima belas menit? Atau jangan-jangan semua itu sudah dia lakukan sebelumnya?
Pengacara Ibu sedang menunggunya di taman depan rumah. Dia merokok sambil berbicara dengan nada kasar dengan orang di seberang teleponnya.
Ibu melihat wajah kami satu per satu. Termasuk Kak Kiran dan Tiyana yang baru saja sampai di rumah. “Jadi, ini sudah saatnya. Jaga diri kalian baik-baik.”
Ibu melihat kami seperti orang asing. Yang tidak pernah ada hubungan apapun dengannya. Dari gerak-geriknya dia sama sekali sudah tidak sabar untuk pergi selama-lamanya.
Kak Kiran berjalan dan menyentuh tangannya. Dia adalah yang paling terpukul dari semua ini. “Ibu, apa semuanya nggak bisa dipertimbangin lagi? Semua hal pasti ada solusinya kan?”
Ibu tergelak. Melihat Kak Kiran seperti orang gila yang berusaha merebut hatinya. “Sudahlah Kirana, kamu harusnya tau Ibu nggak bahagia di sini. Apa yang bisa kalian lakukan buat Ibu? Ibu terpenjara bersama kalian di sini. Apa kamu nggak sadar?!”
Tiyana menarik tangan Kak Kiran. “Biarkan dia pergi Kak. Orang seperti dia nggak pantas untuk dipertahankan.”
Ibu yang mendengar itu naik pitam. Tangannya menghantam pipi Tiyana hanya dalam hitungan detik. Kak Kiran yang tidak bisa menahan aksi dari Ibu hanya bisa berteriak di dekat mereka.
Ayah yang kali ini berbicara. “Cukup!”
Ayah menarik kedua putrinya di belakang badannya. Bahkan dari belakang, aku bisa merasakan emosi yang terpancar dari Ayah. Kepedihan untuk seseorang yang ditinggalkan. Tapi Ayah memiliki harga diri. Dan dia tidak ingin kami terluka karena apa yang sedang terjadi di keluarga kami.
Dengan suara bergetar nan tegas Ayah berkata. “Kalau kamu mau pergi, silahkan! Kami nggak akan menunda kepergian kamu! Tapi ingat baik-baik, jangan pernah kamu menginjakkan lagi kaki kamu disini!”
“Memangnya siapa yang mau menginjakkan lagi kaki di rumah terkutuk seperti ini?! Apalagi memiliki suami kaya kamu!”
Ayah tiba-tiba mengangkat tangannya. Tapi aku langsung berteriak memanggilnya. “Stop, Ayah!”
Ayah berhenti dan melihatku. Aku menggelengkan kepalaku.
Sebelum Ibu berbicara lagi, Pengacara masuk ke rumah dan memintanya untuk segera keluar. Mobil mereka sudah siap.
Dengan tatapan merendahkan kami semua, Ibu pergi keluar dari rumah. Tidak ada pelukan. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada kata perpisahan yang indah.
Hanya ada kesunyian dan suara Kak Kiran yang menangis di pelukan Ayah...
*
---------------------------------------
Seseorang menggoyangkan badanku. Mimpi itu lambat laun memudar satu demi satu. Semuanya hilang ketika mataku terbuka.
Kai. Matanya cemas melihatku mengambil napas dengan susah payah. “Sayang, tenang, kamu sudah nggak ada di rumah itu lagi, kamu nggak perlu takut lagi.”
Napasku masih tidak normal. Tapi Kai tidak tahu kalau aku bukan takut dengan rumah yang barusan aku tinggalkan tapi rumah yang lain. Dan sosok seorang wanita yang adalah Ibuku.
“Kamu keringatan,” ucap Kai sambil membersihkan keringat di dahiku. “apa kamu mau aku lepaskan jaket kamu?”
Aku melihat jaket yang sudah terpasang di badanku. Aku bukan kepanasan tapi aku baru saja terbangun dari mimpi yang terulang dari sebuah kejadian nyata.
“Di mana kita?” Aku berusaha melepaskan topik tentang Ibu di kepalaku.
Kai menyentuh hidungku. Wajahnya belum sepenuhnya tenang. “Kita sebentar lagi hampir sampai di pintu masuk Barabay.”
Aku ingin melihat keluar tapi Kai menghentikanku. “Jangan lihat keluar sayang, kamu harus tetap memandang aku selama kita belum keluar dari sini.”
“Bagaimana kita keluar dari rumah tadi?” Aku penasaran.
Kai seperti menimbang-nimbang sebanyak apa yang harus dia ceritakan. “Aku membereskan mereka dengan cara kami yang paling efektif.”
Napasku tercekat. “Kamu membunuh Oza?!”
“Nggak,” kata Kai menyesal. “tapi aku meninggalkan dia dalam keadaan terburuk yang pernah dia alami.”
Aku menaruh kepalaku di dadanya. Mencari kehangatan yang hanya dia yang bisa memberikannya. Sangat tidak masuk akal bagaimana pandanganku berubah padanya. Sangat berbeda jauh dari hari pertama kami bertemu.
Apakah ini efek dari malam pertama itu?
Kai berbisik. “Sayang, di depan kita bakal ada baku hantam lagi. Apapun yang kamu dengar, jangan lepaskan pelukan kamu dari aku, oke?”
Aku mengangguk dengan cepat. Berharap semua ini dengan cepat selesai. Aku meringkuk di pelukan Kai. Aku bisa merasakan punggungnya yang familiar dan dadanya yang atletis. Aku tidak ingin lepas dari pelukannya sedikitpun saat ini.
Darr!
Tembakan itu mengenai mobil kami!
“Oh, Kai!” Aku berteriak di pelukannya.
“Jangan bergerak, Islana!” Kai memintaku untuk tetap diam.
Apa yang terjadi di luar?!
Kai lalu memerintakan semua orang menggunakan alat komunikasi yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Mereka sepertinya sekarang bergerak menurut arahan Kai.
Darr!Darr!
Dua tembakan kembali lagi! kali ini bukan di mobil kami tapi suaranya tidak terlalu jauh.
“Tembakan mereka dengan R-51!” perintah Kai selanjutnya.
Belasan suara tembakan seperti bom ada di kiri dan kanan kami. Suara jeritan banyak manusia di luar membuatku menutup telinga.
Mereka mati! Mereka pasti mati!
“Bagus, mereka tidak mungkin mengejar kita. Pasukan mereka langsung binasa dengan senjata baru kita.” Kai terdengar puas.
Selama beberapa menit aku tidak mendengar apapun lagi.
Aku memberanikan diriku untuk bertanya. “Kai, apa aku sudah boleh melihat keluar?”
Kai mengelus rambutku dan mengecupnya dua kali. “Ya, sayang. Kita sudah keluar dari sana.”
Aku melepaskan pelukanku tapi Kai tidak mengijinkan aku duduk jauh darinya. Di luar jendela mobil, jalanan berbeda dari yang aku lihat. Lampu jalanan lebih terang dan aku tidak melihat bangunan seperti yang ada di Barabay.
Aku bernapas dengan lega. Aku menaruh dahiku di kaca dan menatap lampu-lampu di luar sana dengan kepenatan luar biasa. Aku tidak tahu apakah bisa tidur setelah sampai nanti.
Kenapa hidupku bisa kacau seperti ini?
Semuanya seperti sebuah film bioskop yang sayangnya memiliki episode yang bersambung. Aku melihat cincin yang ada di jariku. Dua cincin yang bersebelahan.
Kai tidak menyadarinya.
Aku tidak sanggup menambah masalah baru di kepalanya malam ini.
Bukan. Ini sudah pagi hari.
Pagi hari yang melelahkan.
Kai meletakkan rambutku di belakang telingaku. “Apa yang kamu pikirin, sayang?”
“Semuanya.”
“Semuanya sudah selesai. Kamu keliatan lebih kurus dari terakhir aku lihat.”
“Dan kamu masih keliatan keren padahal kamu sepertinya belum mandi sama sekali.”
Kai tergelak. Dia mencium hidungku. “Aku suka humor kamu, Islana,” katanya singkat tapi wajahnya berubah seketika saat mengatakan kalimat berikutnya. “tapi semoga kamu nggak marah dengar kabar berikutnya.”
Aku berbalik dari jendela. “Kabar apa?”
Kai mengarahkan pandangannya keluar sejenak lalu melihatku dengan sedikit bimbang. “Kami bukan cuma bawa kamu dari sana.”
Jantungku menunggunya dengan detak semakin cepat.
“Tapi juga Ibu dan adik kamu.”
Tanganku yang memegang tangannya terlepas dan jatuh lunglai di pangkuanku.